Sunday, November 14, 2010

Punahnya Tradisi Penulisan Arab Jawi-Aceh

Islamisasi di Nusantara bukan hanya pada aspek ajaran keagamaan, sosial dan budaya, tetapi juga terjadi pada tulisan dan bahasa. Perihal tersebut berkaitan dengan bukti-bukti material sejarah yang ditemukan baik di batu-batu nisan, mata uang, prasasti dan naskah kuno (manuskrip) yang bertuliskan bahasa Aceh dan bahasa Melayu beraksara Jawi, yaitu tulisan Arab berbahasa Melayu, dalam bahasa Aceh disebut Harah Jawoe.

Meresapnya tulisan Jawi kedalam tradisi penulisan masyarakat Melayu (Aceh) telah terintergrasi tulisan asing (Arab) ke dalam tulisan Melayu menjadi tradisi dan pemahaman masyarakat sehari-hari. Dengan perkembangan tersebut telah menjadikan Islam sendirinya lebih kuat, kokoh dan menyatu di Aceh, sebab dalam perkembangannya bahasa Aceh dan Melayu khususnya di Asia Tenggara berfungsi menjadi bahasa persatuan (unitary language) dan bahasa penghubung (lingua franca) antar satu wilayah dengan wilayah yang lain, satu bangsa dengan bangsa lainnya.

Selama proses Islamisasi yang terjadi di Nusantara, pengaruh skrip Arab dalam masyarakat dan kebudayaan Aceh telah dimulai sejak terjadinya hubungan antara penutur bahasa sumber (bahasa Arab) dengan penutur bahasa lokal, atau bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di kepulauan Aceh dan Melayu melalui proses dan sosialisasi secara periodik. Menurut Ali Hasjmy bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi, pada saat tersebut sudah ada kehidupan dan traksaksi antara pendatang (saudagar) dari negeri Arab yang juga sekaligus sebagai pensyiar dan pengembang agama Islam kepada masyarakat lokal (setempat).

Pada abad ke-7 hubungan diplomasi dan perniagaan antara kerajaan Umayyah (661 – 750 M) dan kerajaan Than China (618 – 907 M) terus berkembang. Di Guangzhou (atas Kanton, Cina Selatan) sudah ada kampung-kampung Muslim yang pertama sejak abad 618-628. Di Sarendip (sekarang wilayah Sri Lanka) menurut Thomas Arnold, saudagar-saudagar Muslim Arab menjadikannya sebagai pangkalan perekonomian dan perdagangan sejak abad ke-8. Seorang ilmuwan dan pengembara yang terkenal Abu al-Hasan ibn al-Husein al-Mas‘udi (abad ke-X) dalam karyanya Muruẓ al-Ẓahab menyatakan bahwa saat beliau mengunjungi Malabar (India) pada abad 916 M sudah terdapat sekitar 10 ribu orang Arab asli, tulen, berbahasa Arab yang mendiami daerah tersebut.

Pernyataan Islam hadir pada abad tersebut di Aceh dan merambah ke dunia Melayu juga dikuatkan oleh I Tsing (I Ching) seorang pengembara bahwa pada abad awal-awal Hijriah orang-orang Muslim sudah pernah mengunjungi Negri Melayu. Dalam tulisan perjalanannya pada tahun 671 M mengunjungi Sriwijaya (San’fotsi) melaporkan bahwa ia pernah bertemu saudagar-saudagar Muslim di Barus berasal dari negara Arab dan Farsi. H.M. Zainuddin dalam bukunya mengungkapkan tentang seorang Muslim bernama Zāhid yang bersama-sama dengan sekumpulan orang-orang Parsi berlayar menuju China Selatan dan singgah di Aceh, Kedah, Jawa, Brunai dan lainnya.

Ibnu Batutah merekam sejarah perjalanan lawatannya ke Cina dan menyempatkan dirinya singgah di Pasai pada tahun 1316 M atau pada masa pimpinan Sultan Malik al-Zahir. Dalam bukunya ‘Rihlah’ ia mencatat Sultan di kerajaan yang disinggahi itu alim dan bijaksana, ia pun menulis bahwa pendidikan Islam sangat maju dan banyak sekali ulama dari negeri Arab serta cendekiawan Persia berdatangan dan tinggal lama untuk mengajar di negeri tersebut

Pada abad ke-14 bangsa Aceh dan Melayu mengambil alih cara menulis bangsa Arab bersama dengan proses Islamisasi terjadi, pada masa tersebut bangsa ini menggunakan abjad yang sama seperti yang dipakai oleh bangsa Arab dan para muslimin dibeberapa tempat lainnya seperti tulisan Parsi di Iran dan Iraq (Semenanjung Arab) dan Urdu di India. Dapat dimaklumi bahwa aksara Arab Jawi memainkan peranan penting dalam perjalanan tradisi tulis-menulis di Nusantara selama berabad-abad, hal tersebut dapat dilihat bahwa aksara Arab Jawi sudah ada di bumi Nusantara pada abad ke-16.

Sebagaimana diketahui dalam banyak catatan sejarah bahwa sebelum hadirnya tulisan Jawi, sebenarnya Aceh sudah ada tradisi menulis dan tulisan yang digunakan oleh orang-orang Melayu terdahulu melalui artefak di Semenanjung tanah Melayu di Sumatera, Jawa, Malaysia atau beberapa wilayah lainnya dimana skrip ‘Rencong’ (runcing) dan Batak di Sumatera, tulisan ‘Kawi’ di tanah Jawa, tulisan Bugis di Sulawesi dan tulisan-tulisan lain yang digunakan di Filipina, Thailand Selatan dan beberapa tempat lain di Asia Tenggara yang banyak dipengaruhi oleh sistem tulisan dari India.

Proses Islamisasi terhadap tulisan dan bahasa terjadi pada bahasa lokal (Melayu) dan telah mendorong peminjaman tulisan (skrip) dan kosa kata (vocabulary) bahasa Arab ke dalam tulisan lokal atau teks Melayu-Aceh yang beraksara Jawi. Sebagaimana dipahami bahwa bahasa Arab merupakan bahasa agama (al-Qur’an dan Hadist), maka bahasa dan budaya Arab ikut mempengaruhi pola pikir dan aspek kehidupan masyarakat, hal ini terintegrasi ke dalam karya-karya para ulama dalam mengarang dan menulis kitab. Walau demikian para penduduk asli (pribumi) tidak meninggalkan tradisi tulisan sebelumnya yang sudah ada setelah hadirnya tulisan Jawi dan banyak digunakan antara sesama, hal tersebut masih banyak dijumpai pada manuskrip-manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Museum Negara dan di berbagai perpustakaan dunia.

Bagi Aceh sendiri, selain memiliki bahasa Melayu sebagai bahasa resmi digunakan didalam kerajaan Aceh, surat menyurat, diplomasi, perdagangan dan lingua franca, juga memiliki bahasa Aceh sebagai bahasa resmi dalam kerajaan dan bahasa antar masyarakat Aceh yang mayoritas digunakan sebagai warisan bahasa indatu. Disamping itu juga memiliki bahasa-bahasa suku (sekarang menjadi daerah/kabupaten) seperti penduduk pedalaman Aceh Besar menggunakan bahasa Mante, Aceh Tengah dan Gayo bahasa Gayo, Aceh Tenggara bahasa Alas, Aceh Selatan bahasa Kluet, pedalaman Singkel bahasa Fakfak, Seumelu bahasa Seumelu dan lain sebagainya yang mencerminkan kekayaan bahasa dan tulisan sejak dahulu kala.

Serapan bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu beraksara Jawi terjadi pada semua bidang ilmu, baik bahasa, sastra, agama, nazam, pengetahuan dan sebagainya  yang dikarang dan ditulis oleh para ulama-ulama kader dari Jazirah Arab, baik ulama pribumi yang menuntut ilmu ke negeri Arab ataupun sebaliknya para ulama-ulama Arab yang mengabdikan dirinya di tanah semenanjung Melayu dan Aceh, melalui naskah-naskah karya ulama inilah seiring dengan proses Islamisasi, dan transkripsi (alih aksara) dari Arab ke Jawi dengan secara perlahan menumbuhkan kreatifitas bentuk tulisan baru di Nusantara, karya-karya utama para ulama dalam naskah klasik (manuskrips) baik yang ada di Aceh, dalam negeri atau di luar negeri.

Dalam konteks tulisan dan bahasa, naskah-naskah Melayu sangat erat dipengaruhi dan berkaitan dengan bahasa Arab baik dam bentuk kata, ungkapan, istilah, ayat-ayat dan hadist Nabi. Dengan perkataan lain bahwa naskah Melayu mempunyai karakteristik dan isi alur cerita tersendiri sebelum hadirnya Islam di Nusantara, yang berakhir pada pengaruhnya terhadap naskah, sehingga bahasa Arab merupakan bagian luar (exterior) yang secara perlahan-lahan masuk dan membaur menjadi bagian bahasa intern masyarakat setempat.

Melekatnya tulisan Jawi yang memiliki persamaan dengan tulisan Arab disebabkan pengaruh kuat oleh pemerintahan atau kerajaan yang berkuasa  menjadikannya sebagai bahasa resmi baik birokrasi dan diplomasi di dalam maupun di luar istana, baik dalam segi penulisan surat-menyurat, mengarang kitab, mata uang, stempel, sampai kepada selebaran perintah Raja (Sarakata) menggunakan aksara Arab Jawi, sehingga menjadikan struktural pemerintahan dari level tinggi sampai kepada jajaran paling rendah untuk mampu menggunakan, menyesuaikan dan menyebarkan tulisan Arab Jawi. Selain itu sumber-sumber kitab yang digunakan oleh para alim ulama dalam mengajar bersumber pada kitab-kitab Haramain, guna memudahkan dalam pengajaran dan pemahaman masyarakat, para ulama-ulama tersebut menterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.

Peranan ulama-ulama Aceh dahulu yang mengarang dan menulis kitab sangat memberi arti penting, bukan hanya pada bidang tata bahasa dan kesusteraan saja, namun lebih dari itu mencerminkan gambaran tamadun suatu bangsa. Syekh Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatra’i, Nuruddin ar-Raniry, Abdurrauf as-Singkili, Fakih Jalaludin, Teungku Khatib Langgien, Jalaluddin Tursany, Tgk. Chik di Leupe (Daud Rumi), Tgk. Chik Pantee Geulima, Tgk. Chik  Pante Kulu, Tgk. Nyak Ahmad (Uthi), mereka adalah sebagian kecil dari ribuan ulama yang telah banyak berkontribusi terhadap tulisan-tulisan dan karya-karya sastra Melayu dan Aceh.

Khusus kepada Tgk Chik Pante Kulu pengarang kitab sastra epic Hikayat Prang Sabii dan Tgk. Nyak Ahmad (Uthi) pengarang kitab Hikayat Prang Coumpeuni dalam bahasa Aceh beraksara Jawi telah memberikan kontribusi besar terhadap sastra Aceh, dan menempatkan kesusteraan Aceh setara dengan sastra level internasional. Penghayatan dan karakteristik sastra Aceh memiliki kekhasan dan keistimewaan yang tidak dimiliki sastra lainnya, maka tak pelak lagi semangat patriotisme dalam membela negara dan agama menjadi senjata ampuh.

Pada proses transisi pencapaian kemerdekaan atau periode perang di Aceh, dan secara umum peperangan melawan penjajahan di Nusantara yang berkuasa beberapa lama seperti Portugis, Inggris, Spanyol, Belanda yang memiliki peradaban Yunani-Romawi menggunakan tulisan Latin, secara beransur-ansur telah mengubah bentuk pola pikir masyarakat –baik secara paksa atau tidak- dengan perang fisik dan merosotnya pendidikan dan pengenalan terhadap ilmu pengetahuan termasuk tradisi tulisan Jawi, baik berbahasa Aceh dan Melayu. Sehingga hanya dalam satu dekade telah terjadi ‘migrasi’ dari tulisan Jawi ke tulisan Rumi (aksara Latin), kecuali disebagian kecil yang masih mempertahankan ‘benteng’ dan tradisi tersebut seperti lembaga pendidikan agama, dayah-dayah, pesantren, balee pengajian, namun selebihnya tergerus dengan perkembangan zaman.

Ada warisan yang hilang dalam negeri ini, sepertinya punah dan tidak dimiliki oleh generasi sekarang baik dari segi sejarah, budaya dan karakteristik keacehan, dikarenakan para alim ulama baik pada masa kerajaan Aceh dan masa keemasannya dan pasca dinasti Aceh telah meninggalkan wasiatnya dengan aksara Jawi baik berbahasa Aceh dan Jawi, namun generasi kini belum mampu membaca dan mengkaji ilmu-ilmu melalui kitab-kitab spektakuler dan terkenal. Maka sudah saatnya ‘semangat’ tradisi tulisan Jawi baik bahasa Aceh maupun Melayu ditingkatkan untuk mampu menjamah masa kejayaan yang pernah digapai.

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top