Kekayaan manuskrip Nusantara, kini Asia Tenggara, pernah dilukiskan oleh Taufik Abdullah (2001: 14) sebagai buah dari ‘kegelisahan intelektual' para cerdik cendikia masa lalu. Sebagian besar dari para penulis teks-teks Nusantara itu juga adalah dari kalangan ahli-ahli agama, guru sufi, kyai, dan para mubaligh, selain para sastrawan tentunya, yang memiliki kepedulian untuk menerjemahkan Islam dalam konteks dan bingkai budaya lokal.
Pun terjemah yang dimaksud di sini bukan semata alih bahasa satu teks menjadi teks baru dalam bahasa lain, melainkan lebih dari itu penerjemahan ide, gagasan, dan bahkan ideologi dari sumbernya yang dianggap ‘asing' menjadi sumber yang diyakini sebagai ‘milik sendiri' (lihat Chambert-Loir [peny.] 2009: ...). Karenanya, khazanah manuskrip Nusantara yang kini kita miliki, dan terhubungkan dengan Islam, sedemikian dinamis dan merepresentasikan beragam ‘tafsiran' ---dari mereka yang oleh Taufik Abdullah disebut sebagai brokers of ideas (1987: 239)--- terhadap ideologi-ideologi yang lahir dari konteks pemikiran dan budaya lain, seperti Arab, Persia, India, dan lain-lain.
Dari ‘model rahim' seperti itulah lahir apa yang dapat kita sebut sebagai manuskrip Islam Nusantara dalam jumlah yang sangat besar! Kita bisa menyebut sejumlah kelompok bahasa lokal dari berbagai etnis yang digunakan untuk menulis manuskrip-manuskrip tersebut, seperti Aceh, Bugis-Makassar Mandar, Jawa, Madura, Melayu, Minangkabau, Sasak, Sunda, Wolio, dan beberapa bahasa lainnya, di samping tentu saja bahasa Arab yang menjadi ‘induknya' (gambaran tentang keragaman khazanah naskah Nusantara secara umum, lihat Chambert-Loir & Fathurahman 1999).