Monday, December 03, 2012

Peranan Hamzah Fansuri Dalam Kesusasteraan Nusantara


Sebagai sastrawan, karya Hamzah Fansuri pada abad ke-16 tidak hanya mempengaruhi penyair-penyair Melayu abad ke-17 dan ke-18 , tetapi juga penyair-penyair modern baik di Indonesia maupun Malaysia (Melayu-Nusantara). Pengaruh ini bisa berlaku secara langsung atau tidak langsung. Pengaruh prinsip-prinsip pembaruan Hamzah Fansuri masih membayangi prinsip-prinsip pembaruan para penyair modern.
Hamzah Fansuri termasuk seorang dari para perintis jalan baru. Karya-karyanya menjadi pertanda lahirnya era Melayu Klasik. Namun demikian, tidak berarti bahwa sebelumnya di Nusantara –khususnya Aceh- tidak pernah menghasilkan karya puisi sama sekali. Puisi telah berkembang sebelumnya secara lisan, yang menjadi sebuah tradisi dan adat di Aceh. Namun Hamzah Fansuri ialah tokoh pemula puisi Melayu klasik tertulis, sebagai suatu jenis sastra yang nyata dan mempunyai bentuknya yang tersendiri. Hamzah Fansuri juga telah membuka cakrawala perkembangan prosa mistik-keagamaan yang bersifat ilmiah.
Walaupun kebesaran Hamzah Fansuri sebagai pelopor pertama syair modern dan kesusasteraan tidak diragukan, namun tidak mudah menemukan karya-karyanya dalam bentuk manuskrip, karya tulis tangan di lembaran-lembaran masa lampau. Dari beberapa skriptorium naskah yang ada di Aceh, seperti
Museum Aceh, Yayasan Ali Hasjmi, zawiyah Tanoh Abee, hingga kepada koleksi pribadi masyarakat, belum diperoleh satu naskah karya lengkap Hamzah Fansuri. Akan tetapi, karya-karya masih tersimpan rapi di berbagai perpustakaan dan museum –baik yang sudah dikaji atau belum-, seperti di Perpusnas Jakarta, Museum Malaysia, Leiden University, dan lainnya.
Hamzah Fansuri memiliki karya prosa dan syair. Dalam bentuk prosa, Asrar al-‘Arifin fi Bayan ilm as-Suiluk wa at-Tauhid, Syarab al-‘Asyiqin atau Zinnat al-Muwahhidin, Al-Muntahi. Dan syair-syairnya; Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Sidang Fakir, Syair Ikan Tongkol, Syair Perahu, Syair Burung Pungguk.
A.Teeuw menyebutkan paling tidak ada tiga corak puisi Hamzah Fansuri sehingga dapat disebut modern dalam permulaan puisi Indonesia bukan Melayu saja. Pertama, individulitasnya; puisinya tidak anonim seperti biasa terjadi dengan sastra Melayu lama. Hamzah Fansuri dengan tegas mengemukakan dirinya sebagai pengarang syairnya, tidak hanya dalam sebuah kolofon atau pascakata, tetapi didalam teks puisinya sendiri, dia menerapadukan namanya dengan kepribadiannya dalam puisinya. Dengan demikian Hamzah Fansuri melambangkan era baru dalam sastra, sebagai ungkapan seorang individu yang memanisfestasikan kepribadian secara sadar dalam puisi.
Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya. Hal itu kita lihat kemudian dalam perkembangan puisi Indonesia pada abad ini, misalnya dengan penciptaan soneta oleh penyair tahun abad ke-19 dan 20.
Ketiga, menyangkut pemakaian bahasa yang sangat kreatif. Misalnya pemakaian kata-kata Arab yang sangat menonjol dalam puisinya.
Syair-syair Hamzah Fansuri juga menunjukkan persamaan struktur yang menarik. Setiap syair bertemasalah satu aspek ilmu tasawuf Hamzah Fansuri, yang diuraikan dalam bentuk puitis. Uraian itu ada kalanya bersifat ajaran digabung dengan peringatan/nasehat ataupun luapan ekstasis pengalaman penghayatan spiritual. Syair-syairnya yang tidak menampakkan atavisme (penjelmaan binatang anonim) merupakan inovasi yang betul-betul orisinil yang sebelumnya tidak dijumpai dalam kesusastraan Melayu.
Kita patut berterima kasih, saat A Teeuw (Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, 1994), membantah atas klaim sastrawan lain, menurut Sutan Takdir Alisjahbana bahwa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai “Perintis Sastra Melayu Baru”, melalui gaya sastra penceritaan akuan (aku sebagai pencerita), -merupakan yang pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia- (Maman S. Mahayana, Kesusastraan Malaysia Modern, 1995: 152) yang diciptakan Abdullah ternyata telah terdapat dalam syair-syair Hamzah Fansuri dua abad sebelumnya.
Demikian juga, saat gelar “Bapak Kesusastraan Melayu” diberikan kepada Raja Ali Haji (Mahayana, 1995: 162) atas karya monumentalnya, Gurindam Dua Belas, yang terbit pada tahun 1263 H (1847 M)—jauh lebih muda ketimbang karya Abdul Kadir Munsyi, apalagi dengan zaman Hamzah Fansuri. Melihat analisis A Teeuw dan karya Hamzah Fansuri, sudah pasti karya Raja Ali Haji dipengaruhi oleh syair-syair Hamzah Fansuri. Oleh karenanya, wajib hukumnya bagin kesusastraan Indonesia menulis ulang sejarahnya lagi dengan mencantumkan Hamzah Fansuri sebagai penyair modern pertama dan Bapak Kesusasteraan Melayu. Hal tersebut senada dengan  R.J. Wilkinson dan R.O Winstedt dalam bukunya Kumpulan Pantun Melayu (1961), dan Abdul Hadi WM dalam bukunya Tasawuf Yang Tertindas (2001)
Hal ini sangat penting untuk dikaji lebih mendalam, sebab Hamzah Fansuri berasal dari wilayah pantai Barat Selatan, Barus dan Fansur, “Hamzah nin asalnya Fansuri, Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi” dan “Hamzah Fansuri di dalam Makkah, Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah, Di Barus ke Qudus terlalu payah, Akhirnya dapat di dalam rumah”. Syair tersebut menunjukkan tempat asalnya, karya-karyanya tersebut tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi karyanya kuat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan yang melahirkan “rasa” kesusasteraan, yang dapat mengasah jiwa dan sense-nya. Saya yakin, Hamzah Fansuri adalah salah seorang yang mewakili sekian banyak para sastrawan di tanah Aceh saat itu.
Sebab, beberapa peneliti menyebut bahwa ada syair-syair yang berkembang menyerupai rima dan struktur syair Hamzah Fansuri. Doorenbos dalam bukunya De Geschriften van Hamzah Fansuri (1933) yang memuat syair anonim, namun terlanjur dianggap sebagai karya Hamzah Fansuri, yang ternyata ditulis atas nama Hasan Fansuri dan Abdul Jamal, keduanya murid Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrai. Hal tersebut sebagaimana disebut oleh A Teeuw (1952), Skinner (1963), Voorhoeve (1968), dan kemudian diperkuat oleh Braginsky (1975 dan 1993), Drewes dan Brakel (1986), serta Hadi WM (2001). Kini, ia menunggu konstribusi generasinya – sebagai pewaris- untuk dapat membangkitkan karya-karyanya.

Artikel ini disampaikan dalam seminar ‘Hamzah Fansuri dan Karyanya’ di Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh, 2 Desember 2012. Acara tersebut dilaksanakan oleh Majelis Sastra Hamzah Fansuri dalam rangkaian acara Piasan Seni Banda Aceh 2012 (28 Nopember – 2 Desember 2012)

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top