Sunday, April 29, 2012


(Opini Harian Aceh, 29 April 2012) Salah satu referensi utama dan otentik dalam mengungkapkan sejarah Kesultanan Aceh Darussalam adalah manuskrip (naskah kuno), di antaranya yang terpenting berjudul Bustanus Salatin fi Zikr al-Awwalin wal Akhirin (Bustanus Salatin), yaitu satu-satunya kitab fenomenal yang disusun pada abad ke-17, tepatnya pada masa Iskandar Muda (1607-1636) dan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641), dan telah mempengaruhi penulisan karya pada abad-abad selanjutnya. Kitab historis sekaligus memiliki nilai sastra ini terdiri 7 bab, dan khusus gambaran tentang Kesultanan Aceh dan geneologi pemimpinnya pada periode tersebut bearada di bab 2 pasal 13.

Pada masa tersebut, kitab inilah paling lengkap menceritakan kisah raja-raja Melayu secara universal, termasuk Kesultanan Aceh Darussalam. Kitab karya ulama non-Aceh Syekh Nuruddin Muhammad ibn Ali ibn Hasanji ibn Muhammad Hamid ar-Raniri, berasal dari Gujarat-India. Jika merujuk kepada kandungan isi naskah maka bisa ditemukan antara bab dan pasal saling bersinambungan dan berkaitan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kitab ini dikarang secara periodik dan kontinue sebelum dan setelah berada di Aceh.

Berdasarkan rekaman sejarah, kitab Bustan as-Salatin menjadi perintis yang mengupas tentang historikal Kesultanan Aceh yang bersifat teologis sekaligus historis. Disebut teologis sebab mengurai keesaan Tuhan dan segala wujud tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan prosesnya. Sedangkan dikategorikan historis karna merangkup perjalanan Sultan-sultan Aceh. Kitab Bustan as-Salatin karya Nuruddin ar-Raniri terilhami dari kitab karya ulama sebelumnya, Bukhari al-Jauhari berjudul Taj as-Salatin.

Kesultanan Aceh Darussalam dalam Manuskrip

Read More

Wednesday, April 25, 2012


Kata “perang, damai dan merdeka” di Aceh bukanlah kosakata baru. Ketiganya sudah melekat dalam perjalanan sejarah Aceh dan perkembangan peradabannya hingga sekarang ini. Pada saat ini, Aceh telah mencapai suatu kesepakatan perdamaian yang telah lama didambakan, melewati puluhan tahun peperangan, kekerasan, penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Tumbuh dan mengikatnya trust and peace building semestinya tetap terpelihara dan terjaga hingga akhir zaman, terutama untuk mengubah “mitos” Aceh yang suka perang.
Mitologi tersebut sudah menjadi pengetahuan umum oleh masyarakat, perihal tersebut tidak terlepas dari sejarah Aceh, baik pada awal-awal proses Islamisasi di Aceh yang menjadi pintu gerbang Islam di Asia dan Nusantara. Hingga periode penjajahan Portugis, Belanda, Jepang dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Negeri Aceh tetap berkobar dan berdarah. Terjadi penindasan, pengasingan, pembunuhan hingga penahanan atau tawanan. Banyak tokoh-tokoh  besar ulama dan umara’ Aceh di tawan, termasuk Sultan dan Panglima Perang.
Oleh karena itu, naskah karangan Abdurrahman al-Azhari al-Syahir masyhur dengan gelar “Al-Qabbani” di Aceh menjadi catatan penting, jika dianalisis isi naskah dengan konteks masyarakat atau bangsa Aceh ketika itu. Apabila ditinjau secara umum kandungan naskah merupakan fadhilat para syuhada Ahl Badar dengan bertawassul kepada mereka akan bebas dari tawanan (tahanan). Jika dilakukan kajian lebih mendalam, patut diberi tanda bahwa mereka bukan hanya sekedar menyalin ulang syair-syair syuhada Ahl Badar, akan tetapi juga keyakinan akan amalan tersebut, dengan cara tertentu dapat melepaskan mereka dari tawanan perang kolonial Belanda saat itu.

Perang, Tawanan dan Merdeka dalam Manuskrip Aceh

Read More

Thursday, April 19, 2012


Artikel ini berisi tentang penjelasan Tgk H Mulyadi Nurdin Lc dan Syech H Zul Anshary Lc dalam pengajian Balee Beuet di Rumoh Aceh Kopi Luwak, Jeulingke, tentang kisah-kisah bencana dalam Alquran dan hadits Rasulullah SAW.
Materi ini dibahas panjang lebar dalam pengajian rutin di Rumoh Aceh Kopi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh, Rabu (18/04/2012). Pengajian kali ini lebih ramai dari biasanya. Selain peserta rutin, di antaranya pemilik Warung Kopi Luwak Rumoh Aceh, Muhammad Nur, Kolektor Naskah Kuno Aceh Tarmizi A Hamid, hadir juga dosen IAIN Ar-Raniry Drs Hasan Basri M Nur MAg dan Hermansyah M.Hum serta kalangan jurnalis, mahasiswa, dan para pekerja lepas.

Dari sisi ilmu alam, gempa adalah fenomena alam. Tapi bagi kita seorang muslim dan mukmin, peristiwa semacam ini adalah peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Bahwa manusia tidak berarti apa-apa di depan Allah, Sang Pencipta Alam Semesta.

“Bagaimana pun tingginya ilmu pengetahuan dan canggihnya teknologi yang dihasilkan manusia, tidak ada yang mampu menghentikan bencana yang telah ditakdirkan oleh Allah. Belum pernah ada dalam sejarah, manusia mampu menghentikan goyangan bumi akibat gempa. Bahkan, jangankan mengantisipasi gempa, memprediksikan kapan dan di mana gempa terjadi saja, banyak yang tidak akurat,” kata Mulyadi Nurdin.

Selebihnya, kedua

Kisah Bencana Dalam Al-Qur'an dan Manuskrip

Read More

Saturday, April 14, 2012

Ta'bir gempa
Aceh adalah salah satu wilayah di Nusantara berdampak guncangan gempa bumi dari belahan bumi ini sebab berada pada patahan lapisan bumi, demikian kesimpulan satu dasawarsa terhadap berbagai bencana yang menimpa Aceh dan sebagian wilayah Nusantara, penanganan serius dan fokus terhadap gempa memang sudah ditunjukkan oleh badan instansi yang menangani khusus di bidang ini, seiring dengan perkembangan teknologi dunia terhadap berbagai gejala alam yang terjadi belakangan ini.

Perhatian terhadap gempa sebenarnya juga sudah menjadi fokus utama para pendahulu terhadap gempa bumi dan dampak ikutannya di Aceh, bahkan perhatian tersebut lebih mendalam dan serius dari pada bencana-bencana lainnya yang pernah terjadi di Nusantara seperti angin puting beliung, petir, banjir, letusan gunung dan sebagainya. Sebagai buktinya paradigma preventif orang-orang terdahulu (paling tidak sebagian besar intelektual dan arif) telah merekam dengan menulis dan menyalinnya sesuai dengan setting sosial yang kemudian diwariskan kepada anak cucunya.
Pemahaman dan pengetahuan keilmuan budaya lokal yang diwariskan leluhur sering terabaikan, penggalian budaya asli (setempat) sebagai sistem peringatan dini terhadap bencana tidak efektif diakibatkan tidak adanya kajian terhadap dokumentasi mengenai pengetahuan tradisional baik formal maupun non formal. Sebaliknya urbanisasi dan jumlah populasi penduduk suatu wilayah begitu pesat dengan bercampur berbagai kultur dan budaya semakin terabaikan konteks lokal tersebut, padahal para leluhur telah merekam dan mendokumentasi bencana gempa sebagai bagian mitigasi bencana yang terukir dalam manuskrip (naskah kuno).

Tabir Gempa Dalam Manuskrip: Rekaman atau Ramalan?

Read More

Thursday, April 05, 2012


Peneliti sejarah Aceh, Hermansyah mengungkapkan, banyak sejarah di Provinsi Aceh sudah tidak terarah saat ini. Banyak sekali situs sejarah di Aceh tidak terawat dengan baik, bahkan ada yang hilang. Begitu juga dengan sejarah tentang Kesultanan Aceh.
Sejarah Kesultanan Aceh sudah cukup banyak yang berubah karena ditulis orang luar. Sebenarnya ada 34 sultan, namun yang terpublikasi hanya Sultan Iskandar Muda.

Dikatakan,sejarah kesultanan Aceh wajib diperjuangkan oleh seluruh masyarakat Aceh. Untuk itu sangat penting bagi masyarakat untuk dapat memperingati hari kesultanan Aceh, apalagi bagi anak-anak cucu kita ke depan. "Kalau data tentang sejarah Kesultanan Aceh Darussalam mulai jelas kembali, kita bisa memperjuangkan untuk dipatenkan di tingkat pusat," ujar Hermansyah dalam diskusi peringatan 501 tahun Kesultanan Aceh Darussalam, Sabtu (31/3).

Hermansyah berharap hasil diskusi kali ini terhadap peringatan 501 tahun Kesultanan Aceh Darussalam tidak hanya di meja diskusi, namun harus mampu dibawa ke tingkat menteri. Karena, bagaimanapun seluruh elemen masyarakat bertanggungjawab untuk melestarikan sejarah Aceh.

Banyak Situs dan Bukti Sejarah Aceh Telah Hilang

Read More

Sunday, April 01, 2012

Banda Aceh – Puluhan elemen masyarakat yang tergabung dalam beberapa lembaga di antaranya  aktivis, seniman, Production House (PH), penulis,  dan kalangan media di Aceh mengadakan pertemuan untuk memperingati 501 tahun Kesultanan Aceh Darussalam.

Acara peringatan yang turut di hadiri ketua DPRK Banda Aceh Yudi Kurnia dan Arkeolog Aceh, Dr. Husaini dari Unsyiah  berlangsung di D’Rodya Café, Banda Aceh, Sabtu (31/3),  mendapat sambutan baik dari sejumlah elemen masyarakat yang hadir.

Arkeolog Aceh, Dr. Husaini mengaku, bahwa di Aceh perlu mengangkat sejarah di Aceh, masyarakat dan pemerintah, begitu juga dengan peneliti sejarah di Aceh harus meneliti kembali tentang situs situs sejarah dan kesultanan Aceh. Pasalnya, sejauh ini masih banyak kesimpangsiuran sejarah, bila hal ini tidak diluruskan maka sejarah di Aceh akan menjadi teka teki  dimasa depan.

Peneliti sejarah, lulusan India, Hermansyah, mengaku, bahwa banyak sejarah Aceh yang sudah tidak terarah lagi, di mana banyak sekali situs-situs sejarah di Aceh tidak terawat dengan baik bahkan ada yang hilang. Begitu juga dengan sejarah tentang Kesultanan di Aceh.

“Sejarah kesultanan di Aceh sudah cukup banyak yang berubah karena ditulis oleh orang luar Aceh, misalnya, terkait tentang kesultanan itu ada 34 sultan, namun,

501 Tahun Kesultanan Aceh Darussalam

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top