oleh: Oman Fathurahman.
Siapa mengira bahwa seorang ulama penting Kesultanan Banten pada abad ke 18, Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani, adalah ternyata guru intelektual bagi sejumlah ulama Mindanao, Filipina Selatan pada masa lalu? Dan siapa sangka bahwa bagi Muslim Mindanao, Aceh pernah menjadi kiblat keilmuan Islam sejak ratusan tahun lalu?
Nyatanya, begitulah yang terekam dalam beberapa manuskrip Islam Melayu di Marawi City, sebuah Kota berpenduduk 90% Muslim di Pulau Mindanao, yang baru terungkap setelah ratusan tahun terkubur dalam sejarah masyarakat Melayu di wilayah ini.
Perjalanan udara dan darat yang cukup melelahkan dari Manila ke Kota Marawi City pada Sabtu (25/2) lalu seakan terbayar ketika saya bersama Sejarawan Sophia University, Profesor KAWASHIMA Midori, dan Ervan Nurtawab dari STAIN Jurai Siwo Metro Lampung akhirnya dapat membuka-buka 12 manuskrip Islam berbahasa Melayu yang teronggok tak terawat dalam karung plastik di Shiek Ahmad Basher Memorial Research Library, Jamiat Muslim Mindanao di Matampay, Marawi City, Filipina.
Sehari sebelumnya, Alim Usman Imam membawa kami ke Maktabat al-Imam Assadiq, Masjid Karbala, tempat tersimpannya 49 manuskrip Islam Melayu dan Arab warisan Haji Muhammad Said, atau Sayyidna, seorang ulama pengembara abad 19 asal Magonaya Mindanao yang pernah singgah di Borneo, Lingga, Johor, dan Palembang, sebelum 7 tahun belajar di Haramayn.
Kondisi manuskrip di tempat ini sudah lebih tertata berkat ‘sentuhan' filolog dari Universitas Indonesia, Tommy Christomy, yang berkunjung beberapa tahun sebelumnya bersama KAWASHIMA Midori.