Thursday, November 22, 2012

Dalam masyarakat Aceh kita akan menjumpai sejumlah karya sastra dari zaman lampau. Diantara karya sastra itu ialah hikayat. Hikayat ditulis hampir seluruhnya berbentuk puisi dengan menggunakan huruf Arab-Melayu tetapi tetap dalam teks berbahasa Aceh. Ditinjau dari segi masyarakat Aceh, hikayat tidaklah dipandang sebagai karya fiksi yang utuh. Hikayat dan cerita rakyat semacam itu lebih berat dipandang sebagai suatu peristiwa kehidupan yang benar-benar ada daripada sebagai buah pikiran pengarangnya. Juga, isi kandungan hikayat dianggap mewakili sekelumit peristiwa kehidupan sosial Aceh sehingga amat mempengaruhi tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial, kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya.
Hikayat adalah salah satu jenis sastra Aceh, pada umumnya dalam bentuk puisi diucapkan atau ditulis dalam bahasa Aceh. Hikayat Aceh pada awalnya dikembangkan hanya melalui lisan, disampaikan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Periode ini mengutamakan hafalan dan komunikasi lisan dari satu orang ke orang lain. Seiring perkembangan zaman maka beralihlah ke era tulisan yang dituangkan dalam naskah-naskah atau tulisan tangan. Kini jenis sastra ini menjadi khazanah budaya dan warisan leluhur yang didalamnya mengandung kekayaan, nilai-nilai moral, pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, hukum, sejarah dan perilaku masyarakat pada masa lalu.  Warisan khazanah budaya Aceh dalam bentuk naskah informasinya jauh lebih luas dan lebih jelas jika dibandingkan dengan peninggalan budaya yang berbentuk material seperti istana, mesjid, batu nisan, mata uang, dan sebagainya.
Istilah Hikayat berasal dari bahasa Arab “hikāyah” artinya cerita, dongeng, kisah, bentuk masdar dari kata kerja “hakā” yaitu; menceritakan, mengatakan sesuatu kepada orang lain.  Di Aceh hikayat dikenal sebagai sebuah karya sastra umumnya berbentuk syair sajak, sebagian kecil saja yang berbentuk prosa, isinya meliputi segala aspek bidang ilmu dan berbagai corak seperti dongeng, cerita, sejarah, nasehat, kisah, surat, nazam, dan sebagainya.
Berbeda dengan istilah hikayat dalam bahasa Melayu yaitu merupakan narrative story yaitu dalam bentuk prosa beralur cerita (narasi) atau dikenal novel dalam sastra modern. Para ulama-ulama Aceh lebih mengarahkan ciptaan karya mereka (hikayat) pada karya keagamaan dan nasehat yang berisi amar makruf nahi mungkar serta ajaran-ajaran lainnya sesuai dengan tuntunan agama Islam, walaupun sisi ilmu pengetahuan umum tak diabaikan.
Hal tersebut selaras dengan pendapat C. Snouck Hurgronje bahwa sastra Hikayat Aceh berbeda dengan sastra Hikayat Melayu, Hikayat Melayu berbentuk prosa, sedangkan Hikayat Aceh berbentuk puisi di luar jenis pantun, nasib, dan kisah. Hikayat bagi orang Aceh tidak hanya berisi cerita fiksi belaka, tetapi berisi pula butir-butir yang menyangkut pengajaran moral; ke dalam kelompok ini termasuk kitab-kitab pelajaran sederhana, asalkan ditulis dalam bentuk sanjak.
Sastra melayu sebagai salah satu karya sastra lama yang memiliki nilai-nilai budaya luhur, dibedakan menjadi dua jenis (genre) sastra, yaitu jenis sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan melayu tumbuh dan berkembang melalui tuturan cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari orang tua kepada anak, dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Jenis lisan ini ada yang didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu.

Hikayat Aceh Dalam Ranah Kesusasteraan Melayu-Indonesia (1)

Read More

Tuesday, November 20, 2012


A. Pengantar
Sejarah kesusastraan Melayu yang penuh dengan hingar bingar karya sastra dalam beragam bentuknya memang tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam. Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad ini menyebar di wilayah Melayu melalui peranan para saudagar dari negeri-negeri muslim lain yang telah terlebih dahulu mengenal agama samawi terakhir ini. Selanjutnya, sendi-sendi kehidupan masyarakat Melayu diwarnai oleh ajaran-ajaran Islam, tak terkecuali sisi sastra yang memang telah menjadi bagian terpenting masyarakat Melayu selama ini tentunya. Persentuhan dan interaksi Islam dengan masyarakat Melayu ini kemudian melahirkan beragam karya sastra. Sejarah kemudian mencatat mengemukanya cerita-cerita Melayu yang bernuansa Islam atau buku-buku mengenai keislaman yang ditulis oleh para penulis Melayu yang senantiasa menjadi bahan kajian beragam pihak hingga saat ini.
Salah satu karya yang cukup menarik perhatian banyak kalangan yang dihasilkan penulis di era Melayu klasik adalah ”Hikayat Muhammad Hanafiyah”. Cerita yang termuat dalam hikayat ini sebagian besarnya berasal dari India Selatan dan merupakan peristiwa tertentu yang pernah terjadi dalam sejarah. Naskah-naskahnya tersebar di berbagai tempat di dunia dan beragam kajian telah dilakukan oleh banyak pihak terhadap hikayat ini. Tulisan berikut mencoba untuk meneliti naskah cerita Melayu klasik tersebut berdasarkan tahapan penelitian yang diterapkan dalam kajian filologi.

B. Analisis Filologis Terhadap ”Hikayat Muhammad Hanafiyah”
Penelaahan filologis atas ”Hikayat Muhammad Hanafiyah” menjadi menarik karena di samping menjadi salah satu cerita yang sangat populer dalam kesusastraan Melayu, hikayat ini juga merupakan bentuk apresiasi yang tinggi terhadap Nabi Muhammad dan keluarganya. Apresiasi yang tinggi kaum muslim tersebut tidak hanya sebatas pujian-pujian saja, tetapi lebih jauh lagi menjadi budaya yang mewujud dalam beragam tradisi yang memiliki satu tujuan, yaitu penghormatan terhadap Nabi Muhammad dan keluarganya. Salah satu contoh dari mengemukanya tradisi penghormatan atau memperingati perjuangan dan pengorbanan Nabi dan keluarganya adalah tradisi Tabuik di Pariaman dan Taboot di Bengkulu.
Untuk melakukan analisis filologis terhadap hikayat ini, diperlukan seperangkat tahapan yang mesti dilakukan. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menganalisis hikayat ini menurut ilmu filologi adalah pencatatan dan pengumpulan naskah, metode kritik teks, susunan stema, dan rekonstruksi teks.

Kajian Filologis "Hikayat Muhammad Hanafiyah"

Read More

Sunday, November 18, 2012


(Reza Idria). Cuaca sedang buruk-buruknya ketika saya menunggu kedatangan orang tua ini di KITLV Leiden. “Itu Iskandar sudah tiba,” bisik Josephine Schrama, perempuan yang telah 20 tahun lebih setia melayani peneliti mana pun yang datang untuk lingkup kajian Karibia dan Asia Tenggara di pusat studi milik Kerajaan Belanda itu.

Saya memang kerap menanyakan pada Josephine dan rekannya Rini Hogewing tentang keberadaan Profesor Teuku Iskandar dan meminta diberitahu kalau-kalau ahli Bahasa Melayu dan peneliti naskah kuno kelahiran Aceh tersebut terlihat di perpustakaan. Pada hari itu di penghujung musim dingin 2009 yang saya tidak ingat benar tanggalnya, Josephine memberitahukan bahwa Teuku Iskandar telah memesan beberapa buku secara online dari koleksi KITLV. Dia akan datang mengambil, dan untuk itu saya menunggu.

Setelah ia menggantung mantel dan menyeka hablur putih salju di rambut kepalanya yang berwarna sama, saya mendekat dan menjabat tangannya. Saya memperkenalkan diri sebagai pelajar rantau dan berasal dari Aceh. Iskandar tidak tampak antusias seperti harapan saya. Ia tersenyum hambar saja.

Mungkin bagi dia sudah biasa ada pejabat, mahasiswa, atau pelancong dari Aceh yang menjumpainya di Leiden. Tapi ada kebiasaan orang tua di Aceh yang tetap ditunjukkannya saat bertemu atau bertamu dengan seseorang, yakni tawaran menjamu. Iskandar meminta saya menunggu.

Teuku Iskandar: Filolog Korban Plagiat dan Fitnah

Read More

Saturday, November 17, 2012


Buku Aliran Sesat di Aceh: Dulu dan Sekarang
Aksi penghakiman massal yang dilakukan oleh kelompok massa yang terjadi baru-baru ini di Plimbang, Bireuen, (17 November 2012) mengingatkan kita ke beberapa rangkaian peristiwa keagamaan sebelumnya di Aceh, dengan kasus yang sama, aliran dan paham sesat.
Tokoh utama yang diduga menebar ajaran sesat adalah Aiyub Syahkubat (47 thn) yang berakhir tewas bersama satu murid pengikutnya dengan cara "dibakar" atau "terbakar". Peristiwa ini tentu menjadi ancaman bagi lembaga pemerintahan bidang keagamaan dan kepolisian, sebab kasus Aiyub tersebut sudah pernah mencuat pada tahun 2011 (21 november 2011), dan dalam pengawasan.
Kasus tersebut, sebagaimana dimuat di salah satu media:
"Beberapa hari ditampung di musala Polres Bireuen, Aiyub dan pengikutnya dialihkan dengan mess Masjid Agung Bireuen. Di sana mereka disidangkan Majelis Permusyawaatan Ulama (MPU) Kabupaten Bireuen. Beberapa kali sidang, MPU melakukan interogasi terhadap Aiyub dan beberapa pengikutnya di kantor MPU Bireuen.
Akhirnya, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Bireuen dalam surat keputusannya menetapkan kegiatan yang dilakukan Aiyub dan pengikutnya menjurus kepada kesesatan. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Tgk Aiyub Syahkubat dan pengikutnya itu harus dihentikan di seluruh Kabupaten Bireuen.
Penetapan itu salah satu poin dalam Keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Bireuen Nomor: 451.5/002/2011 tertanggal 7 April 2011 tentang kegiatan kelompok Tgk Aiyub Syahkubat, warga Jambo Dalam, Kecamatan Plimbang, Bireuen yang menjadi sasaran amuk massa terkait isu ajaran sesat, kala itu.

Kembalinya Aliran Sesat Di Negeri Syariat

Read More

Tuesday, November 13, 2012



Teuku Iskandar, itulah nama yang aku kenal sekilas, pria yang lahir di Trienggadeng, Pidie, 86 tahun yang lalu, tertera namanya di beberapa buku yang merujuk  sebagai sumber utama. Dia memainkan perannya dengan mengunjungi dan menemukan kembali sejarah Aceh melalui karya-karyanya yang membumi. Saya tidak begitu tahu mengapa namanya selalu mengingatkan saya dengan sosok agung lainnya, Iskandar Muda. Mungkin secara implisit saya mengira bahwa hasil-hasil tulisannya mencerminkan keagungan seorang Sultan Iskandar Muda.
Nama Teuku Iskandar sudah selalu mengelilingi academia. Wajar jika dia mendapat pengakuan sebagai salah satu pemikir terakhir tidak hanya bagi orang Aceh, tapi juga bagi dunia intelektual Melayu. Dia berada dalam generasi yang menyaksikan peristiwa-peristiwa agung Aceh dimulai dari tahun tahun terakhir penjajahan Belanda, pergerakan kemerdekaan, pembentukan indonesia modern dan peristiwa-peristiwa Darul Islam. Jika kita ingin membandingkan akademik karirnya, barangkali saya bisa menyebutkan bahwa dia berada sejajar dengan Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas di Malaysia.
Meskipun tidak hidup di Aceh, dia telah mengkontribusikan kegiatan-kegiatan akademiknya terhadap peradaban dan sejarah Aceh. Beberapa karya hebatnya, Hikayat Aceh, Bustanussalatin, adalah sumber pribumi terkenal yang menarik perhatian pihak-pihak terkait di seluruh dunia. Sebagai tambahan, dia juga mengkompilasikan sumber sumber otentik Melayu dalam katalog seperti, Katalog Manuskrip Melayu, Minangkabau, dan Sumatra Selatan (1999, Leiden). Ini merupakan pekerjaan yang menggunakan waktu lama dan menantang yang telah ia lakukan selama dekade awal ketika belum ada seorang pun yang meminati sejarah Aceh. Satu isu paramon lainnya adalah ia juga mempenakan disertasi PhD-nya dalam bahasa Belanda ”De Hikayat Aceh” (1959, Leiden).

Darinya, Belajar di "Dunia Berbeda"

Read More

Banda Aceh– Sekitar 30 lebih mahasiswa prodi Sejarah Kebudayaan Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry Banda Aceh melakukan study naskah (manuskrip) ke kediaman kolektor Manuskrip, Tarmizi A Hamid, pada hari Sabtu sore (10 November 2012). Kegiatan ini merupakan bagian pendalaman ilmu filologi di Fakultas Adab untuk mahasiswa, agar dapat memahami ilmu seluk beluk naskah.
Tujuan dari kegiatan ini supaya mahasiswa lebih mengenal manuskrip secara langsung, baik fisik, karakteristik, keunikannya, sejarah maupun kandungan isi naskah. Dengan adanya kegiatan ini, mahasiswa dapat membaca, melihat dan berinteraksi secara langsung dengan manuskrip, sehingga dapat menumbuhkan minat mahasiswa dalam mengkaji khazanah Aceh.
Sebagai mahasiswa yang konsen dalam bidang sejarah kebudayaan, maka kajian terfokus pada sejarah dan budaya Aceh, baik dalam hal adat istiadat, pemikiran, kearifan lokal, adat pantang, tradisi budaya, maupun khazanah keilmuaan lainnya. Penelusuran ini diharapkan dapat diperoleh beragam informasi dan membongkar “kevakuman” sejarah dan budaya Aceh yang kini semakin terpendam.

Aceh Butuh Jurusan Filologi

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top