Tuesday, February 25, 2014

KATA maulod atau maulid berasal dari kata serapan bahasa Arab yang dimaknai hari lahir. Maulid Nabi Muhammad SAW adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang diperingati atau dirayakan pada setiap 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat.
Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Perayaan Maulid Nabi, kabarnya pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193). Dan ada sumber lain yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin al-Ayyubi sendiri.
Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan sekitarnya. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya tradisi ini menyebar ke daerah-daerah sentral Muslim dalam kegiatan peringatan keagamaan untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad, hingga akhirnya berkembang bukan hanya pada pembacaan syair-syair mahabbah kepada Rasulullah, akan tetapi juga pada ranah sosial budaya dan adat-istiadat yang "dikawal" secara turun-temurun.

Tradisi Maulid Nabi di Aceh dalam Manuskrip Aceh

Read More

Monday, February 24, 2014

Naskah Tajus Salatin tba-tiba menjadi perhatian saya, yang sebelumnya sudah sejak lama saya mengincar untuk membacanya. Kabarnya naskah tersebut merupakan asas manajemen pemerintahan Kesultanan Aceh sejak periode Sultan Alaidddin Riayat Syah (997-1011 H (1589-1604) karya dari Bukhari al-Jauhari. Sosok tokoh ini juga belum terungkap, dan akhirnya melahirkan tanda tanya dan beberapa asumsi asal usul tokoh tersebut, apakah ia berasal dari Bukhara, ataukah ia dari Johor dengan gelar "al-Jauhari" atau al-Johori. (lihat link: http://www.iranicaonline.org/articles/taj-al-salatin). Semua dapat dilakukan penelitian lebih mendalam untuk perkembangan keilmuan dan intelektual di alam Melayu Nusantara secara umum, dan Aceh khususnya.
Mengapa khusus Aceh, sebab naskah ini dianugerahkan kepada kepada Sultan Aceh. Terlepas dari euforia kejayaannya, tapi warisan ini cukup sulit ditemui di Aceh pada zaman modern ini, padahal isinya mungkin cukup relevan untuk dijadikan cerminan dengan sekarang, (lihat: http://hermankhan.blogspot.com/2011/07/asas-pemimpin-dalam-tajus-salatin.html), setidaknya "belajar" mempertahankan tradisi dan mengembangkan visi. 
Prof. Iskandar menyebutkan bahwa proses transliterasi ke aksara Jawi sekitar tahun 1603 M di Aceh pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah. Pedoman sistem kenegaraan tersebut merujuk kepada karya Persia, mungkin disusun di India, karena bukti internal menunjukkan bahwa penulis memiliki pengetahuan puisi Persia.
Hal tersebut dapat dilihat pada sosok Nuruddin al-Raniry yang mengabdikan dirinya kepada Sultan Aceh di wilayah Kerajaan Aceh. Padahal tokoh tersebut -dalam beberapa penelitian- pernah eksis Pahang dan Haramain, demikian juga asal negerinya di India, akan tetapi kemudian karyanya belum ditemui bahwa ia menulis di Pahang dan atau di Haramain. Kecuali beberapa kitab (3 kitab) yang ditulis di India pasca kepulangannya dari Aceh.
Karena itulah, Bukhari al-Jauhari -dan banyak ulama Aceh-Melayu lainnya- juga meninggalkan banyak tanda tanya tentang dirinya, walaupun harus diakui tradisi penulis di tanah Aceh-Melayu selalu tak ingin dikenal, sebuah sifat tasawuf (sufisme) dalam karya mereka tanpa mengharap apresiasi dari manusia.
Halaman Awal Naskah Tajus Salatin koleksi Malaysia disalin tahun 1967

Sejak Prof. Farish Noor dari Singapura menanyankan tentang keberadaan naskah Tajus Salatin dari negeri asalnya, Aceh, di beberapa media jejaring sosial, yang akhirnya juga mendarat ke inbok elektronik saya. Saya bertambah penasaran dan tanda tanya, salah satunya adalah naskah manuskrip yang dianggap sebagai pedoman tatanegara Kesultanan Aceh yang dipakai beberapa periode lamanya, tak pernah (atau lebih bijak -belum-) ditemukan di Aceh.
Sebut saja, pedoman yang dirujuk dalam naskah Tajus Salatin kemudian masih diaplikasi setengah abad berikutnya, periode Safiyatuddin Syah Tajul Alam terpilih sebagai Sultanah Kerajaan Aceh, tokoh perempuan yang memiliki kontropersi ideologi di dunia Muslim Nusantara, termasuk Jazirah TImur Tengah. 
Sebenarnya hal ini bukan hal yang baru bagi saya, sebab naskah-naskah fenomenal lainnya di Aceh juga bernasib sama, sebut saja Bustanus Salatin karya Nuruddin Ar-Raniry juga tak pernah muncul di koleksi negara atau swasta. Benar atau tidak, memang kita -pemerintah dan masyarakat- sama-sama sepakat tidak menghiraukan karya-karya indatu (leluhur), atau turut bekerjasama "menjajah" karya sendiri bersama dengan penjajah intelektual.
Nasib naskah Tajus Salatin memiliki nasib yang hampir serupa, sepertinya harus diperoleh naskah-naskah lebih tua dan autoritatif untuk mendapatkan informasi lebih kongkret dan detail atas keberadaan naskah itu sendiri, termasuk sosok penulisnya yang kian terlupakan. Tapi sepertinya jalan masih panjang, semoga masih ada harapan naskah itu terselip di rak lemari rumah masyarakat Aceh, wallahu'alam...

Melacak "Nasib" Naskah Tajus Salatin di Aceh

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top