Wednesday, September 24, 2014

Di era orde baru dan awal reformasi, perhatian terhadap pelestarian naskah belum memadai dikarenakan beberapa faktor, antaranya situasi politik Aceh dengan konflik vertikal berkepanjangan, ternyata banyak mempengaruhi ke sektor lain, termasuk pendidikan, budaya dan penelitian keilmuan. Faktor lainnya yang mempengaruhi lemahnya regulasi pemerintah terhadap pelestarian warisan tulis adalah minimnya sumber daya manusia (SDM) di Aceh. Akibatnya, pengetahuan seputar ilmu filologi dan pernaskahan (manuskrip) tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk pelajar dan para pewaris manuskrip itu sendiri.
Sebenarnya, program kegiatan pemeliharaan (preservation) sudah dikenal sejak dahulu, dan pasca gempa-Tsunami 2004 terus tumbuh berkembang dalam dunia pernaskahan Aceh, preservasi masa mendatang dapat meliputi; Inventarisasi naskah, Katalogisasi, Restorasi naskah, Digitalisasi naskah, Database (pangkalan data), dan Tipologi kajian (analisis) teks, naskah serta kajian kontekstual. Sebahagiannya sudah dilakukan secara berkelanjutan, walaupun belum ada prioritas kebijakan terhadap program-program tersebut, sehingga belum ada sinerginitas antara satu lembaga dengan lainnya. Secara periodik, perhatian terhadap preservasi naskah di masyarakat dapat dipilah menjadi dua bagian sesuai dengan situasi dan kondisi Aceh, yaitu pra dan pasca bencana alam dan bencana kemanusiaan. Hal itu untuk memudahkan melihat regulasi pemerintah dan perhatian masyarakat terhadap kearifan dan pengetahuan untuk merevitalisasi pengetahuan budaya dan kultur masa lalu dengan konteks sekarang dengan jumlah ribuan naskah di Aceh.
Akumulasi angka tersebut tentu akan mencapai jumlahnya jika dirunut sebelum tragedi gempa dan tsunami Aceh-Nias pada 26 Desember 2004 atau sesudahnya. Hingga sebelum tragedi bencana dunia tersebut, Aceh memiliki beberapa lembaga yang mengoleksi naskah-naskah Jawi (Bahasa Aceh dan Melayu) dan Arab, seperti di Museum Negeri Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH) berlokasi di Banda Aceh. Zawiyah Tanoh Abee di Seulimuem, Aceh Besar, dan Dayah Awee Geutah, Bireuen.

Nasib Manuskrip Aceh: Kini dan Nanti (1)

Read More

Monday, September 22, 2014

Kajian perobatan medis di Aceh telah mencapai fase keselarasan, pada saat tema-tema keagamaan dan kebudayaan mendapat “lahan utama” di dunia intelektual dan para peneliti (researchers), baik dalam tatanan pemerintahan (kesultanan) maupun masyarakat bawah (grassroots). Pada hakikatnya, ranah kajian medical ataupun perobatan secara tradisional dan modern telah mendapat tempat yang sama dengan kajian keagamaan, seperti ilmu tasawuf, tauhid dan syariat yang selama ini dan sebelumnya mendapat sorotan utama.
Informasi tersebut dapat ditelusuri dari banyaknya karya tulis di bidang kedokteran yang dihasilkan oleh para intelektual atau tokoh-tokoh agama di Aceh pada beberapa abad yang silam. Karya tulis tangan (manuskrip) atau naskah klasik merupakan sumber primer dan bukti kejayaan yang digapai oleh Aceh dalam bidang-bidang tersebut, seperti pencetus munculnya sistem tulisan aksara Arab-Jawi di dunia Melayu-Nusantara, atau lahirnya sistem/kaidah syair (puisi) dari Hamzah Fansuri, dan lain sebagainya.
Artikel ini melihat konteks rajah dari sudut pandang antro-filologis, yang bertahan sejak periode kesultanan, peperangan hingga kemerdekaan. Mengapresiasi semangat leluhur dengan hanya menyimpan warisan yang telah mereka wariskan kepada kita tidaklah cukup. Demikian manuskrip-manuskirp rajah yang dipandang sebagai salah satu pengobatan alternatif tidak hanya sebatas bacaan dan dinikmati kandungan isi, akan tetapi lebih bermakna untuk dieskplorasi lebih mendalam, secara medis dan filosofisnya melalui multidisipliner ilmu. Termasuk masyarakat memeliharanya sedemikian rupa dan mewarisi fisik manuskripnya, dan hanya sedikit yang mewarisi ilmunya.

Tradisi Pengobatan Meurajah dalam Manuskrip Aceh

Read More

Friday, September 19, 2014

This article discusses the development of Syattariyah Sufi order as one of religious traditions in Aceh in the colonial era based on the manuscript of Muhammad Khatib Langien’s Mi‘rāj al-Sālikīn ilá Martabat al-Wāsilīn bi-Jāh Sayyid al-Mursalīn. The Syattariyah teachings in Mi‘rāj al-Sālikīn have proved the existence of Muhammad Khatib Langien in the Malay-archipelago world. In applying his teachings, Muhammad Khatib Langien has the different procedures than that one of  ‘Abd al-Raūf al-Fansuri. In addition to practical teachings, Muhammad Khatib Langien employs local symbols such as wearing skullcaps and turbans in the swear oath (bay‘ah) process. This tradition is meant to respond the foreign culture as well as to show the identity of each members of Syattariyah sufi order. It is proved that Muhammad Khatib Langien’s teachings that can be accepted by all people and groups even without having support from the local authorities at the time.

Di Aceh, jalur ‘Abd al-Raūf al-Fansuri (Abdurrauf Syiah Kuala) bukanlah satu-satunya penghubung tarekat Syatariyah dari dunia Islam (Mekah dan Madinah) ke dunia Melayu-Nusantara, khususnya Aceh. Beberapa naskah koleksi Tanoh Abee menyebutkan terhubungnya murid-murid tarekat Syatariyah di sana tanpa melalui jalur Abdurrauf al-Fansuri di era yang sama. Demikian juga jaringan silsilah Syatariyah di Pidie dari tokoh utama adalah Muhammad bin Ahmad Khatib Langien di Pidie. Berada di Gampong (desa) Langien di wilayah kemukiman berada di Pidie (Kabupaten) yang jauh dari sentral Kesultanan Aceh (Banda Aceh).
Hubungan silsilah tarekat Syatariyah terjalin kuat antara ulama Nusantara, Arab dan India secara langsung ataupun tidak. Konsep ajaran yang disebarkan di Nusantara –khususnya Aceh- tidak berbeda jauh dengan konsep di tempat lahir dan berkembangnya tarekat ini. Walaupun belum didapatkan tokoh Arab atau India dalam tarekat ini yang langsung berkiprah di Aceh, seperti peran Nūr al-Dīn al-Ranirī periode Iskandar Tsani (w. 1641) dan pamannya, Hamīd al-Rānirī di masa Iskandar Muda (w. 1630), yang mengembangkan tarekat Qadiriyah di Aceh.
Tarekat Syatariyah masuk dan berkembang di Aceh hampir bersamaan dengan atau setelah tarekat Qadiriyah. Sejauh ini, ‘Abd al-Raūf al-Fansuri memiliki jaringan terluas di Nusantara, dan dapat dipastikan yang pertama. Dengan pengalamannya selama 19 tahun di Jazirah Arab dan “berguru Syatariyah” kepada Ahmad al-Qushāshī dan Ibrāhim al-Kurānī hingga dipercayakan untuk mengembangkan ajaran tarekat di Nusantara. Ia mampu mengorbitkan ulama-ulama dalam tarekat Syatariyah di seluruh wilayah Melayu-Nusantara, diantaranya Burhanuddin Ulakan, (w. 1699 M) dari Pariaman, Sumatra Barat, Abdul Muhyi (w. 1738 M) dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Yusuf al-Makassari (w. 1999 M) dari Sulawesi, dan Syaikh Abdul Malik bin Abdullah atau Tok Pulau Manis (1678-1736) dari Terengganu.

Mi‘rāj al-Sālikīn: Survivalitas Ajaran Tarekat Syatariyah di Aceh Periode Kolonial

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top