Friday, June 26, 2015

Teks "Mawa'id al-Badi' (al-Badi'ah)" karya Syekh
Abdurrauf  al-Fansuri
ABDURRAUF BIN ALI AL JAWI AL FANSURI adalah salah seorang ulama besar di Aceh dan pengembang utama tarekat Syattariyah di Aceh dan Asia Tenggara.
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Selain penasihat empat Sultanah di Kerajaan Aceh, ia juga termasuk ulama yang paling aktif menulis kitab sepanjang abad di berbagai bidang ilmu berjumlah kurang lebih 38 judul kitab.
Ia menulis mulai bidang ubudiyah, muamalah, tauhid, tasawuf, tafsir Quran, etika dan lainnya di bidang sosial dan kearifan masyarakat Aceh khususnya, dan masyarakat Melayu umumnya.
Salah satu kitabnya berjudul Mawa’id al-Badi’ (al-Badi’ah) diartikan Pengajaran yang indah-indah (berguna) yang berisikan 50 wasiat pengajaran (poin) Syekh Abdurrauf kepada manusia.
 “Dan kunamai akan dia Mawa’id al-Badi’ artinya segala pengajaran yang indah-indah. Hai segala anak Adam laki-laki dan peremppuan, percayakan oleh kamu akan segala pengajaran ini, jangan engkau syak (ragu) akan dia, karena segala pengajaran ini setengahnya (sebagiannya) aku ambil dari perkataan Allah, dan dari Rasulullah, para Sahabat, Aulia Allah, hukama, dan ulama..”.
Pesan tersebut dimulai dengan sebuah anjuran supaya dikaji ulang pada setiap hari atau seminggu sekali atau sekurang-kurangnya sebulan sekali. Faidah membaca kitab ini menurut ulama pengarang kitab tafsir  berbahasa Melayu (Indonesia) pertama kali supaya hati manusia menjadi lembut.
Bahkan, barangsiapa yang telah membacanya dan tidak mengamalkan isinya akan termasuk orang yang merugi. Maka, maklum saja jika kitab ini diperoleh banyak sekali variannya.
Kitab ini disalin oleh banyak orang dalam beberapa tahun berikutnya hingga masa kemerdekaan.
Apabila dipersentasekan isi kitab ini, wasiat pengajaran Abdurrauf banyak membahas tentang etika dan karakter seorang muslim. Anjuran-anjuran di dalamnya mengutamakan sikap bersosial terhadap orang lain, sepuluh peringatan pertama seluruhnya menyebutkan tentang sikap manusia.
Pertama yang diungkapkan oleh Abdurrauf adalah kematian (maut) dan proses di hari kiamat. Epistemologi tersebut merupakan langkah utama bagi manusia yang dianggap baligh dan berakal sebagai tujuan akhir hidup ini.
Kemudian, pada peringatan kedua ia menegaskan tentang tauhid.

Ini Wasiat Abdurrauf Syiah Kuala Untuk Kita

Read More

Friday, June 19, 2015

Naskah Khalut (Khalwat) koleksi Tgk Mukhlis
di Caleu - Pidie
Dalam menyambut Ramadhan sebagai bulan penuh berkah, masyarakat Aceh memenuhinya dengan beragam aktivitas positif. Mulai dari kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan yang berbentuk formal atau non-formal hingga kepada cara-cara eklusif dan khusus dalam beribadah di bulan penuh berkah.
Meugang misalnya, yang menjadi tradisi dalam menyambut bulan penuh ampunan itu telah diterapkan sejak kesultanan Aceh.
Dalam naskah Adat Aceh disebutkan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1015 H (1607) menyediakan daging meugang pada malam terakhir bulan Sya’ban kepada masyarakat sekitar istana Aceh, acara besar-besar itu juga melibatkan para uleebalang dan para orang kaya untuk sama-sama merayakannya.
Aktivitas khusus lainnya adalah bersuluk atau khalwat (khulwah) atau dalam bahasa Aceh dikenal khalut. Kegiatan biasanya diilakukan di zawiyah-zawiyah (dayah) yang terdapat mursyid atau syekh (guru) yang dinilai memiliki ilmu di bidang tersebut.
Pada dasarnya, tidak ada seleksi bagi murid-murid yang ingin mengikuti kegiatan suluk ataupun khalut, pesertanya bisa jadi dari murid-murid di zawiyah tersebut, ataupun masyarakat luar yang ingin bersuluk dan memperbanyak ibadah.
Kata khalut berasal dari bahasa Arab yaitu khalwat yang dikonotasikan menyendiri, atau dalam konteks ritual keagamaan dikategorikan bersemedi.

"Khalwat" di Bulan Ramadhan

Read More

Bab Faidah Fadilah Puasa Ramadhan, Sembahyang Lima waktu
dan Sembahyang Jumat
SETIAP menjelang Ramadhan, masyarakat Aceh akan menyambut bulan penuh berkah dengan cara khas, yakni tradisi mameugang atau meugang.
Tradisi ini dipercaya telah melekat sejak era Kesultanan Aceh, sebuah tradisi yang dijalankan oleh Sultan dan Sultanah di wilayahnya menjelang Ramadhan sebagai rasa syukur dan senang menyambut Ramadhan.
Cerita sejarah inilah yang diinvetarisir melalui teks-teks tertulis (manuskrip) masa lampau, guna melacak khazanah Aceh masa lampau dan direviitalisasi kembali menjadi sebuah paduan, dan tidak menjadi mitos belaka.
Tidak mudah untuk menemukan tradisi-tradisi tahunan yang berlaku di Aceh seperti meugang, meulaot, tradisi blang, hari Asyura, ataupun acara lainnya dalam catatan-catatan lokal. Hal ini banyak menyulitkan peneliti asing untuk melihat Aceh seacra komrehensif masa lampau.
Tradisi meugang di era kesultanan Aceh tercatat dalam naskah Adat Aceh yang dikoleksi di Verhandelingen di London di India Office Library, dan dua salinan lainnya ada di Perpustakaan Leiden. Kemudian Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde, (KITLV) Jilid XXIV, Den Haag-Belanda mengoleksinya.
Pada tahun 1850, Braddell menerjemahkan beberapa bagian teks. Dan G.W.J Drewes dan P. Voorhoeve pada tahun 1958 menerbitkan sebuah faximile yang direproduksi dalam bentuk foto memungkinkakn teks berhuruf Arab-Jawi itu bisa langsung dibaca. Pada tahun 1976 ditranskripsi kembali oleh Teungku Anzib Lamnyong.
Pada tahun 1985, melalui Departemen P dan K, Ramli Harun dan Tjut Rahma MA Gani mengalihaksara kembali teks “Adat Aceh” yang sama.
Di sinilah diketahui bahwa teks “Adat Aceh” tertanggal 3 Desember 1815 berasal dari W.E Philips yang menemukannya di Pulau Pinang (Penang) ketika ia menjadi gubernur di koloni Inggris sampai tahun 1824.
Oleh karena itu, sepertinya agak sulit menemukan varian lain di Aceh saat ini, walaupun di sisi lain kita masih bersyukur, khazanah indatu Aceh masih terselematkan dan tersimpan di banyak negara di luar negeri.
Teks bagian meugang diawali pada saat para petinggi Kesultanan Aceh bermufakat tentang awal puasa dan meugang.

Tradisi Meugang di Kesultanan Aceh

Read More

Tuesday, June 16, 2015

APA  yang dikerjakan oleh masyarakat Aceh terdahulu selama bulan puasa Ramadhan? Pertanyaan ini, memaksa saya membuka dokumen-dokumen tempo dulu, baik dari sumber manuskrip Aceh ataupun catatan-catatan orang asing.
Teks tentang syarat dan cara melihat Hilal
awal bulan Ramadhan
Ternyata, informasi yang diperoleh cukup beragam dan berharga, setidaknya menjadi cerminan dan instropeksi untuk untuk generasi saat ini.
Waktu senggang di bulan Ramadhan dianggap paling efektif untuk mengisi hari para intelektual “junior” dan “senior” (syaikh) untuk menyalin dan mengarang kitab.
Itulah kemudian beberapa manuskrip yang ditemui saat ini banyak yang ditulis ulang (disalin) pada bulan Ramadhan atau setelahnya. Hal tersebut dapat ditelusuri di kolofon teks, atau bagian penutup dari sebuah kitab, terutama pada kitab-kitab yang menjadi panduan ataupun rujukan.
Pada masa ini juga dianggap paling baik untuk penyebaran manuskrip ke luar Aceh, sebab pasca bulan Ramadhan, jamaah haji dari wilayah Melayu-Nusantara naik haji ke Mekkah melalui jalur laut Selat Malaka, dan posisi strategis Aceh menjadikannya sebagai tempat transit (Pulau Sabang dan atau Banda Aceh) bagi jamaah haji al-Jawiyyin (julukan bagi orang-orang dari Asia Tenggara), karena itulah Aceh dijuluki sebagai “Serambi Mekkah”.
Di sinilah manuskrip-manuskrip tersebut menyebar luar ke seluruh Negara-negara tetangga, Thailand, Filiphina, Brunai Darussalam dan seluruh kawasan Indonesia, bahkan hingga ke Mekkah-Madinah (Haramain).
Kitab-kitab yang dianggap menarik untuk dipelajari oleh banyak jamaah, maka akan disalin ulang selama perjalanan di kapal laut. Mereka memperbanyak untuk dipelajari, terutama kitab-kitab yang banyak dibahas dan menarik, terutama karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani. Nuruddin Ar-Raniry, dan Abdurrauf al-Fansuri, Muhammad Khatib Langgien, dan Abdullah Al-Asyi, dan hikayat-hikayat perang Aceh.

Ulama Aceh Dahulu Menulis Buku Pada Bulan Ramadhan.

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top