Thursday, June 09, 2016

Mengincar Manuskrip di Flohmark Jerman

Flohmark, begitulah tulisan di pamplet dan kertas sebaran yang tertempel di beberapa tempat umum di Jerman, khususnya di Hamburg. Begitu mendengar atau melihat kata flohmark, para warga setempat ataupun pendatang yang berdomisili di sana akan riang dan gembira, baik yang berumur tua, kawula muda, laki-laki ataupun perempuan akan menjajakinya. Bagi mereka, ini merupakan kesempatan baik untuk sesuatu yang selama ini diincar sesuai dengan minat dan kecenderungan tersendiri, tidak terkecuali bagi saya.

Arti dari flohmark adalah pasar loak atau pasar kaget yang menjual barang bekas atau baru dengan harga (sangat) murah. Barang-barang disini dijajakan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang beragam, misalnya sang kolektor, penjual barang-barang pecah belah, ataupun pribadi seseorang yang tidak memiliki jiwa usaha tetapi ingin menjual barang-barang yang tidak diinginkannya lagi. Mayoritas dari mereka menjual segala jenis pakaian, mainan, sepatu, tas, barang rumah tangga, alat dapur, alat sekolah, perkantoran, buku-buku, vcd, prangko lama dan lainnya. Harganya tentu jauh di bawah harga pasar ataupun supermarket, sebab itu barang bekas (second) -walaupun sebagiannya terdapat yang barang baru-, dan kedua sang pemilik tidak ingin lagi memilikinya.

Di salah satu tempat di Elshorm, di luar kota Hamburg, flohmark kali ini diadakan pada musim panas, tepat sehari sebelum puasa Ramadhan 1437 H (2016). Klai ini, saya tidak mencari barang keperluan rumah atau lainnya, namun punya misi tersendiri dan lebih khusus, mencari manuskrip di pasar loak (flohmark) Jerman. Bagi saya tentu akan menarik jika menemukan sesuatu yang tidak pernah diduga sebelumnya, terlebih -kadang- dapat menemukan manuskrip-manuskrip Aceh ataupun Jawi (Melayu-Nusantara) di Jerman. Tentu, itu punya nilai tersendiri.

Hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya, sebab jaringan-jaringan orang Aceh dan Melayu terdahulu telah terhubung dengan Eropa, dan Jerman adalah salah satu negara adikuasa di Eropa. Terlepas apakah ia punya hubungan langsung dengan Asia Tenggara khususnya Melayu Nusantara ataupun tidak, namun yang pasti  Aceh lebih awal mencapai puncak keselarasan  sebelum hancur akibat agresi Belanda 1873-1942. Pada saat yang sama Jerman baru terbentuk yang dikenal era Jerman modern sekitar tahun 1871, atau lebih awal saat terbentuk konfederasi Jerman pada tahun 1815 yang diprakarsai oleh Kerajaan Prusia, dan ia mengalami kehancuran pada Perang Dunia II (PD II) tahun 1939-1945. Namun, negara bekas kekaisaran ini cepat "move on" dan mengorbit produk-produk terbaik dan bergengsi seperti Mercedes-Benz, BMW, Airbus, Siemen, Volkswagen, Allianz, Nivea dan lainnya, yang membuatnya negara dengan ekonomi terbesar dan terkuat di Eropa.


Menikmati pasar flohmark yang tertib dan teratur menjadi merupakan salah satu bagian yang dinikmati oleh pengunjung. Saya  berjalan mengitari lapak-lapak satu persatu, dan setiap bertemu dengan area lapak menjual buku-buku tua saya lihat periksa satu persatu. Bagi sang penjual tidak akan mengatakan apa-apa, sebab harga jual barang biasa sudah diletakkan diantara barang-barang tersebut, kisaran 1-5 euro. Apabila barang bagus akan lebih mahal lagi, tetapi tidak semahal harga di supermarket ataupun toko.

Hingga pada satu lapak, saya menemukan perangko dan buku-buku lama era PD II yang di dalamnya ditulis beberapa syair (sajak) dan kisah lainnya dalam bahasa Jerman. Menariknya, sang penulis mencantumkan tempat dan penanggalan saat ia menulis tersebut, tahun 1925. Dengan gelagat meyakinkan berbahasa Jerman dengan grammar yang belum benar, saya bertanya harga untuk salah satu buku tersebut "Wie viel Preis dieses Buch?" kira-kira artinya Berapakah harga buku ini?. Sang penjual berkata "drei euro fünfzig sen" (3 euro 50 sen), berkisar 50 ribu rupiah.  Sebuah harga yang murah dengan catatan berharga masa lampau.


Sejauh ini, dan pada flohmark kali ini, saya belum menemukan manuskrip-manuskrip Aceh ataupun Melayu yang "terdampar" ke Jerman, berharap kedepan juga tidak pernah ada di pasar loak tersebut. Cukup, ia terpelihara dengan baik di negerinya sendiri oleh generasi yang waras akan pentingnya warisan "khazanah indatu".  


0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top