Sisi luar gedung penyimpanan manuskrip yang sudah tua dan rusak, 2012 (Foto Koleksi Pribadi Hermansyah) |
Tanoh Abee, entah berapa tokoh yang telah diorbitkannya, dan entah berapa profesor yang lahir bersumber penelitian dari tanah debu ini. Memang ironis, saat namanya yang begitu megah, kini ia harus menyendiri dalam kesunyian.
Zawiyah Tanoh Abee tersingkir oleh keangkuhan dan ketidakpedulian generasinya. Konstribusi, perjuangan, dan pergolakannya dalam mencerdaskan umat manusia sepanjang berdiri Kesultanan Aceh hingga kemerdekaan Republik Indonesia belum mampu menggores bekunya hati pemimpin.
Mungkin, kekaguman kita -sebagai muslim- akan biasa terdengar sayup di telinga akan Tanoh Abee, sebagai lembaga yang mampu mewarisi ribuan naskah klasik dan orisinil itu.
Akan tetapi tidak hanya muslim, kekaguman itu telah membuat para peneliti non-muslim pun terkesima, salah satunya Henri Chambert-Loir, sebagai filolog senior dan peneliti, dalam kata pengantarnya di buku Katalog Tanoh Abee, iapun menumpahkan segala isi hatinya.
"Menurut cerita dan silsilah itu, seorang asal Baghdad bernama Syekh Fayrus al-Baghdadi tiba dan menetap di Aceh pada paruh kedua abad ke-17. Anak cucunya kemudian mendirikan empat dayah di Aceh: tiga di daerah Seulimeum (di Tanoh Abee, Klut dan Leupung Ngoum) dan satu di daerah Indrapuri (di Lampucuk). Kata Aceh dayah berasal dari kata Arab zawiyah dan menunjukkan sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional lokal, semisal pesantren di Jawa.