Tuesday, April 20, 2021
Friday, March 12, 2021
Aléh (١ )hai aneuk tungkat abuwa.
Miseu huruf ب peuraho laweung
Nyoe ت hai adék meutiték dua.
Teuma huruf ث meuji_'ei linteung.
Nyoe ج ngon خ ح keunoeng that lagè.
Tincu that ulè meuprut jih cateun.
Nyoe huruf ذ د meupingkoe-pingkoe.
Teuduk meuranjoe ban adoe aduen.
Miseu huruf ر parang cah duroe.
Miseu huruf ز parang cah uteun.
Di س deungon ش meu gigoe-gigoe.
Lagė gögajoe ngoen koh-koh papeun.
Di ص deungoen ض umpama sadeup.
Teumpat mat meugup teu eh teulinteung.
Nyoe ط deungoen ظ ureung raya prut.
Nibak gurè beut euntreuk tatumeung.
Di ع deungoen غ meutamse uleue.
Teungoh 'eu-'eu rab bineh ateung.
Dihuruf ق ف umpama jalô.
Atawa peurahô ka meupök kareung.
Teuma huruf ك hai bungong padé.
Babat ngon cah gle hana hi peudeung.
Teuma huruf ل wahé boh hatě.
Ban mata kawé hanalé beuneung.
Meunyoe huruf م lagè glang tanoh.
Meunan keuh contoh di dalam jangeun.
Tahafai hai neuk malam ngon beungoh.
Mangat tatu'oh watę gop yue kheun.
Nyoe ن teulinteung meutalum titék.
Nyoe و hai adék meubungkôk udeung.
Meunyoe ھ èk leuk ban reuhueng bintéh.
Meunyoe لا rampagoe pineung.
Nyoe ء hai nyak meuduroe kawat.
Nyoe ي saban that iték lague krueng.
Ngon وَالسّلام karangan tamat
Meunan geu surat le gurė zameun.
Sumber: FB
Thursday, December 17, 2020
Nama Al-Asyi telah menunjukkan nisbat ke orang dari negeri Aceh. Namanya Abdullah, orang tuanya Ismail Al-Asyi. Tidak banyak data dan informasi biografi tokoh ini, namun karyanya berjudul Nuzhat al-Ikhwan fi Ta'lim al-Lughati wa Tafsir Ikhtilaf al-Lisani (disingkat Nuzhatul Ikhwan) telah membuat namanya dikenang hingga sampai saat ini.
Apalagi teks naskah Nuzhatul Ikhwan merupakan naskah pertama yang membahas tentang kamus dan panduan bahasa asing untuk sehari-hari. Ada empat bahasa yang disebutkan di dalamnya; Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Melayu (Jawi), dan Bahasa Aceh.
Judul lengkap Nuzhatul Ikhwan sebagaimana disebut di atas diterjemahkan sendiri oleh pengarang; artinya tempat bersuka 2 hati segala saudara pada berlajaran empat bahasa, mula 2 bahasa Arab, dan Turki, dan Melayu, dan Aceh.
Kitab Nuzhatul Ikhwan ditulis dan diterjemah oleh Abdullah bin Ismail al-Asyi. Menurut Wan Shagir Abdullah, anak dan ayahnya ini meninggal dan dimakamkan di Mesir. Namun sejauh ini, belum diperoleh data lengkap tentang hal tersebut.
Namun sosok ayahnya, Ismail al-Asyi dapat dilihat pada situs Keluarga Mahasiswa Mesir (KMA); Syekh Ismail Al-Asyi: Ketua Mahasiswa Melayu Pertama di Mesir. Itu menunjukkan peranan besar sosok Ismail Al-Asyi pada masa ia berada di Mesir bagi pelajar dan intelektual Melayu di Mesir.
![]() |
Kitab-kitab yang diterbitkan dan dijual di toko buku Maktabah al-Halabi wa Awladuhu, di Mesir |
Kitab Nuzhatul Ikhwan diterbitkan oleh Penerbit terkenal pada masanya "Mushtafa al-Bab al-Halabi wa awladuhu" di Mesir pada Rabiul Awal tahun 1349 H, bertepatan dengan September 1930 M. Sejauh ini, tidak diketahui ini cetakan ke berapa.
Kamus pegangan kosa kata dan ucapan sehari-hari dalam 4 bahasa dapat disebutkan sangat penting pada masa itu, mengingat para penuntut ilmu (thalibul 'ilmi) dari negeri Aceh dan Melayu Nusantara banyak di Mesir dan Haramain, di mana mereka berkomunasi dengan muslim dari negeri lain, terutama Arab dan Turki.
Struktur pembahasannya dibagi pada 1 pembukaan, 6 pasal, 1 faidah, dan 1 khatimah (penutup).
Selanjutnya padanan kata dan susunan kalimat, juga dalam empat bahasa.
Kitab ini masih relevan untuk digunakan pada masa sekarang dengan beberapa revisi dan penambahan kosa kata yang diperlukan pada saat ini.
Thursday, October 29, 2020
Allāhumma śalli 'alā Sayyidinā Muhammad wa 'ala ālihi wa śahbihi ajma'īn..
Seluruh alam bersuka cita atas kelahiran baginda Nabi Muhammad. Setiap kitab-kitab samawi sebelumnya telah menyebut akan datang Nabi dan Rasul terakhir untuk umat manusia. Selawat, pujian dan keteladanan mengalir tiada akhir.
Salah satu manuskrip terbaik yang dibaca di seluruh wilayah muslim adalah kitab "Dalail al-Khairat wa Syawariq al-Anwar fī dhikri aś-Śalāt 'alā an-Nabī al-Mukhtār " (Tanda2 kebaikan dan Cahaya Cemerlang dalam Berselawat kepada Nabi Pilihan) karangan Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman bin Abu Bakar al-Jazuli al-Samlali asal Maroko, meninggal tahun 1465 M.
Keindahan beberapa manuskrip Dalailul Khairat sebagai persembahan terbaik kepada Baginda Nabi Muhammad. Iluminasi dan seni hias yang indah dihiasi tinta emas, kecantikan khat (kaligrafi) dikhususkan kepada kaligrafer handal guna menghasilkan karya yang indah.
Hingga ini, Dalailul Khairat merupakan salah satu kitab populer lintas zaman dan generasi yang digunakan mayoritas muslim di seluruh pelosok bumi untuk mengungkapkan kecintaan dan kerinduannya kepada Baginda Nabi, dengan harapan syafaat, kebaikan dan keberkahan darinya.
#MaulidNabiMuhammadSAW
#dalailulkhairat
Friday, October 02, 2020
Tak dapat dipungkiri, banyak artefak cagar budaya rusak dan hilang, baik diakibatkan bencana alam ataupun (lebih parah) bencana sosial manusia.
Dari tangan-tangan manusia yang tidak paham pentingnya warisan khazanah cara budaya tersebut ditambah lagi merusak makam-makam orang besar, alim ulama dan para sultan.
![]() |
Museum Arkeologi di Istambul, Turki |
Kasus perusakan akibat minimnya pengetahuan masyarakat terhadap makam-makam pusaka tidak dapat disalahkan sepenuhnya, perilaku mereka seperti menghancurkan batu nisan, mencabut, mengasah pisau atau perang, tempat jemuran, lahan sampah dan lainnya, akibat tidak ada pengetahuan dan sosialisasi pentingnya artefak yang tersisa saat ini.
![]() |
Museum Arkologi di Mesir |
Dua contoh museum arkeologi di dunia, The Grand Egyptian Museum di Mesir, dan Museum Arkeologi atau Istanbul Akeoloji Muzeleri di Turki telah menyedot perhatian dunia. Kedua museum tersebut bahkan mampu mendatangkan investasi besar-besaran dari berbagai negara.
Banda Aceh dengan SDM yang dimiliki, baik dari universitas maupun LSM di Aceh dengan disertai “good will” dari pemerintah Kota Banda Aceh akan terwujud dengan mudah dan berkelanjutan.
Dengan ratusan situs dan artefak berlimpah di Aceh, khususnya Banda Aceh, pertanyaan paling mendasar, mungkinkah Aceh memiliki museum arkeologi. !!
Baca juga: Pande Menuju Perlak 2
KASUS cagar budaya di Gampong Pande dan sekitarnya, sepertinya akan terus terjadi kerusakan secara sistemik, tidak ada pada satu bagian saja. Akan tetapi telah terjadi banyak kerusakan, mulai dari pelestarian, perlindungan (konservasi), edukasi kepada publik, baik masyarakat ataupun dunia pendidikan, manajemen lintas sektoral, yang semuanya telah terjadi menahun, bukan hanya pada periode ini saja.
Oleh karena itu, Pemerintah Aceh dan khususnya Pemerintah Kota Banda Aceh harus memiliki sikap jelas terhadap UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, dan UU Pemajuan Kebudayaan nomor 5 Tahun 2017.
Tindak lanjut dari amanat negara di atas, setidaknya menjadi pelajaran penting bagi Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Aceh untuk menerbitkan Qanun Cagar Budaya, menetapkan wilayah-wilayah situs, sekaligus pengembangannya dalam pemajuan warisan benda.
Belajar dari Kerkhof
Sebanyak 2.200 orang serdadu dan non-militer Belanda (KNIL) pada perang Aceh dikuburkan di kompleks pemakaman Kerkhof yang memiliki lahan seluas 3,5 hektar. Lahan ini pada awalnya merupakan bagian halaman luar istana Kesultanan Aceh yang sekaligus dimakamkan keluarga Sultan Aceh pada abad ke-17 M.
Banyaknya pasukan dan pimpinan Belanda mati akibat perang, membuat lahan ini dicaplok untuk area kuburan Belanda. Saat Indonesia merdeka, seorang mantan serdadu Belanda menginisiasi perawatan dan perbaikan kuburan indatunya pada tahun 1970-an.
Awalnya dilakukan pengumpulan dana sosial dari generasi para veteran dan publik melalui Yayasan Dana Peutjut (Belanda: Stichting Peutjut Fonds). Akhirnya, pemerintah Belanda juga mengucurkan dana untuk perlindungan dan perawatan kuburan “pahlawan”nya.
Bahkan di tahun 2015, pihak Belanda melalui Kolonel CJ Kool, mantan Atase Militer Belanda ingin mengajukan kuburan Kerkhof menjadi warisan dunia di UNESCO. Lucunya, pihak Kota Banda Aceh tanpa rasa malu dengan semangat mengamini niat tersebut. Padahal, itu menjadi tamparan keras kepada pihak Aceh yang mengabaikan warisan cagar budaya yang telah berumur ratusan tahun dan lebih bernilai harganya.
Tentunya hanya generasi yang memiliki darah pejuang yang akan peduli terhadap indatunya, hanya darah “pejuang Aceh” yang mengalir di tubuhnya yang peduli kepada pendahulunya, dan hanya pemimpin atau orang yang memiliki jiwa kebangsaan yang memperhatikan nasib bangsanya.
Semestinya, kita belajar dari semangat dan kepedulian Belanda terhadap kuburan serdadunya walaupun jauh dari negerinya. Seharusnya kita malu karena makam-makam pahlawan, ulama dan pemimpin (sultan) di depan mata kita hancur dengan cara “sengaja”.
Pusat Arkeologi Asia Tenggara
Salah satu bagian yang dapat diwujudkan Kota Banda Aceh dengan warisan cagar budaya tersebut adalah menjadikan pusat atau museum arkeologi alam di Asia Tenggara. Nama ini tentu sudah dapat ditabal jika melihat sebaran artefak hasil karya pendahulu Aceh tidak hanya berada di Banda Aceh, akan tetapi menyebar hingga ke seberang laut, baik kepulauan di Indonesia ataupun negara-negara jiran.
Banyak negara-negara yang memiliki peradaban tinggi menjadikan cagar budaya menjadi objek wisata dan pusat keilmuan. Turki, Mesir, China, India, dan berbagai negara yang memiliki warisan peradaban cagar budaya menjadi contoh untuk ditiru. Kemajuan dan pemajuan kota serta negara tanpa mengabaikan peninggalan leluhurnya.
Oleh karena itu, daerah-daerah yang memiliki situs tertua dan langka dapat menjadi kawasan situs arkeologi untuk para peneliti, pelajar, pengunjung ataupun wisatawan umum. Dengan demikian, keberadaan situs-situs yang ada di ibukota Aceh juga dapat dipelihara dan dirawat dengan baik agar dapat mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kota Banda Aceh.
Hal tersebut akan menambah daya tarik pengunjung ke Banda Aceh sekaligus membuka investasi dunia penelitian dan pendidikan, kepemudaan setempat, dan ekonomi masyarakat kecil di kawasan tersebut. Program itu juga sejalan dengan misi Kota Banda untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan kesejahteraan masyarakat
Museum Arkeologi
Tak dapat dipungkiri, banyak artefak cagar budaya rusak dan hilang, baik diakibatkan bencana alam ataupun (lebih parah) bencana sosial manusia.
Dari tangan-tangan manusia yang tidak paham pentingnya warisan khazanah cara budaya tersebut ditambah lagi merusak makam-makam orang besar, alim ulama dan para sultan.
Kasus perusakan akibat minimnya pengetahuan masyarakat terhadap makam-makam pusaka tidak dapat disalahkan sepenuhnya, perilaku mereka seperti menghancurkan batu nisan, mencabut, mengasah pisau atau perang, tempat jemuran, lahan sampah dan lainnya, akibat tidak ada pengetahuan dan sosialisasi pentingnya artefak yang tersisa saat ini.
Dua contoh museum arkeologi di dunia, The Grand Egyptian Museum di Mesir, dan Museum Arkeologi atau Istanbul Akeoloji Muzeleri di Turki telah menyedot perhatian dunia. Kedua museum tersebut bahkan mampu mendatangkan investasi besar-besaran dari berbagai negara.
Banda Aceh dengan SDM yang dimiliki, baik dari universitas maupun LSM di Aceh dengan disertai “good will” dari pemerintah Kota Banda Aceh akan terwujud dengan mudah dan berkelanjutan.
Pelestarian Bukan IPAL dan TPA
Proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan sebelumnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) telah merusak tatanan artefak cagar budaya. Kesimpulan itu telah disepakati bersama. Namun solusi dan tindak lanjut yang berbeda melahirkan arah kebijakan yang berbeda.
Cagar Budaya yang rusak dengan cara sengaja tidak dapat ditoleransi sesuai dengan Undang-undang negara.
Maka, pelestarian bukan sebatas penyelamatan yang bersifat penebusan kesalahan. Akan tetapi pelestarian adalah perlindungan dari kerusakan atau kemusnahan, pengawetan, konservasi, hingga menjadi pemanfaatan secara bijaksana.
Jika ada “janji-janji manis” bahwa akan diselamatkan setelah proyek IPAL dan proyek lainnya selesai, maka dapat dipastikan sebagian besar dan atau seluruh wilayah cagar budaya sudah punah. Jadi, apa yang ingin diselamatkan?
Sampai saat ini, sudah banyak sisa-sisa kerajaan Aceh Darussalam yang diceritakan megah justru telah punah, dan hanya tersisa artefak dan manuskrip. Sementara selebihnya hanya dapat ditemui dalam cerita hikayat.
Keraton kesultanan, benteng, makam-makam sultan, warisan intelektual, semua hampir tak terlihat dengan kasat mata bentuknya, apalagi untuk diurus oleh generasinya sendiri.
Jadi tidak tertutup kemungkinan jika kisah Pande juga akan sama menuju kisah Kerajaan Peureulak, yang disebut oleh beberapa ilmuwan sebagai pusat Islam pertama, juga akan punah warisan dan peninggalannya dengan cara yang berbeda.
Sources: https://sumaterapost.com/budaya/opini/2020/09/pande-menuju-perlak-2/
Saturday, September 19, 2020
SEMINAR yang diselenggarakan pada 25-30 September 1980 di Aceh Timur menyimpulkan bahwa Islam pertama masuk ke Alam Melayu dan Indonesia dari Perlak (Peureulak), sekarang Aceh Timur.
Kesepakatan Islam pertama di Asia Tenggara tersebut berdasarkan beberapa sumber, terutama Risalah Idharul Haq fi Mamlakati Perlak wal Fasi dan beberapa tinggalan artefak arkeologis di kawasan tersebut.
Sayangnya, Risalah Idharul Haq tak pernah muncul dan terlanjur raib, demikian juga bukti-bukti artefak batu nisan peninggalan yang ada di kawasan tersebut rusak dan lenyap akibat kelalaian manusia.
Untuk memperkuat Islam pertama di Indonesia masih ada peninggalan artefak Islam lainnya di Aceh masih dapat dilihat di Pasai, Aceh Utara, walaupun tidak terawat seutuhnya.
Aceh pun berang, penelitian-penelitian digiatkan untuk memperkuat jejak Islam terawal masih di Aceh, bahkan dikemudian hari memperjelas bukti-bukti arkeologis di beberapa kawasan lainnya di Aceh seperti Lamuri (Lamreh) di Aceh Besar dan Gampong Pande sekitarnya di Kota Banda Aceh.
Kota Banda Aceh menjadi pusat kerajaan Islam di Asia Tenggara, menggantikan posisi sebelumnya kerajaan Malaka dan Kesultanan Pasai. Beberapa sumber seperti Eropa, Arab, Turki, dan Asia sendiri telah mencatat nama “Kesultanan Aceh Darussalam” yang berpusat di Bandar Aceh, yaitu di ujung pulau Sumatera titik koordinat negeri di bawah angin.
Beberapa sumber manuskrip menyebutkan bahwa pusat kerajaan Aceh berada di Kuta Raja (sekarang termasuk Gampong Pande, Jawa, Peulanggahan, dan Kuala) dan sekitarnya sebelum pindah ke kawasan Baiturrahman dan sekitarnya.
Penelitian terkini juga mengungkapkan bahwa pada saat Sultan Iskandar Muda (1607-1636), pusat pemerintahan berada di “Dalam” Kerajaan Aceh (sekarang Pendopo Gubernur). Sebaliknya anak kandungnya Sultanah Safiatuddin Syah yang bersuami Sultan Iskandar Tsani tinggal di kawasan Lamdingin dan Kuala Aceh. Mereka pindah ke Dalam Kesultanan Aceh setelah meninggal Sultan Iskandar Muda.
Sedangkan pesisir pantai Aceh seperti Gampong Pande, Peulanggahan, Kuala, Lamdingin dan lainnya tetap menjadi sentral perdagangan, perindustrian, dan pusat keagamaan.
Buktinya, kawasan ini telah banyak berdiri pusat-pusat ziwayah/zawiyah (pesantren) seperti Ziwayah Menara dipimpin Syekh Addurrauf Al-Fansuri, Zawiyah Meucat dipimpin oleh Teungku Pante Ulama Raya, ataupun pusat keagamaan Tgk Di Kandang, pusat keagamaan Tgk Di Anjong, dan lain sebagainya.
Selain pusat keagamaan, wilayah inti pesisir pantai Banda Aceh yang berada di kawasan Kecamatan Syiah Kuala dan Kuta Alam merupakan pusat keagamaan. Sedangkan di Kecamatan Kuta Raja, sesuai namanya kawasan para raja-raja kesultanan telah menjadi pusat pemerintahan kerajaan di Banda Aceh.
Maka, kawasan-kawasan tersebut menjadikan sebagai wilayah inti Banda Aceh. Terbukti di kawasan inilah disepakati didirikan tugu titik nol Kota Banda Aceh sebagai cikal bakal kerajaan Aceh Darussalam pada 22 April 1205 M (1 Ramadhan 601)
Sayangnya, tugu yang didirikan telah menjadi tempat idola kambing menginap dan bermain di sana. Lebih parahnya lagi, kawasan yang dideklarasikan asal mula Islam di kota Banda Aceh kini menjadi tempat pembuangan sampah dan menyusul menjadi tempat penampungan pengolahan limbah (IPAL).
Padahal, pemerintah Aceh dan khususnya Kota Banda Aceh harus bersyukur masih terselamatnya artefak-artefak batu nisan dari gempa dan tsunami 2004 lalu sebagai peninggalan bersejarah dan historis. Sayangnya selamat dari bencana alam, tetapi rusak di tangan-tangan manusia. Ini terbukti apa yang tertera dalam Alquran bahwa kerusakan di bumi dan laut ini diakibatkan oleh tangan manusia.
TPA dan IPAL adalah bukti nyata dan secara massif telah merusak cagar budaya dan aliran sungai Krueng Aceh. Penghilangan jejak-jejak Islam di Banda Aceh dilakukan dengan sadar. Akibatnya Pande akan menuju nasib yang sama seperti Perlak dengan cara yang berbeda, di mana bukti-bukti arkeologis dan sumber-sumber filologis sedang menuju pemusnahan.
Kasus perusakan kawasan situs di gampong Pande dan sekitarnya terjadi di tengah pelaksaanaan UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 dan UU Pemajuan Kebudayaan nomor 5 Tahun 2017.
Lebih jauh lagi, perusakan dan pengabaian terhadap artefak-artefak makam tokoh penting dalam Islam (alim ulama dan para sultan Aceh) telah melanggar ruh Islam dan bertentangan dengan slogan “gemilang dalam bingkai syariat Islam”. [bersambung]
Source: https://sumaterapost.com/headline/2020/09/pande-menuju-perlak-1/
Wednesday, September 09, 2020

Jenderal Belanda bernama Johannes Benedictus van Heutsz Van Heutsz (1851-1924) menjadi juru penyelamat terhadap pemerintah kolonial Belanda yang mulai kehilangan akal dengan kerugian sumberdaya manusia dan ekonomi akibat Perang Aceh.
Di awal perang Van Heutsz hanya seorang letnan dua, pangkatnya melesat menjadi gubernur militer di Aceh pada 1898.
Untuk menaklukan Aceh, Van Heutsz berkonsultasi dengan Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) seorang kontroversi di Aceh atas statusnya. Ia menjadi penasihat kolonial bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam.
Taktik van Heutsz dijalankan sesuai saran dari Snouck Hurgronje dengan taktik adu domba pemimpin Aceh, garda depan perlawanan gerilya rakyat Aceh, kaum ulama dan uleebalang (bangsawan).
Van Heutsz juga melakukan restrukturisasi pasukan Belanda dan pasukan Marsose, yang secara resmi diterjunkan ke Aceh pada tanggal 20 April tahun 1890 untuk menggantikan pasukan Belanda yang banyak mati di Aceh.
Taktik kejahatan perang juga dilakukan seperti bumi hangus setiap kampung dan wilayah yang melawan Belanda. Perang di Batee Iliek menjadi saksi kejahatan perangnya.
Aksi kejahatan lainnya adalah pembantaian di beberapa wilayah di Aceh.
Berkat aksinya di Aceh, pamor Van Heutsz kian naik sampai puncak menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (1904-1909).
Dia memperkenalkan sekolah dasar di desa-desa untuk pengajarannya diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia (penggunaan aksara Latin dan dialek Melayu)
Tanggal 9 September 1904, ratu Belanda mengangkat van Heutsz menjadi gubernur jenderal, singgasana kolonial yang tertinggi di tanah Hindia Belanda. Perkembangan ini dengan sendirinya menarik perhatian untuk dapat dipahami serta sedikit mengenai latar belakang dari "Gayo-tocht" yang telah diselesaikan oleh van Daalen tersebut. (Said: 338)
Guna mengenang jasanya, maka pemerintahan Belanda memberikan beberapa kehormatan kepadanya:
- Kapal Van Heutsz diluncurkan pada Maret 1926. Kapal penumpang ini melayari rute Hindia Belanda ke Singapura dan Cina dalam naungan Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda (KPM). Selama Perang Dunia II, Van Heutsz disewakan kepada Kementrian Transportasi Perang Inggris terhitung sejak 25 Juni 1942, sebelum akhirnya berhenti beroperasi pada 1957. Dua tahun kemudian jadi besi tua.
- Nama jalan tak jauh dari Monumen Van Heutsz di Menteng, terdapat jalan Van Heutsz Boulevaard. Ketika Belanda membangun kawasan elite Menteng pada 1920-1930, jalan raya lebar ini dibangun untuk memfasilitasi kawasan elite Menteng yang penuh dengan bangunan-bangunan mewah. Ketika Indonesia merdeka, Taman Cut Mutia dan Jalan Tengku Umar di dekatnya pada masa Belanda dinamakan Van Heutsz Boulevaard (Jalan Raya Van Heutsz) (kini Jalan Teuku Umar pahlawan dari Aceh)., terdapat dua buah boulevard (jalan raya lebar) lainnya, yakni Oranye Boulevard (kini Jalan Diponegoro) dan Nassau Boulevard (kini Jalan Imam Bonjol).
- Resimen untuk citra militeristik Van Heutsz hidup kembali dalam nama resimen infantri tentara Kerajaan Belanda, Regiment van Heutsz, yang dibentuk pada 1 Juli 1950. Resimen yang berperan dalam aksi pertahanan udara ini dibentuk sebagai “pembawa tradisi KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda)” dan dipersiapkan sebagai partisipasi Belanda dalam Perang Korea (1950-1953)
- Lagu mars militer pun merekam Nama Van Heutsz yang turut diabadikan, seperti tercantum dalam sebuah situs tentang Van Heutsz (vanheutsz.nl). Mars tersebut, yang dinamakan Mars Van Heutsz, diciptakan oleh A. Van Veluwen dan dipentaskan untuk kali pertama pada 1954. Mars ini menjadi mars milik Resimen Van Heutsz. Komposisi mars ini kemudian menginspirasi lagu yang populer di kalangan komunitas Indo-Belanda
- Monumen van Heutsz di Taman Cut Mutia Menteng Jakarta Pusat. Kemudian tugu monumen dengan gambarnya setengah badan dihancurkan pada tahun 1960an.
Resource:
- Wikiwand
Friday, August 14, 2020
Pada eranya, bendera yang dalam bahasa Aceh disebut "alam" muncul bervariasi mengikuti kekuasaan dan karakteristik masing, di mana bendera-bendera tersebut bukanlah sebuah kedaulatan negara (kesultanan), akan tetapi panji (bendera) perang ataupun wilayah otonomi.
Demikian saat perang melawan Belanda tahap 1 tahun 1873 dan tahap 2 tahun 1874 terus berkecamuk di Aceh, setiap sejengkal tanah di Aceh harus dibayar mahal dengan marwah dan nyawa. Sejak peperangan berlangsung, bendera-bendera panji perang terus dipertahankan di Aceh.
Bendera Teungku Chik di Tiro bukan sebuah bendera kedaulatan, tetapi adalah panji (bendera) perang, di mana bendera itu dikibarkan akan menunjukkan itu tanda wilayah kekuasaan Tgk. Chik Di Tiro, markas dan pasukannya.
Biografi Singkat Tgk. Chik Di Tiro
- 1. Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
- 2. Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
- 3. Henry Demmeni (1884-1886)
- 4. Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)
Sumber:
https://kleinnagelvoort.files.wordpress.com/2016/09/rv-1429-212.jpg?w=648
Thursday, August 06, 2020
![]() |
Registrasi Acara Peluncuran dan Bedah Buku (Foto: BPBA) |
![]() |
Bpk Kalak BPBA Aceh, Ir. Sunawardi, M.Si., dan para Narasumber Bpk T. Ahmad Dadek, Yarmen Dinamika, Ust. Masrul Aidi, dan moderator Bpk. Hermansyah (Foto: BPBA) |
![]() |
Peserta yang hadir dalam acara Peluncuran dan Bedah Buku (Foto BPBA) |
Tuesday, August 04, 2020
![]() |
Teks Tata Bahasa Arab yang diterjemah dalam bahasa Melayu menggunakan aksara Jawi. MS Koleksi Museum Aceh Cod. 07.518 |
![]() |
Teks "Shirat al-Mustaqim" karya Nuruddin Ar-Raniry pada abad ke-17 M yang menyebutkan "mutarajjaman bi-bilisan al-Jawi, menterjemahkan daripada bahasa Arab kepada bahasa Jawi" |
![]() |
Teks "Mir'at ath-Thullab" karya Syekh Abdur Rauf al-Jawi al-Fansuri yang menyebutkan "Dua orang saudarakuk yang salih lagi fadhil lagi fashahah keduanya pada bahasa Jawi itu" |
Monday, July 13, 2020
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menginformasikan gempa terjadi pada Senin (13/7/2020) sekitar pukul 07.58 WIB. Pusat gempa berada di 121 km barat daya Banda Aceh, Aceh.
Pusat gempa berada di koordinat 5,12 Lintang Utara dan 94,32 Bujur. Gempa terjadi di kedalaman 10 km.
Gempa ini bertepatan dengan 21 Zulqa'dah 1441 H. Atau dikenal bulan haji. Pada bulan ini gempa menjadi bersejarah bagi Aceh pada tahun 2004, tepatnya 26 Desember 2004 atau bertepatan 14 Zulqa'dah 1425 H.
Gempa tersebut menelan banyak para syuhada, tak terkecuali calon jamaah haji yang bersiap berangkat ke Tanah Suci. Asrama Haji di Kota Banda Aceh porak-poranda menjadi saksi derasnya hempasan gelombang tsunami.
Maka untuk menolak segala bala dan kemungkinan buruk terjadi, umat Islam dianjurkan membaca doa.
Inilah doa ketika gempa bumi.
Bismillāhirrahmānirrahīm
Artinya:
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kehadirat-Mu kebaikan atas apa yang terjadi, dan kebaikan apa yang didalamnya, dan kebaikan atas apa yang Engkau kirimkan dengan kejadian ini. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan atas apa yang terjadi, dan keburukan atas apa yang terjadi didalamnya, dan aku juga memohon perlindungan kepada-Mu atas apa-apa yang Engkau kirimkan."
![]() |
Halaman awal Teks Naskah Kuno Tabir Gempa |
Thursday, June 25, 2020
![]() |
Nama pewakaf Baitul ASyi "Habib bin Buja' al-Asyi al-Jawi" |
![]() |
Pada baris bawah Nama Pewakaf Baitul Asyi "al-Mukarram al-Haj Habib bin Buja' al-Asyi" |
![]() |
Tanah dan Bangunan di atasnya dengan label tertulis "Wakaf Habib Buja' al-Asyi (2)" |