Sunday, June 09, 2024

NEW


Filolog Aceh Hermansyah M.Th.,  M.Hum menyebutkan, sebagaimana tertulis dalam dokumen resmi wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 M), nama asli pewakaf Baitul Asyi adalah Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi Al-Jawi. “Haji, Al-Asyi dan Al-Jawi adalah gelarnya. Sementara nama aslinya sendiri adalah Habib bin Buja’,” kata Hermansyah dalam webinar ‘Peran dan Kontribusi Wakaf Orang Aceh di Mekkah’ pada Selasa (27/12/2022), sebagaimana disampaikan dalam siaran pers Asyraf Aceh yang dikirim ke redaksi Serambinews.com, Kamis (29/12/2022). 

Hermansyah juga menyebut, dari nama tersebut dapat disimpulkan bahwa beliau bukan seorang Sayed/Habib dari golongan asyraf (keturunan Rasulullah SAW), melainkan hanya seorang ahwal bernama Habib yang ayahnya bernama Buja’.

“Bin Buja’ pada nama beliau menunjukkan nama ayahnya. Bukan merujuk ke Bugak sebagai sebuah wilayah di Aceh. Hanya nama Al-Asyi yang merujuk kepada asal beliau, yaitu Aceh,” kata peneliti naskah-naskah kuno tersebut.

Dikatakan, dalam mazhab Syafii sebagai mazhab yang dianut Haji Habib bin Buja’, mewajibkan pewakaf mencantumkan nama asli.  Karena itulah, nama Habib Bin Buja’ adalah nama nyata dari pewakaf tersebut.

Hermansyah juga menyimpulkan, Haji Habib Bin Buja’ Al-Asyi dan Sayid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah dua tokoh yang berbeda. Dia berharap ada penelitian yang lebih komprehensif tentang dua sosok yang berjasa besar untuk Aceh ini.



Sedangkan pembicara lainnya, Dr Mizaj Iskandar LC LL.M mengatakan, sebelumnya sudah ada penelusuran terkait Habib bin Buja’ ini, yang menyimpulkan bahwa sang pewakaf merupakan Sayid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kuburan saat ini berada di Pante Sidom, Bireuen. Penelitian itu, antara lain dilakukan oleh Dr Hilmy Bakar dan kawan-kawan. “Apa yang dilakukan Dr Hilmy sangat luar biasa. Tetapi, dalam penelitian selalu ada kebaruan. Ini merupakan hal yang biasa saja dalam sebuah riset. Mungkin nanti juga ada temuan terbaru lagi,” tandas Ketua Yayasan Wakaf Baitul Asyi ini. Pernyataan ini disampaikan Mijaz sekaligus menjawab pertanyaan Hilmy Bakar yang diajukan saat sesi tanya jawab dalam webinar tersebut. 

Baca juga: Butuh tenaga kerja terbaik untuk bisnismu? Cari di sini!

Sebagaimana diketahui, Arab Saudi kala itu di bawah kendali Turki yang bermazhab Hanafi. Maka segala urusan terkait mahkamah kenegaraan harus dalam hukum Hanafi. Tapi itu bukan berarti Habib bin Buja’  ingin mengorbankan mazhab beliau yang Syafi’i.   Karena terbukti, wakaf itu diperuntukkan untuk orang-orang yang bermazhab Syafi’i. “Artinya, nama dalam wakaf itu memang nama beliau asli sesuai tuntutan mazhab Syafi’i,” kata Herman.   

Sedangkan Dr Nazaruddin MA yang juga Rektor IAI Al-Muslim Peusangan mengatakan, boleh jadi  pewakif ingin menyembunyikan identitas asli, biar tidak ria.  Nazaruddin masih meyakini bahwa Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi dan Sayid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah tokoh yang sama.  Begitupun, Nazaruddin mengaku dirinya bukanlah ahli sejarah. “Penting bagi pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk menelusuri lebih dalam lagi,” katanya.

Webinar tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Asyraf Aceh Darussalam yang dimediatori Masykur SHum yang juga  Direktur Pedir Museum. Webinar ini disiarkan secara langsung di Facebook dan Instagram. 

Ketua Asyraf Aceh Darussalam Sayed Murthada Al-Aydrus menyebutkan, ini merupakan seminar ke IX yang dilakukan lembaga ini dalam beberapa tahun terakhir. Murthada menyebut, Asyraf Aceh akan memperbanyak diskusi-diskusi ilmiah tentang berbagai topik yang menyangkut sejarah Aceh, khususnya berkaitan dengan keluarga para habaib dan peranannya di Serambi Mekkah ini.



Berikut Hasil Seminar Secara Keseluruhan yang berhasil dirangkum panitia: 

1. Sebagaimana tertulis dalam dokumen resmi wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 M) nama asli pewakaf Baitul Asyi adalah "Haji Habib bin Buja' Al-Asyi Al-Jawi". Namanya muncul dua kali dalam surat wakaf tersebut. Haji, Al-Asyi dan Al-Jawi adalah gelarnya (seorang bergelar haji berasal dari Aceh/Melayu). Sementara nama aslinya sendiri adalah Habib bin Buja' (artinya: Habib anak dari Buja').

2. Dari namanya terindikasi bahwa beliau bukan seorang sayed/habib dari golongan asyraf (keturunan Rasulullah SAW). Melainkan hanya seorang ahwal bernama Habib yang ayahnya (bin) bernama Buja'. 

3. Bin Buja' pada nama beliau menunjukkan nama ayahnya. Bukan merujuk ke Bugak sebagai sebuah wilayah di Aceh. Hanya nama "Al-Asyi" yang merujuk kepada asal beliau, yaitu Aceh.

4. Peneliti menemukan, penulisan kata Buja' dalam dokumen wakaf Baitul Asyi berbeda dengan kata Bugak. Buja' ditulis dengan huruf ba-waw-jim-ain. Sementara Bugak dalam manuskrip ditemukan ditulis dengan huruf ba-waw-kaf-alif-hamzah.

5. Nama Haji Habib bin Buja' ditemukan dalam dua dokumen. Pertama dalam dokumen wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H. Kedua, tertulis kembali dalam dokumen pembaharuan wakaf pada tahun 1991. Ini menandakan nama tersebut memang nama asli dari pewakaf.

6. Dalam mazhab Syafi’i (sebagaimana mazhab yang dianut Haji Habib bin Buja') mewajibkan wakaf dilakukan dengan nama asli. Bukan dengan nama palsu, nama samaran ataupun lakab lainnya. Apalagi didaftarkan di hadapan qadhi mahkamah syariah Mekkah. Tentu seorang wakif harus mendaftarkan asetnya dengan nama asli (ismu dhahir). Karena itulah nama Haji Habib bin Buja' adalah nama nyata dari pewakaf tersebut. Berbeda halnya dengan sedekah informal yang biasa menggunakan identitas "hamba Allah" atau laqab lainnya untuk menyembunyikan nama asli. Orang Aceh banyak yang memiliki laqab. Tapi juga punya nama asli. Khususnya untuk manuskrip legal, itu digunakan nama aslinya. Teungku Syiah Kuala misalnya, itu laqab dalam tradisi tutur. Tapi dimana-mana dalam berbagai dokumen tertulis nama asli "Abdurrauf".
7. Tidak diketahui secara pasti dimana Haji Habib bin Buja' wafat dan dimakamkan. Peneliti menduga beliau wafat dan dikebumikan di Mekkah. Dalam data pemerintah Arab Saudi memang ditemukan seseorang bernama Ibnul Buja' yang pernah dimakamkan di pekuburan Al-Ma'la di dekat Masjidil Haram Mekkah. Boleh jadi itu adalah Habib bin Buja'. Namun perlu penelitian lebih lanjut.
8. Haji Habib bin Buja' Al-Asyi dan Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah dua tokoh berbeda. Nama Sayyid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi sendiri dalam berbagai dokumen sejarah ditulis sebagai Sayed, Teungku Sayed Abdurrahman ibnu Alwi (dok. 27 Safar 1206 H/1791 M), atau langsung disebut sebagai Habib Abdurrahman Al-Habsyi (dok.1877). Tidak ditemukan manuskrip, sarakata ataupun dokumen sejarah yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi sebagai "Habib Bugak". 
Bahkan sebuah dokumen lainnya menunjukkan jika nama beliau ditulis dalam laqab Peusangan (Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan), bukan dengan laqab Bugak. Juga tidak ada satupun dokumen yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi punya aset wakaf di Mekkah, kecuali menerima sejumlah aset wakaf di wilayah Peusangan dan sekitarnya. Jadi, yang disebut "Habib Bugak" sebagai pewakaf Baitul Asyi bukanlah Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, melainkan sosok lain yaitu Haji Habib bin Buja' Al-Asyi Al-Jawi.
Begini Tanggapan Peneliti lainnya
Pengasuh Zawiah Almascaty Bugak-Aceh, Dr Hilmy Bakar Almascaty DBA membantah poin-poin hasil seminar seperti ditulis di atas.  Hilmy juga membantah semua pernyataan Filolog Aceh Hermansyah M.TH, M.Hum. 
“Dalil yang disampaikannya sejak bertahun lalu tidak berubah dan tidak ada yang baru. Hal itu wajar, dia sebagai peneliti metode filologi an-sich, padahal penelitian tentang Habib Bugak tidak cukup hanya sekadar metode tersebut,” katanya kepada Serambinews.com, Kamis (29/12/2022). Hilmy mengaku sudah meneliti persoalan ini sejak tahun 2006.
Jawaban lengkap dari pria yang meneliti wakaf Baitul Asyi ini seperti berikut:
“Pada tahun 2006, dua tokoh Aceh yaitu Prof. Alyasa dan Prof. Azman yang merupakan alumni Universitas di Arab, telah menyampaikan terjemahan waqaf dan menyebut pewaqafnya dengan HABIB BUGAK. Sementara Prof. Alyasa sampai dengan tahun 2017 tetap konsisten dengan penyebutan nama HABIB BUGAK.
Hermansyah rupanya ingin mengungguli para profesornya di UIN Ar-Raniry dengan menyebut pewakaf sebagai Habib bin Buja'. Sebagai pengguna bahasa Arab rendahan pun orang akan faham mana transelasi tulisan bahasa Arab atau Melayu. Apakah tulisan Aceh dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu Jawi itu sama. Tentu tidak.
Sebagaimana umum berkembang dalam penelitian tentang Habib Bugak yang penulis catat sejak tahun 2006, ada dua mazhab dalam menilai Habib Bugak. Mazhab yang anggap Habib Bugak (Bahasa Arab: Habib Bin Buja') itu nama asli. Dengan alasan karena nama itu yang tercantum dalam ikrar waqaf di Mekkah tahun 1224 H dan diperbaharui tahun 1991 M.
Menurut pandangan beberapa sejawat peneliti,  Hermansyah adalah peneliti sambilan yang memiliki sumber terbatas dengan metodologi filologis an-sich.  Para narasumber yang lain malah menyerukan diadakannya penelitian mendalam kembali secara menyeluruh menggunakan semua metodelogi penelitian ilmiah. Bahkan bila perlu  lebih jauh dengan penelitian ala spritualism sebagaimana yang dianjurkan Prof. Danah Zohar dari Universitas Harvard Amerika, ataupun metodelogi Logical Empirical Methaphysis yang disampaikan Prof. Alattas dari Malaysia.
Sementara ada pemahaman lagi yang menganggap Habib Bugak sebagai Laqab. Adapun hujjah dari mazhab laqab adalah:
1. Berdasarkan kebiasaan tradisi Aceh yang membiasakan penggunaaan laqab secara umum oleh tokoh. 
2. Kenyataan ini diperkuat dengan tradisi penamaan dalam masyarakat Aceh yang tidak pernah menggunakan nama dengan Habib atau Buja'. Sepanjang penelitian tentang Habib Bugak, tidak pernah ditemukan dalam sejarah Aceh seorang tokoh yang bernama Habib  atau Buja’. 
3. Realitas ini diperkuat dengan ikrar waqaf Habib Bugak di Mekkah, bahwa beliau adalah Mazhab Syafi'i, tetapi kenapa beliau mencatatkan waqafnya dalam Mahkamah Syariah yang hakimnya adalah bermazhab Hanafi. Fakta inilah yang perlu digali. Jawabannya karena dalam mazhab Syafi'i pewakif diwajibkan menyebutkan nama aslinya dalam berwaqaf. Sementara dalam mazhab Hanafi, pewakif dibolehkan menggunakan nama laqab.
4. Wawancara resmi penelitian dengan Syeikh Munir Abdul Ghani  Al Asyi pada tahun 2009 menyebutkan, bahwa Habib Bugak adalah Laqab, bukan nama asli waqif. Bahkan beliau dengan terang menyebut bahwa Habib dalam Ikrar tersebut adalah gelar bagi Sayyid atau keturunan Rasulullah.
5. Sepanjang penelitian di Mekkah, yang telah dilakukan beberapa peneliti atau observasi, tidak dikenal seorangpun bernama Habib bin Bujak. Demikian halnya dalam literatur Aceh. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, seorang yang ternama dan alim dalam berwaqaf tidak memiliki jejak dan tidak tercatat dalam lembaran sejarah, kecuali hanya diikrar waqaf saja. Ini adalah sesuatu hal ganjil yang luar biasa.
Maka berdasarkan fakta dan data di Mekkah tersebut, yang menghasilkan kebuntuan informasi, sebagaimana dinyatakan juga oleh Dr. Mizaj sebagai salah seorang narasumber seminar. Demikian pula kesimpulan penelitian filologis Hermansyah yang sangat miskin data, yang hanya menyimpulkan dari analisis dangkal. Maka perlu dilakukan penelitian tingkat lanjutan menggunakan beberapa metode penelitian tingkat advance yang telah dilakukan para cendekiawan terkemuka. 
Bahkan ada metode tingkat tinggi, sampai pada tingkatan  kita perlu secara ruhaniah meneliti dan berjumpa langsung dengan ruah Habib  Bugak. 
Metode ini pernah dicoba untuk mengungkap beberapa fakta tersembunyi dengan berwasilahkan kepada mereka yang telah mencapai derajat mukasafah dari kalangan para wali Allah.


Note: 

Peneliti Sebut Haji Habib Bin Buja’ Nama Asli Pewakaf Baitul Asyi

Read More

Friday, June 07, 2024



Terjemahan Teks Bahasa Arab ke bahasa Indonesia:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. 

Segala puji bagi Allah, Yang Maha Pemurah lagi Maha Dekat, Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Maha Memperkenankan yang tidak akan rugi (sia-sia) orang-orang yang "berniaga" dengan-Nya. Ia Menjanjikan bagi orang-orang yang bersedekah pahala yang besar, dan Menyediakan bagi orang-orang yang berbuat baik syurga dan kenikmatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa Memberikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya, Mengasihi serta Menganugerahkan kenikmatan dan kemurahan-Nya kepada mereka, serta senantiasa Maha Lembut dan Maha Pemurah terhadap mereka. Ia Mengajukan ancaman bagi orang yang kufur, dan Menjanjikan tambahan nikmat bagi orang yang bersyukur. Ia memberikan keinginan orang yang sabar, dan Menyampaikan cita-cita orang yang menghadap-Nya. Ia Menyelamatkan orang yang menyerahkan diri kepada ketentuan-Nya, dan Memberi keamanan bagi orang yang berlindung kepada-Nya. Ia Memberikan kenikmatan bagi orang yang membersihkan diri dengan banyak bersedekah, dan Mengangkatnya ke setinggi-tinggi derajat. Maka hendaklah setiap hamba berbuat apa saja bentuk kebaikan agar itu menjadi simpanan di sisi Allah, dan Allah niscaya Memberikan kepada pahala dan balasan atas kebaikan tersebut. Allah niscaya membalas kebaikan itu dengan sebaik-baik balasan, yaitu dengan menghimpunkan baginya kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Allah menyebutnya dalam golongan hamba-hamba-Nya yang gemar bersedekah lewat firman-Nya: "Orang-orang yang beriman, dan mereka bertaqwa, maka bagi mereka berita gembira." (Yunus: 63-64)


Kita memuji-Nya atas anugerah-Nya yang melimpah, membentang, panjang lagi sempurna, dan kita mensyukuri-Nya atas kemurahan-Nya yang susul menyusul, mencukupi lagi meliputi. 

Kita bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, Maha Esa lagi tidak ada sekutu bagi-Nya. Maka, inilah sebagus-bagus hikmah (kebijaksanaan) yang diucapkan lidah, dan disampai seorang manusia kepada manusia lainnya. 

Dan kita bersaksi bahwa penghulu kita Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, yang diutus dari Tihamah yang dipayungi awan. Beliau yang bersabda - dan sabda beliau adalah seutama-utama dan sebenar-benar hiasan bagi perkataan setiap orang yang berbicara: "Setiap hamba berada di bawah naungan sedekahnya pada hari kiamat." 

Adapun kemudian dari itu. Manakala Tuan yang mulia, Haji Habib bin Buja' Al-Asyi Al-Jawiy melihat bahwa dunia yang rendah ini adalah negeri kemusnahan, dan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal, dan kesanalah kembali dan berpulang, maka Tuan itu mempersembahkan untuk dirinya sesuatu yang bermanfaat demi mencapai ridha Allah serta mendapatkan pahala-Nya yang besar pada hari di mana Allah niscaya memberikan balasan bagi orang-orang yang bersedekah, dan tidak akn menyia-menyiakan balasan orang-orang yang berbuat baik, dan untuk melaksanakan sabda Penghulu para rasul Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam: "Apabila mati anak Adam, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariah (yang terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya." 

Karena waqaf merupakan sedekah jariah, maka Tuan yang mulia Haji Habib bin Buja' Al-Asyi tersebut telah hadir dalam Majlis Syar'iy di depan hadirat Tuan kita - penghulu para ulama besar, kebanggaan seluruh qadhi dunia, kamus balaghah dan suluh segala pemahaman, pencatat seluruh masalah dan hukum-hukum pada masa ini di Negeri Allah yang haram, seorang yang mengharapkan kelembutan Tuhannya yang tersembunyi, hakim syar'iy dalam mazhab Hanafi, yang meletakkan tulisan dan capnya yang mulia di atas (di kepala lembaran ini), semoga Allah melestarikan keutamaan dan kemegahannya serta meninggikannya - lalu ia mewaqafkan, menahan, menjadikannya di jalan Allah, menyedekahkan, mengekalkan dan mempertegas hal-hal yang akan disebutkan berikut ini, yang semua itu berada dalam kuasa, milik, kewenangan, kepunyaan serta kepemilikannya sampai dengan waktu ia menerbitkan waqaf ini, dan itu atas dasar kuitansi pembelian yang dikeluarkan di hadapan hadirat Tuan kita Hakim Syar'iy yang telah disebutkan di atas. 

Yang saya maksud di sini ialah keseluruhan sebuah rumah besar yang berada di Makkah Al-Musyarrafah di gang Al-Qusyasyiyah, yang meliputi ruang-ruang bangunan di atas dan di bawah, berbagai sarana utama, ruang kantor dan berbagai sarananya, bak air di batas-batas areal tanah serta seluruh sarana pendukungnya, serta hak-hak syar'iy yang membatasinya secara lengkap. 

Areal tanah itu dibatasi empat batas: Sarhah (halaman rumah) Al-Miskiy di timur; tanah sabil di barat, dan di situ pintunya; waqaf Syaikh 'Ali Al-Kharasyi di utara, dan batas akhirnya Sarhah Al-Miskiy. Di situ ada tempat bersama yang ruang atasnya termasuk dalam waqaf ini, sedangkan ruang bawahnya tidak termasuk. Di sebelah selatannya berbatasan dengan kepunyaan ahli waris Sa'id bin Husain 'Aththaf Al-Bunduqjiy dan batas akhirnya kepunyaan ahli waris Yahya bin Fadhil Ahmad Az-Zamzamiy. Dengan batas-batas, hak-hak, ruang-ruang dan halaman-halaman, sarana-sarana utama dan pendukung, aliran-aliran air dan lainnya yang termasuk dan diliputi oleh rumah ini berdasarkan syara', yang semuanya telah diketahui oleh pewaqaf (waqif) sebagai pengetahuan yang syar'iy, yang menjauhkan ketidaktahuan secara syara', semua itu menjadi waqaf yang sah, penahanan (habs: waqaf) yang terang dan terpelihara; tidak boleh dijual, tidak dihibahkan, tidak digadaikan, tidak diwarisi, tidak dimiliki, tidak dipermilikkan, tidak diganti, tidak dialihkan, tidak dibagi, tidak boleh dirusak dengan apapun bentuk perusakan, tapi tetap dijaga sebagaimana aslinya, dengan mengindahkan syarat-syarat yang dijelaskan nantinya, dan dengan memperhatikan pengagungan hak Allah dan keridhaan-Nya. 

Waqaf tersebut tidak dapat dibatalkan oleh karena masa yang telah berjalan lama, tidak dapat dilemahkan oleh karena waktu yang sudah berbeda, bahkan semakin berjalannya waktu, semakin tambah menguatkannya; setiap kali datang masa baru, maka semakin mengekalkannya; dan bertambah lama, bertambah kuat dan kokoh. 

Pewaqaf telah mengadakan waqafnya ini untuk kelompok orang-orang Aceh yang datang dari bumi negeri Aceh dari Jawiy untuk melaksanakan haji (para haji) dan tinggal di Makkah Al-Musyarrafah. 

Jika orang-orang Aceh yang tinggal di Makkah sudah tidak ada lagi dan para jama'ah haji dari Aceh tidak datang lagi, maka diwaqafkan untuk para penuntut ilmu dari Jawiy yang tinggal di Makkah Al-Musyarrafah. 

Jika mereka semua sudah tidak ada lagi dan tidak ada seorang pun lagi, maka diwaqafkan kepada penuntut ilmu dari penduduk Makkah yang bermazhab Syafi'iy. 

Jika semua mereka sudah tidak ada lagi dan tidak seorang pun lagi, maka diwaqafkan untuk berbagai kepentingan Masjidil Haram.

Pewaqaf - semoga Allah memberikan berbagai kebaikan kepadanya - mensyaratkan dalam waqafnya ini syarat-syarat yang telah ditegaskan untuk dilaksanakan, serta menjadi rujukan dan pedoman: 

(1) Pengelolaan waqaf ini dan hak kuasa atasnya diberikan kepada yang mulia Syaikh Muhammad Shalih bin Almarhum Syaikh 'Abdus Salam Al-Asyi Al-Jawiy, dan pengawas terhadap pengelola (nazhir) dan para pengelola sesudahnya adalah Mufti Syafi'iyyah di Makkah Al-Musyarrafah. 

(2) Pada saat yang mulia Syaikh Muhammad Shalih hendak merantau, atau berwasiat sebelum mati yang memang tidak dapat dihindari, maka hendaklah ia mencari pengelola untuk waqaf ini siapa saja yang ia pilih dan inginkan, dan hendaklah ia mewasiatkan waqaf ini kepada orang itu dan memberikan tugas pengelolaan kepadanya. 

(3) Apabila pengelola telah kembali ke Rahmatu-Llah, dan meninggalkan anak-anak, maka hendaklah pengelolaan waqaf diberikan kepada yang lebih bijak dari anak-anak dan cucu-cucunya, dan demikian seterusnya. 

(4) Jika waqaf kemudian menjadi untuk para penuntut ilmu dari Jawiy, maka pengelolanya adalah orang yang paling alim dan guru mereka. Dan, jika menjadi untuk penuntut ilmu dari penduduk Makkah, maka pengelolaan waqaf dipegang oleh orang yang paling alim dari ulama Syafi'iyyah dan guru bagi mereka. 

(5)Jika waqaf kemudian menjadi untuk berbagai kepentingan Masjidil Haram, maka pengelolaannya begitu pula, dipegang oleh orang yang paling alim dari ulama Syafi'iyyah. 

(6) Apabila terjadi kehancuran yang merusak waqaf ini, maka pengelola menyewakannya dan segera membangun bagian yang hancur serta apa yang dapat mempertahankan wujud fisiknya. 

(7) Pengelola (nazhir) dapat menempatkan siapa saja yang dikehendaki, disukai, dan dipilihnya dari penerima waqaf. 

Pewaqaf - semoga Allah melimpahkan nikmat kepadanya - telah mengeluarkan waqafnya ini dari kepemilikannya, memutuskannya dari hartanya, menjadikannya sebagai sedekah di jalan Allah, dan haram baginya untuk selamanya, serta diberlakukan hukum yang telah diterangkan di atas terhadap waqaf ini baik pada masa sekarang maupun di masa depan, baik dalam keadaan memungkinkan maupun tidak memungkinkan. Ia telah menarik kuasanya terhadap milikinya itu dan menyerahkan kepada pengelola yang mulia Syaikh Muhammad Shalih untuk menjalankan tugas tersebut sesuai cara yang telah digariskan oleh pewaqaf. 

Menarik kembali waqaf yang telah ditentukan dan ditulis, dan ingin mengembalikannya ke dalam kepemilikannya dengan berpegang kepada pendapat Imam Al-A'zham (Abu Hanifah An-Nu'man-penj.) bahwa pewaqaf dapat menarik kembali waqafnya selama tidak tercatat dan tidak diputuskan oleh hakim syar'iy, adalah hal yang ditentang oleh pengelola yang memegang hak kuasa secara sah dan berlaku berdasarkan pendapat kedua sahabat [Abu Hanifah], maka dalam perkara ini hendaklah hakim syar'iy memperhatikan sengketa di antara keduanya setelah perkara sengketa itu diajukan ke hadapannya, dan hakim cenderung untuk memutuskan keabsahan dan keberlakuan [hak kuasa pengelola] karena dalam putusan demikian terdapat tambahan kebajikan dan kemaslahatan. Maka, hakim memutuskan keabsahan dan keberlakuannya, baik menyangkut hal-hal umum maupun hal-hal khusus, seraya memaklumi perselisihan pendapat di antara tuan-tuan para ulama terdahulu. 

Waqaf ini telah sempurna, berlaku dan dilaksanakan hukumnya, terikat dan ditanggung syarat-syaratnya, telah tetap hukum-hukumnya, serta menjadi sebuah waqaf di antara waqaf-waqaf kaum Muslimin yang dihormati sebagai hak-hak Allah Ta'ala yang kuat serta dipertahankan dengan dengan kekuatan-Nya yang kokoh; haram bagi setiap orang yang percaya kepada Allah dan hari akhirat, dan mengetahui bahwa kepada Tuhannya ia kembali, untuk menggugurkan waqaf ini, merubah, merusak, menelantarkan dan berusaha untuk memusnahkannya, dan haram pula untuk membatalkannya atau membatalkan sebagian darinya baik dengan perintah [pewaqaf?] atau fatwa atau dengan penggelapan [?] atau penipuan yang halus, atau dengan apapun cara perusakan. 

"Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah:181) 

Perihal yang terjadi ini berlangsung dan ditulis pada 18 dari bulan Rabi'ul Akhir tahun 1224, dan shalawat Allah dan salam-Nya ke atas penghulu kita Muhammad, beserta keluarga dan sahabat beliau. 


Disadur terjemahan dengan edit penyesuaian dari website Mapesa

Baca Berita terkait lainnya:

Serambi Indonesia

Modus Aceh

Ikrar al-Haj Habib bin Buja' al-Asyi salah seorang pewakaf Baitul Asyi di Mekkah

Read More

Monday, August 14, 2023


Simposium Internasional ke-19 (SIPN XIX 2023) yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) bersama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pusat Kajian Jawa (Pusaka Jawa) menekankan bahwa digitalisasi naskah kuno dan manuskrip Nusantara menjadi krusial dalam upaya pelestariannya.


Bertemakan “Penguatan Keindonesiaan Melalui Kajian Naskah Nusantara”, simposium ini berlangsung secara luring dan daring, Senin-Rabu, 7-9 Agustus 2023, di FIB UGM, Yogyakarta. Adapun acara ini dihadiri oleh lebih dari 230 peserta, mulai dari filolog, para penggerak, akademisi dan para pemangku kepentingan terkait lainnya.


Melalui digitalisasi, keterbacaan naskah kuno dan manuskrip bisa terjamin tanpa risiko kerusakan bahan dan perawatan yang sulit. Di samping itu, digitalisasi naskah juga memudahkan publik untuk mengakses manuskrip, membacanya, melakukan transliterasi dan melakukan penelitian terhadap berbagai manuskrip.


Berbagai upaya komunitas, aktivis serta lembaga-lembaga yang aktif dalam pernaskahan dilakukan diantaranya melalui cultural broker, penggunaan platform youtube seperti Ngariksa, situs-situs penyedia naskah digital seperti Qalamos, Dreamsea, Wikisource, alih wahana naskah menjadi komik, penggunaan Artificial Intelligence (AI) ChatGPT, dan lain-lain, memudahkan akses dan keterbacaan naskah baik bagi para peneliti maupun masyarakat umum.


Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) Prof. Dr. Setiadi, S.Sos, M.Si berharap bahwa simposium ini menghasilkan pemikiran strategis bagi pengembangan kajian naskah.

 “Alhamdulillah SIPN XIX 2023 selama tiga hari kemarin berjalan dengan lancar. Kami berharap, kegiatan ini menghasilkan aksi-aksi nyata untuk semakin mengkontekstualisasikan isi naskah-naskah kuno Nusantara dalam upaya berkontribusi bagi penguatan identitas dan budaya Nusantara, termasuk melalui upaya digitalisasi,” ungkapnya.


Sebagai salah satu penyelenggara simposium ini bersama FIB UGM dan Pusaka Jawa, Ketua MANASSA Komisariat Yogyakarta Dr. Sudibyo menilai bahwa sudah saatnya para peneliti/filolog mengakhiri langkahnya di jalan sunyi.


“Filolog-filolog Indonesia perlu melibatkan diri dalam berbagai diskursus yang menuntut kontribusi nyata. Sifat ‘wordy’ dari sebuah teks kajian tidak hanya menuntut ditempatkan dalam konteks berbagai peristiwa yang menyebabkan kehadirannya, namun juga negosiasi dengan berbagai kemungkinan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pada masa kini dan masa mendatang,” ungkap pria yang juga merupakan Ketua Departemen Bahasa dan Sastra FIB UGM.




Anak Muda Sumbangkan Pemikiran

Ketua SIPN XIX 2023 yang juga merupakan Ketua Pusat Kajian Jawa (Pusaka Jawa) Dr. Arsanti Wulandari mengungkapkan,


“Senang sekali melihat banyak anak muda berkumpul dengan pemikirannya yang kreatif dan kritis, mau berkecimpung di dunia naskah. Melihat hal ini, juga dilengkapi pendekatan yang modern, rasanya tidak perlu khawatir akan masa depan kajian naskah.”


Dr. Arsanti juga menekankan peran digitalisasi yang harus terus didorong dalam hal pelestarian naskah dan akses publik terhadapnya. “Akses yang semakin terbuka menjadi kunci gerbang informasi. Kami berharap, simposium ini juga menjadi sarana untuk memperkuat nilai keindonesiaan dengan melihat konteks teks naskah dari berbagai daerah di Nusantara,” tambahnya.


Selain digitalisasi naskah kuno dan manuskrip, simposium ini juga menyoroti adanya Fenomena Silang Budaya dalam Naskah Nusantara, Reportase dan Hoaks dalam Naskah Nusantara, Naskah Nusantara dan Industri Kreatif, dan topik-topik lain seputar pernaskahan yang relevan dengan masa kini.

 

Rangkaian simposium ini juga mengajak para peserta berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta penilikan jejak sejarah Yogyakarta melalui Diorama Kearsipan DPAD DIYHasil kunjungan ini menjadi penutup kegiatan yang selain menjadi wahana pelepas penat setelah dua hari penuh berdiskusi di dalam ruangan, bisa menunjukkan pula secara eksperiensial relevansi kajian naskah dengan bidang-bidang yang menyertainya seperti sejarah dan lingkungan Istana sebagai skriptorium naskah.


Sumber: Liputan6

Simposium Internasional Pernaskahan ke-19 Tekankan Digitalisasi Manuskrip Nusantara

Read More

Friday, August 11, 2023


Baitul Mal Aceh gelar lomba menulis dengan subtema dalam lomba ini sebagai berikut:
1) Menggalakkan Zakat Produktif.
2) Zakat Profesi di Era Digital.
3) Dampak Zakat Produktif Baitul Mal Aceh.

Untuk struktur tulisan itu sendiri, yaitu mengandung unsur pendahuluan, kajian teoritis, pembahasan, penutup, dan kesimpulan. Tulisan-tulisan itu nantinya akan dinilai oleh dewan juri yang profesional, yaitu Yarmen Dinamika dari unsur media; Fauzan Santa dari unsur akademisi dan sineas; dan Sayed Muhammad Husen dari unsur internal Baitul Mal Aceh.





Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:
1) Berdomisili di Provinsi Aceh (dibuktikan dengan scan KTP/KK).
2) Peserta wajib mengisi formulir pendaftaran dan surat pernyataan keaslian karya tulis.
3) Karya tulis merupakan karya asli (orisinal) yang belum pernah diikutsertakan dalam perlombaan apa pun dan belum pernah dipublikasikan yang dibuktikan dengan Surat Pernyataan Keaslian Karya Tulis.
4) Penulisan berbentuk artikel, ditulis menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) dan data yang dapat  dipertanggungjawabkan.
5) Karya tulis dibuat dalam dokumen Microsoft Word dengan ukuran kertas A4, bentuk huruf Times New Roman 12, spasi 1,5.
6) Panjang tulisan 1.500 sampai 2.500 kata.
7) Karya tulis harus sesuai dengan salah satu subtema yang ditentukan.
8) Karya tulis wajib mencantumkan minimal 1 (satu) referensi ilmiah yang berkaitan dengan subtema yang dipilih (buku, jurnal, white paper dan referensi ilmiah lainnya).
9) Karya tulis menjadi hak milik Baitul Mal Aceh.
10) Peserta mengirimkan karya tulis disertai dengan scan KTP/KK, Formulir Pendaftaran dan Surat Pernyataan Keaslian Tulisan yang telah ditandatangani melalui email panitia.

Untuk tatacara pendaftarannya, peserta wajib mengikuti salah satu akun media sosial Baitul Mal Aceh (Youtube, Twitter dan Instagram). 

Peserta membuat dan menandatangani surat pernyataan keaslian karya dengan membubuhkan materai 10.000 (format bebas). 

Peserta mengirimkan naskah, bukti tangkap layar (screenshot) telah mengikuti akun sosial media Baitul Mal Aceh, surat penyataan dan scan KTP melalui link: bit.ly/lombazakat2023, batas waktu hingga tanggal 31 Agustus 2023, pukul 23.59 WIB.

Baitul Mal Aceh Adakan Lomba Menulis

Read More

Sunday, July 30, 2023


Salah satu buku utama yang menjadi bacaan orang di Nusantara, termasuk di pulau Jawa adalah Babad Tanah Jawi. 

Babad Tanah Jawi edisi 1 ini dialih aksarakan ke dalam aksara latin dari sumber aslinya berhuruf Jawa cetak terbitan Balai Pustaka tahun 1939. Dirangkai dalam tujuh pupuh tembang Macapat, yaitu Dhandhanggula 104 bait, Asmaradana 108 bait, Sinom 37 bait Pangkur 58 bait, Durma 96 bait Mijil 63 bait.




Kisah sejarah Jawa ini diawali ketia Allah menciptakan Nabi Adam di dunia, kemudian secara kronologis dilanjutkan dengan sejarah Nabi Sis, sampai kepada kisah para dewa, para raja di Tanah Jawa mulai dari Batara Brama dan Batara Wisnu sampai Kerajaan Pejajaran dan awal berdirinya kerajaan Majapahit.



Untuk lebih detail silahkan download Buku Babad Tanah Jawi Jilid 1,  klik disini


Berikutnya Buku Babad Tanah Jawi Jilid 2


Download Buku Babad Tanah Jawi 1

Read More

Wednesday, July 19, 2023


Buku ringkas ini yang disebut oleh penulis adalah brosur terkait persoalan yang masih viral dan hangat pada masanya, terutama perjuangan Muslimin Indonesia mencapai kemenangan menuju ridha Ilahi Rabbi.


Buku ringkas ini dikeluarkan oleh Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) pada tanggal 5 Februari 1955 yang ditulis oleh Sjarif Usman dan M . Isa Anshary. 


Sjarif Usman adalah Ketua Badan Kontak Organisasi Islam Jakarta Raya, sedangkan M. Isa Anshary adalah Ketua Front Anti Komunis.



Selengkapnya silahkan Download buku disini: Mari Merebut Kemenangan 

Download Buku "Mari Merebut Kemenangan"

Read More

Sunday, April 16, 2023


Pertengahan Ramadhan tahun 1444 H, bertepatan April 2023, untuk pertama kalinya kami (saya dan dua orang teman dari Malaysia pak Affendi dan pak Syukri) menikmati shalat Jumat di bulan Ramadhan di mesjid tuha (tua) Indrapuri Aceh Besar. 

Mesjid tuha Indrapuri salah satu mesjid bernilai sejarah yang sangat penting. Disebut mesjid tuha untuk membedakan dengan mesjid jamik Abu Indrapuri yang berada di seberang sungai dan seberang jalan.



 Sebelum memasuki waktu shalat Jumat, saya sempat menikmati kisah cerita dari ureung tuha setempat tentang peranan dan perjalanan mesjid tua yang dulunya sebagai mesjid jamik/ mesjid raya Indrapuri berangsur berubah mesjid tuha yang kini hanya tunduk tiga gampong saja. 

Oleh karenanya shalat Jumat dan shalat berjamaah masih tetap dilaksanakan dan dihadiri oleh penduduk tiga gampong tsb dan para jamaah luar. 

Masjid berbentuk piramida dengan atap bertingkat tiga ditopang oleh 36 tiang dan berdinding langsung dengan tembok tebal setinggi setengah badan. Mesjid ini sangat nyaman, apalagi di bulan puasa, derai angin yang bertiup, pemilihan kemarik yang unik nan dingin semakin menggoda kami untuk rebahan 😁 



Sebagaimana banyak informasi berkembang tentang konstruksi dan asal usul mesjid ini, walaupun itu hanya dari cerita ke cerita, tanpa kajian secara konprehensif. Padahal konstruksi dan gayanya masih mengikuti mesjid-mesjid tuha yang ada di Aceh Besar, Pidie dan lainnya. 

Terlepas dari itu, dalam tradisi arsitektur bangunan Aceh tempo dulu, para utoh (tukang bangunan) akan mengukir tanggal/tahun selesainya pembangunan atau rekonstruksinya. 

Hal itu dapat ditemui banyak di rumoh Aceh, mesjid dan meunasah serta bangunan kuno lainnya yang berkonstruksi kayu, biasanya berada di salah satu sudut bangunan, termasuk pada mesjid tua ini yang tertera tahunnya 1274 (mengikuti teori angka al-Banna) dikonversi sekitar tahun 1858. 

Boleh jadi itu tahun rehab terakhir atap mesjid sebelum mesjid ini dikuasai oleh Belanda pada tahun 1880 sebagaimana foto C. Kruger yang tampak bendera di atas kubahnya, para tentara kolonial Belanda dan batu-batu makam para syuhada pejuang Aceh.  


Sejarah penting lainnya masjid tuha Indrapuri ini sebagai saksi bisu penobatan Sultan Aceh yang masih kecil, Sultan Muhammad Daudsyah di Mesjid tuha Indrapuri ini pada tahun 1878, Tuanku Hasyim Bangtamuda sebagai Mangkubumi. Sebab inilah, Belanda mengincar masjid ini sebagai titik koordinat para pejuang Aceh dan sultannya.



Saat ini, mesjid tuha Indrapuri sudah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya. Meski demikian, masih sangat banyak rekaman sejarahnya belum tergores dalam tinta sejarah perjalan dan perannya hingga saat ini. 

Shalat Jumat di Mesjid Tua Indrapuri

Read More

Saturday, March 25, 2023




Surat Sultan Aceh, As-Sultan 'Alauddin [Alauddin Ri'ayat Syah Sayyid al-Mukammal] 
bin Firmansyah, yang diberikan kepada Kapten kapal Inggris bernama Harry Middelton sekitar tahun 1602 untuk izin berdagang di seluruh wilayah "Teluk Rantau Aceh", atau wilayah kekuasaan dan naungan Kesultanan Aceh. Surat ini menjadi dasar utama wilayah perdagangan dan kekuasaan Aceh yang dikelola secara bersama-sama.



Surat izin perdagangan sultan Aceh ini disimpan di Bodleian Library dengan nomor MS (manuscript). Douce Or. e. 4. di Universitas Oxford (University of Oxford). Informasi ini diadaptasi dari Richard Greentree dan Edward Williams Byron Nicholson, Katalog Naskah Melayu dan Naskah Berkaitan dengan Bahasa Melayu di Bodleian Library, Clarendon Press, 1910.

Surat ini disimpan dalam bungkusan kain sutra berwarna hijau yang kini disimpan dalam kotak khusus yang dibuat oleh Bodleian. Surat berbahan kertas Eropa dengan teks tertulis 14,5 x 16 cm, tulisan indah dengan khat Naskhi.

Di atas teks terdapat cap Sultan yang berkuasa pada tersebut, tertulis ditengahnya "As-Sultan 'Alauddin bin Firmansyah" yang merujuk kepada Sultan Alauddin Ri'ayat Syah Sayyid al-Mukammal, berkuasa antara tahun 1589-1604, dan beliau meninggal dunia dengan tenang tahun 1605.



Berikut teks hasil alihaksaranya:

Dengan anugerah Tuhan seluruh alam sekalian, sabda yang maha mulia datang kepada segala panglima negeri 

dan pertuha segala negeri yang takluk ke Aceh. Adapun barang tahu kamu sekalian bahwa

kapal orang-orang Inglitir ini Kaptennya bernama Hary Middelton asalnya kapal ini berlabuh  

di labuhan negeri Aceh berapa lamanya ia di sana, maka mohon dirinya ia berlayar ke Jawa jika ia 

memeli lada atau barang suatu diberinya akan kamu dirham atau barang suatu yang orang Inglitir 

ini orang sahabat kita raja Inglitir, maka kaptennya dan segala saudagarnya itu hamba pada raja

Inglitir, yang hamba raja Inglitir itu serasa orang kitalah. Jika ia meli beri jual dengan kamu yang dalam 

Teluk Rantau Aceh itu dengan sebenar-benarnya jua. Maka surat sitmi yang kita karuniai akan dia ini 

dengan dipohonkan daripada kita supaya jangan ia dicabuli segala orang Teluk Rantau kita.

Maka jika ditunjukkannya kepada kamu sekalian sitmi ini hendaklah kamu permulia, dan janganlah 

seorang daripada kamu  mencabuli dia. Inilah sabda kita kepada kamu sekalian. Wassalam. 



Note:
- Sitmi adalah surat resmi kesultanan yang ada cap (stempel) resmi pemerintahan
- Inglitir adalah penyebutan kepada bangsa Inggris
- Teluk Rantau merupakan wilayah-wilayah kerajaan lain di Nusantara yang tunduk dan bekerja sama dengan Kesultanan Aceh.
- mencabuli dimaknai memusuhi, mencelakai dan atau membajak atau mengganggu

Surat Izin Dagang Sultan Aceh Kepada Kapten Inggris

Read More

Sunday, September 18, 2022

 


Innallillahi wa inna ilaihi rajiun. Kabar duka datang dari keluarga besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azyumardi Azra, meninggal dunia, Ahad (18/9/2022) di RS Malaysia, pukul 11.30 WIB atau 12.30 waktu Malaysia. 

Sebelumnya Azyumardi, masih menjalani perawatan secara intensif oleh tim dokter di Rumah Sakit Selangor, Malaysia, pada Sabtu (17/9/2022) pagi. Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Malaysia, Hermono, mengatakan, tim dokter menyampaikan Prof Azra belum bisa dipindahkan ke rumah sakit lain sampai kondisinya menjadi lebih stabil.

Sebelumnya, ia mengatakan, ada rencana memindahkan Prof Azra ke rumah sakit di Kuala Lumpur, tapi masih menunggu persetujuan dari pihak rumah sakit yang akan menerima pasien. Berdasarkan keterangan pihak rumah sakit, ia mengatakan, Prof Azra dirawat di ruang zona merah yang lazimnya digunakan untuk perawatan pasien terinfeksi Covid-19.

Beliau hadir ke Malaysia untuk memenuhi undangan dan menjadi Keynote Speaker di  Persidangan Antarabangsa Kosmopolitan Islam "Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan" Tanggal 17 September 2022 di Bangi Avenue Convention Center (BACC), Kajang, Malaysia. 

Namun, dalam pesawat perjalanan dari Jakarta Ke Kuala Lumpur, sekitar 20 menit sebelum mendarat di KL, beliau mengalami batuk-batuk tanpa henti, badannya menggigil berkeringat dingin. Kisah tersebut diceritakan oleh Prof. Budi Agustono, mantan dekan FIB-USU yang duduk sebaris dengan beliau dalam pesawat tersebut. 

"Narasi whatsapp ini ditulis di pesawat. Dua puluh menit sebelum pesawat mendarat, saat saya, istri dan pak azra sedang bercakap tiba tiba pak azra batuk tanpa henti, tubuhnya keringat dingin. Saya mintanya minum air air mineral. Saya memijat tubuhnya yang keringat dingin lalu meminta pramugari memasang selang oksigen di hidung dan mulut. Meski selang terpasang sesak nafasnya tak berhenti, malah tubuhnya begerak ke kiri ke kanan di atas kursi pesawat. 

Ketika pesawat parkir dan pintu pesawat dibuka menurunkan penumpang, saya dan istri mengurus kesehatan pak azra diminta turun  belakangan.  Saya dan istri gelisah dan cemas melihat kesehatan pak azra. Tidak lama sesudah ini kamu bertiga turun pak azra dengan selang oksigen ditampung dan dibawa segera ke bed panjang perawatan lalu dilarikan  ambulans ke rumah sakit."...









Berikut ini sekilas biografi cendekiawan muslim :

AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Kini dia adalah Ketua Dewan Pers Republik Indonesia (2022- 2025).

Sebelumnya, dia pernah menjadi Staf Khusus Wakil Presiden RI untuk Bidang Reformasi Birokrasi (19 Januari 2017- 20 Oktober 2019); anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan (GTK) Sekretaris Militer Presiden RI (2014- 2019, 2019-2024); Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta (2007-2011, 2011-2015). Dia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).

Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992) with distinction, Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Dia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu dia juga anggota Dewan Penyantun, penasehat dan gurubesar tamu di beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi demokrasi internasional. Dia telah menerbitkan lebih 44 buku dan puluhan artikel dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Italia dan Jerman.

Dia mendapatkan berbagai penghargaan: 

  • The Asia Foundation Award 50 tahun The Asia Foundation (2005); 
  • Bintang Mahaputra Utama RI (2005); 
  • Gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris (2010); 
  • MIPI Award, Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIPI, 2014); 
  • Commendations Kementerian Luarnegeri Jepang (2014); 
  • Fukuoka Prize 2014 Jepang (2014); 
  • Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas (2015); 
  • Penghargaan Achmad Bakrie (2015); 
  • LIPI Sarwono Award (2017); 
  • Bintang Pemerintah Jepang ‘The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star’ diserahkan Kaisar Akihito dan Perdana Menteri Shinzo Abe di Imperial Palace, Tokyo, Jepang (2017). 
  • The 500 Most Influential Muslim Leaders (2009) dalam bidang Scholarly (kesarjanaan/keilmuan), 
  • Prince Waleed bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC 
  • The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman, Yordania di bawah pimpinan Prof John Esposito dan Prof Ibrahim Kalin.

Selamat jalan guru...

Selamat Jalan Prof. Azyumardi Azra.

Read More

Thursday, September 01, 2022


Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Hermansyah bahas Qanun Meukuta Alam di Malaysia. Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Tanjong Malim Perak, Malaysia mengadakan Pameran dan Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu (PPAMM), Selasa-Kamis  9-11 Agustus 2022.

Acara dua tahunan itu diresmikan dan dibuka Menteri Pelancongan (Pariwisata), Seni dan Budaya Malaysia, YB Datuk Seri Dr Santhara. Hadir saat pembukaan acara tersebut, Ketua Pengarah Perpustakaan Negara Malaysia (PNM), YBrs Puan Salasiah binti Abdul Wahab. Kemudian Rektor UPSI, YBhg Dato’ Prof Dr Md Amin bin Md Taff sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan tersebut.

Makan malam bersama dengan Rektor UPSI (Universitas Pendidikan Sultan Idris) dan pengurus dan para narasumber.

Seminar internasional ini menghadirkan 23 pakar manuskrip Melayu dari dalam dan luar negeri yang dibagi menjadi 8 sesi. Pembicara dalam negeri hadir dari berbagai instansi, baik dari universitas ataupun peneliti lepas. Sedangkan pembicara dari luar negara wilayah Malaysia berasal dari Amerika Serikat, Brunai Darussalam, dan tiga dari Aceh, Indonesia.

Peneliti manuskrip yang juga Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Hermansyah, diundang dalam seminar tersebut untuk membedah manuskrip Qanun Meukuta Alam (Undang-undang Aceh), sesuai dengan tema seminar tahun 2022 “Manuskrip Perundangan Melayu: Korpus Warisan Tempatan dan Dunia”.

Menurut Hermansyah, ditinjau dari warisan manuskrip Aceh, maka terdapat tiga qanun atau Undang-undang Aceh yang diperoleh saat ini. Naskah Undang-undang Aceh, naskah Ma Baina as-Salathin atau dikenal Adat Aceh, dan Tadhkirat at-Tabaqat Tgk Di Mulek yang sering disebut Qanun Meukuta Alam.

“Sedangkan Qanun Syara’ al-Asyi merupakan sub-bagian dari Qanun Meukuta Alam,” ungkap Hermansyah kepada media, Jumat (12/8/2022).

Semua naskah qanun di Kesultanan Aceh tersebut, kata Hermansyah, saling terkait dan memiliki jalur silsilah yang hampir sama periodenya, yaitu pada periode Sultan Syarif Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726).

Meski penyebutan dalam naskah merujuk kepada Qanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Hermasyah menyampaikan, seminar ini dikhususkan untuk mengkaji undang-undang atau qanun yang pernah berlaku dan berjaya pada masa kerajaan-kerajaan Melayu tempo dulu yang dapat diaktualisasikan dan diaplikasikan pada zaman sekarang ini.


Selain sesi Qanun Meukuta Alam asal Kesultanan Aceh Darussalam, juga diseminarkan Hukum Qanun Melaka, Hukum Qanun Pahang, Undang-undang Kedah, Hukum Qanun Brunei Darussalam, Undang-undang Laut, Sejarah Perundang-undangan, dan Undang-undang dari aspek bahasa dan disiplin ilmu lainnya.

Seminar internasional yang diadakan oleh PNM kali ini mengambil tempat di UPSI Tanjong Malim, Perak.

Kata “Malim” yang dibaca malem memiliki pengertian yang sama di Aceh yaitu orang yang berilmu atau alim. Alkisah terdapat tanjung (unjung) sungai di kawasan tersebut yang didiami oleh para penuntut ilmu.

Oleh karena itu disebut Tanjong Malem yang kini oleh Sultan Perak diganti namanya menjadi Tanjung Muallim, atau dikenal tanah Muallim. (*)


Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh Paparkan Manuskrip Qanun Meukuta Alam di Malaysia

Read More


Kuala Lumpur: Acara akbar dua tahunan dalam bentuk Pameran dan Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu (PPAMM) yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Tanjong Malim Perak pada tanggal 9-11 Agustus 2022.


Seminar tersebut diresmikan dan dibuka langsung oleh YB Datuk Seri Dr. Santhara, sebagai Menteri Pelancongan (Pariwisata), Seni dan Budaya. Pada saat yang sama peresmian tersebut dihadiri juga YBrs. Puan Salasiah binti Abdul Wahab sebagai Ketua Pengarah Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) dan YBhg. Dato’ Prof. Dr. Md. Amin bin Md. Taff, Rektor UPSI sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan tersebut.



Seminar Internasional ini menghadirkan sebanyak 23 pakar manuskrip Melayu dari dalam dan luar negeri yang dibagi menjadi 8 sesi. Pembicara dalam negeri hadir dari berbagai instansi, baik dari universitas ataupun peneliti lepas. Sedangkan pembicara dari luar negara wilayah Malaysia berasal dari Amerika Serikat, Brunai Darussalam, dan tiga orang dari Aceh, Indonesia.


Salah seorang peneliti manuskrip dan dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Hermansyah, diundang pada seminar tersebut untuk membedah manuskrip Qanun Meukuta Alam (Undang-undang Aceh). Sesuai dengan tema seminar tahun 2022 “Manuskrip Perundangan Melayu: Korpus Warisan Tempatan dan Dunia”. 


Menurut Hermansyah, ditinjau dari warisan manuskrip Aceh, maka terdapat tiga qanun atau Undang-undang Aceh yang diperoleh saat ini. Naskah Undang-undang Aceh, naskah Ma Baina as-Salathin atau dikenal Adat Aceh, dan Tadhkirat at-Tabaqat Tgk Di Mulek yang sering disebut Qanun Meukuta Alam. Sedangkan Qanun Syara’ al-Asyi merupakan sub-bagian dari Qanun Meukuta Alam. 



Semua naskah qanun di Kesultanan Aceh tersebut saling terkait dan memiliki jalur silsilah yang hampir sama periodenya, yaitu pada periode Sultan Syarif Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726). Walaupun penyebutan dalam naskah merujuk kepada Qanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda (1607-1636).



Seminar ini dikhususkan untuk mengkaji undang-undang ataupun qanun yang pernah berlaku dan berjaya pada masa kerajaan-kerajaan Melayu tempo dulu yang dapat diaktualisasikan dan diaplikasikan pada zaman sekarang ini. Selain sesi Qanun Meukuta Alam asal Kesultanan Aceh Darussalam, juga diseminarkan Hukum Qanun Melaka, Hukum Qanun Pahang, Undang-undang Kedah, Hukum Qanun Brunei Darussalam, Undang-undang Laut, Sejarah Perundang-undangan, dan Undang-undang dari aspek bahasa dan disiplin ilmu lainnya. 


Seminar Internasional yang diadakan oleh PNM kali ini mengambil tempat di UPSI Tanjong Malim, Perak. Kata malim yang dibaca malem memiliki pengertian yang sama di Aceh yaitu orang yang berilmu atau alim. Alkisah terdapat tanjung (unjung) sungai di kawasan tersebut yang didiami oleh para penuntut ilmu. Oleh karena itu disebut Tanjong Malim yang kini secara diganti namanya oleh Sultan Perak menjadi Tanjung Muallim, atau dikenal tanah Muallim. 


Sumber ini sudah ditayangkan di Serambi Online


Peneliti Manuskrip dari Aceh Bahas Qanun Meukuta Alam di Tanah Muallim Malaysia

Read More

Monday, August 22, 2022


Zawiyah Tanoh Abee memang dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mengoleksi ratusan manuskrip atau naskah kuno. Perjalanannya sejak era Kesultanan Aceh, berlanjut pada masa perang Aceh melawan Belanda, yang sebagian manuskripnya harus disembunyikan di gunung, rumah-rumah warga, dan dibawa bersamanya Abu Tanoh Abee saat berperang, akibat wilayah Tanoh Abee sudah dikuasai oleh Belanda dan dibumi hanguskan. 


Paska Indonesia merdeka, manuskrip kuno tersebut dijaga oleh keturunan beliau hingga pada masa Abu Dahlan Tanoh Abee, ulama kelahiran 1943 cicit dari Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee. Beberapa naskah dibawa kembali ke zawiyah ini, sebagian lainnya terlanjur berada di luar Aceh, alias di luar negeri. Koleksi manuskrip zawiyah Tanoh Abee terbuka untuk umum setelah Gempa dan Tsunami 2004.


Salah satu hal yang menarik adalah naskah kuno yang menyebutkan tentang kelahiran anak laki-laki Teungku Tanoh Abee. Naskah ini dikoleksi dan disimpan di British Library (Perpustakaan Inggris) di London, Inggris.  


Naskah koleksi Nomor. Or. 16768 yang dapat diakses dan sudah digitalkan terbongkar sebagaimana foto di bawah ini:




"Adapun kemudian daripada hijrah Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam Seribu Dua Ratus Empat Puluh Delapan Tahun Pada Tahun Ba, pada hari Kamis pada waktu Dhuha, pada bulan Jumadil Akhir pada ketika itu maka jadi seorang kanak-kanak, laki-laki, anak Teu[ng]ku Abu Tanoh Abee, pada negeri Bithak. Allahumma Thawwil ‘umrahu, wa-katstsir rizqahu, wa shahhih badanahu, wa-thabbit qalbahu ‘ala tha’atika ya Arhama ar-Rahimin. Amin."

Jika dikonversi hari Kamis, Jumadil Akhir 1248 H, diambil tgl 1, maka bertepatan dengan Kamis, 25 Oktober 1832.


Kelahiran Anak Teungku Tanoh Abee

Read More

Thursday, June 16, 2022


Di era orde baru dan awal reformasi, perhatian terhadap pelestarian naskah belum memadai dikarenakan beberapa faktor, antaranya situasi politik Aceh dengan konflik vertikal berkepanjangan, ternyata banyak mempengaruhi ke sektor lain, termasuk pendidikan, budaya dan penelitian keilmuan. Faktor lainnya yang mempengaruhi lemahnya regulasi pemerintah terhadap pelestarian warisan tulis adalah minimnya sumber daya manusia (SDM) di Aceh. Akibatnya, pengetahuan seputar ilmu filologi dan pernaskahan (manuskrip) tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk pelajar dan para pewaris manuskrip itu sendiri.



Sebenarnya, program kegiatan pemeliharaan (preservation) sudah dikenal sejak dahulu, dan pasca gempa-Tsunami 2004 terus tumbuh berkembang dalam dunia pernaskahan Aceh, preservasi masa mendatang dapat meliputi; Inventarisasi naskah, Katalogisasi, Restorasi naskah, Digitalisasi naskah, Database (pangkalan data), dan Tipologi kajian (analisis) teks, naskah serta kajian kontekstual.


Baca juga: Nasib Manuskrip Aceh di Padang
 

Sebahagiannya sudah dilakukan secara berkelanjutan, walaupun belum ada prioritas kebijakan terhadap program-program tersebut, sehingga belum ada sinerginitas antara satu lembaga dengan lainnya. Secara periodik, perhatian terhadap preservasi naskah di masyarakat dapat dipilah menjadi dua bagian sesuai dengan situasi dan kondisi Aceh, yaitu pra dan pasca bencana alam dan bencana kemanusiaan. 

Hal itu untuk memudahkan melihat regulasi pemerintah dan perhatian masyarakat terhadap kearifan dan pengetahuan untuk merevitalisasi pengetahuan budaya dan kultur masa lalu dengan konteks sekarang dengan jumlah ribuan naskah di Aceh.




Akumulasi angka tersebut tentu akan mencapai jumlahnya jika dirunut sebelum tragedi gempa dan tsunami Aceh-Nias pada 26 Desember 2004 atau sesudahnya. Hingga sebelum tragedi bencana dunia tersebut, Aceh memiliki beberapa lembaga yang mengoleksi naskah-naskah Jawi (Bahasa Aceh dan Melayu) dan Arab, seperti di Museum Negeri Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH) berlokasi di Banda Aceh. Zawiyah Tanoh Abee di Seulimuem, Aceh Besar, dan Dayah Awee Geutah, Bireuen. 


Baca juga: Hikayat Aceh Masuk Nominasi Memory of the World

Perjalanan Awal Program Preservasi Naskah di Aceh

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top