Monday, August 14, 2023

NEW


Simposium Internasional ke-19 (SIPN XIX 2023) yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) bersama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pusat Kajian Jawa (Pusaka Jawa) menekankan bahwa digitalisasi naskah kuno dan manuskrip Nusantara menjadi krusial dalam upaya pelestariannya.


Bertemakan “Penguatan Keindonesiaan Melalui Kajian Naskah Nusantara”, simposium ini berlangsung secara luring dan daring, Senin-Rabu, 7-9 Agustus 2023, di FIB UGM, Yogyakarta. Adapun acara ini dihadiri oleh lebih dari 230 peserta, mulai dari filolog, para penggerak, akademisi dan para pemangku kepentingan terkait lainnya.


Melalui digitalisasi, keterbacaan naskah kuno dan manuskrip bisa terjamin tanpa risiko kerusakan bahan dan perawatan yang sulit. Di samping itu, digitalisasi naskah juga memudahkan publik untuk mengakses manuskrip, membacanya, melakukan transliterasi dan melakukan penelitian terhadap berbagai manuskrip.


Berbagai upaya komunitas, aktivis serta lembaga-lembaga yang aktif dalam pernaskahan dilakukan diantaranya melalui cultural broker, penggunaan platform youtube seperti Ngariksa, situs-situs penyedia naskah digital seperti Qalamos, Dreamsea, Wikisource, alih wahana naskah menjadi komik, penggunaan Artificial Intelligence (AI) ChatGPT, dan lain-lain, memudahkan akses dan keterbacaan naskah baik bagi para peneliti maupun masyarakat umum.


Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) Prof. Dr. Setiadi, S.Sos, M.Si berharap bahwa simposium ini menghasilkan pemikiran strategis bagi pengembangan kajian naskah.

 “Alhamdulillah SIPN XIX 2023 selama tiga hari kemarin berjalan dengan lancar. Kami berharap, kegiatan ini menghasilkan aksi-aksi nyata untuk semakin mengkontekstualisasikan isi naskah-naskah kuno Nusantara dalam upaya berkontribusi bagi penguatan identitas dan budaya Nusantara, termasuk melalui upaya digitalisasi,” ungkapnya.


Sebagai salah satu penyelenggara simposium ini bersama FIB UGM dan Pusaka Jawa, Ketua MANASSA Komisariat Yogyakarta Dr. Sudibyo menilai bahwa sudah saatnya para peneliti/filolog mengakhiri langkahnya di jalan sunyi.


“Filolog-filolog Indonesia perlu melibatkan diri dalam berbagai diskursus yang menuntut kontribusi nyata. Sifat ‘wordy’ dari sebuah teks kajian tidak hanya menuntut ditempatkan dalam konteks berbagai peristiwa yang menyebabkan kehadirannya, namun juga negosiasi dengan berbagai kemungkinan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pada masa kini dan masa mendatang,” ungkap pria yang juga merupakan Ketua Departemen Bahasa dan Sastra FIB UGM.




Anak Muda Sumbangkan Pemikiran

Ketua SIPN XIX 2023 yang juga merupakan Ketua Pusat Kajian Jawa (Pusaka Jawa) Dr. Arsanti Wulandari mengungkapkan,


“Senang sekali melihat banyak anak muda berkumpul dengan pemikirannya yang kreatif dan kritis, mau berkecimpung di dunia naskah. Melihat hal ini, juga dilengkapi pendekatan yang modern, rasanya tidak perlu khawatir akan masa depan kajian naskah.”


Dr. Arsanti juga menekankan peran digitalisasi yang harus terus didorong dalam hal pelestarian naskah dan akses publik terhadapnya. “Akses yang semakin terbuka menjadi kunci gerbang informasi. Kami berharap, simposium ini juga menjadi sarana untuk memperkuat nilai keindonesiaan dengan melihat konteks teks naskah dari berbagai daerah di Nusantara,” tambahnya.


Selain digitalisasi naskah kuno dan manuskrip, simposium ini juga menyoroti adanya Fenomena Silang Budaya dalam Naskah Nusantara, Reportase dan Hoaks dalam Naskah Nusantara, Naskah Nusantara dan Industri Kreatif, dan topik-topik lain seputar pernaskahan yang relevan dengan masa kini.

 

Rangkaian simposium ini juga mengajak para peserta berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta penilikan jejak sejarah Yogyakarta melalui Diorama Kearsipan DPAD DIYHasil kunjungan ini menjadi penutup kegiatan yang selain menjadi wahana pelepas penat setelah dua hari penuh berdiskusi di dalam ruangan, bisa menunjukkan pula secara eksperiensial relevansi kajian naskah dengan bidang-bidang yang menyertainya seperti sejarah dan lingkungan Istana sebagai skriptorium naskah.


Sumber: Liputan6

Simposium Internasional Pernaskahan ke-19 Tekankan Digitalisasi Manuskrip Nusantara

Read More

Friday, August 11, 2023


Baitul Mal Aceh gelar lomba menulis dengan subtema dalam lomba ini sebagai berikut:
1) Menggalakkan Zakat Produktif.
2) Zakat Profesi di Era Digital.
3) Dampak Zakat Produktif Baitul Mal Aceh.

Untuk struktur tulisan itu sendiri, yaitu mengandung unsur pendahuluan, kajian teoritis, pembahasan, penutup, dan kesimpulan. Tulisan-tulisan itu nantinya akan dinilai oleh dewan juri yang profesional, yaitu Yarmen Dinamika dari unsur media; Fauzan Santa dari unsur akademisi dan sineas; dan Sayed Muhammad Husen dari unsur internal Baitul Mal Aceh.





Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:
1) Berdomisili di Provinsi Aceh (dibuktikan dengan scan KTP/KK).
2) Peserta wajib mengisi formulir pendaftaran dan surat pernyataan keaslian karya tulis.
3) Karya tulis merupakan karya asli (orisinal) yang belum pernah diikutsertakan dalam perlombaan apa pun dan belum pernah dipublikasikan yang dibuktikan dengan Surat Pernyataan Keaslian Karya Tulis.
4) Penulisan berbentuk artikel, ditulis menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) dan data yang dapat  dipertanggungjawabkan.
5) Karya tulis dibuat dalam dokumen Microsoft Word dengan ukuran kertas A4, bentuk huruf Times New Roman 12, spasi 1,5.
6) Panjang tulisan 1.500 sampai 2.500 kata.
7) Karya tulis harus sesuai dengan salah satu subtema yang ditentukan.
8) Karya tulis wajib mencantumkan minimal 1 (satu) referensi ilmiah yang berkaitan dengan subtema yang dipilih (buku, jurnal, white paper dan referensi ilmiah lainnya).
9) Karya tulis menjadi hak milik Baitul Mal Aceh.
10) Peserta mengirimkan karya tulis disertai dengan scan KTP/KK, Formulir Pendaftaran dan Surat Pernyataan Keaslian Tulisan yang telah ditandatangani melalui email panitia.

Untuk tatacara pendaftarannya, peserta wajib mengikuti salah satu akun media sosial Baitul Mal Aceh (Youtube, Twitter dan Instagram). 

Peserta membuat dan menandatangani surat pernyataan keaslian karya dengan membubuhkan materai 10.000 (format bebas). 

Peserta mengirimkan naskah, bukti tangkap layar (screenshot) telah mengikuti akun sosial media Baitul Mal Aceh, surat penyataan dan scan KTP melalui link: bit.ly/lombazakat2023, batas waktu hingga tanggal 31 Agustus 2023, pukul 23.59 WIB.

Baitul Mal Aceh Adakan Lomba Menulis

Read More

Sunday, July 30, 2023


Salah satu buku utama yang menjadi bacaan orang di Nusantara, termasuk di pulau Jawa adalah Babad Tanah Jawi. 

Babad Tanah Jawi edisi 1 ini dialih aksarakan ke dalam aksara latin dari sumber aslinya berhuruf Jawa cetak terbitan Balai Pustaka tahun 1939. Dirangkai dalam tujuh pupuh tembang Macapat, yaitu Dhandhanggula 104 bait, Asmaradana 108 bait, Sinom 37 bait Pangkur 58 bait, Durma 96 bait Mijil 63 bait.




Kisah sejarah Jawa ini diawali ketia Allah menciptakan Nabi Adam di dunia, kemudian secara kronologis dilanjutkan dengan sejarah Nabi Sis, sampai kepada kisah para dewa, para raja di Tanah Jawa mulai dari Batara Brama dan Batara Wisnu sampai Kerajaan Pejajaran dan awal berdirinya kerajaan Majapahit.



Untuk lebih detail silahkan download Buku Babad Tanah Jawi Jilid 1,  klik disini


Berikutnya Buku Babad Tanah Jawi Jilid 2


Download Buku Babad Tanah Jawi 1

Read More

Wednesday, July 19, 2023


Buku ringkas ini yang disebut oleh penulis adalah brosur terkait persoalan yang masih viral dan hangat pada masanya, terutama perjuangan Muslimin Indonesia mencapai kemenangan menuju ridha Ilahi Rabbi.


Buku ringkas ini dikeluarkan oleh Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) pada tanggal 5 Februari 1955 yang ditulis oleh Sjarif Usman dan M . Isa Anshary. 


Sjarif Usman adalah Ketua Badan Kontak Organisasi Islam Jakarta Raya, sedangkan M. Isa Anshary adalah Ketua Front Anti Komunis.



Selengkapnya silahkan Download buku disini: Mari Merebut Kemenangan 

Download Buku "Mari Merebut Kemenangan"

Read More

Sunday, April 16, 2023


Pertengahan Ramadhan tahun 1444 H, bertepatan April 2023, untuk pertama kalinya kami (saya dan dua orang teman dari Malaysia pak Affendi dan pak Syukri) menikmati shalat Jumat di bulan Ramadhan di mesjid tuha (tua) Indrapuri Aceh Besar. 

Mesjid tuha Indrapuri salah satu mesjid bernilai sejarah yang sangat penting. Disebut mesjid tuha untuk membedakan dengan mesjid jamik Abu Indrapuri yang berada di seberang sungai dan seberang jalan.



 Sebelum memasuki waktu shalat Jumat, saya sempat menikmati kisah cerita dari ureung tuha setempat tentang peranan dan perjalanan mesjid tua yang dulunya sebagai mesjid jamik/ mesjid raya Indrapuri berangsur berubah mesjid tuha yang kini hanya tunduk tiga gampong saja. 

Oleh karenanya shalat Jumat dan shalat berjamaah masih tetap dilaksanakan dan dihadiri oleh penduduk tiga gampong tsb dan para jamaah luar. 

Masjid berbentuk piramida dengan atap bertingkat tiga ditopang oleh 36 tiang dan berdinding langsung dengan tembok tebal setinggi setengah badan. Mesjid ini sangat nyaman, apalagi di bulan puasa, derai angin yang bertiup, pemilihan kemarik yang unik nan dingin semakin menggoda kami untuk rebahan 😁 



Sebagaimana banyak informasi berkembang tentang konstruksi dan asal usul mesjid ini, walaupun itu hanya dari cerita ke cerita, tanpa kajian secara konprehensif. Padahal konstruksi dan gayanya masih mengikuti mesjid-mesjid tuha yang ada di Aceh Besar, Pidie dan lainnya. 

Terlepas dari itu, dalam tradisi arsitektur bangunan Aceh tempo dulu, para utoh (tukang bangunan) akan mengukir tanggal/tahun selesainya pembangunan atau rekonstruksinya. 

Hal itu dapat ditemui banyak di rumoh Aceh, mesjid dan meunasah serta bangunan kuno lainnya yang berkonstruksi kayu, biasanya berada di salah satu sudut bangunan, termasuk pada mesjid tua ini yang tertera tahunnya 1274 (mengikuti teori angka al-Banna) dikonversi sekitar tahun 1858. 

Boleh jadi itu tahun rehab terakhir atap mesjid sebelum mesjid ini dikuasai oleh Belanda pada tahun 1880 sebagaimana foto C. Kruger yang tampak bendera di atas kubahnya, para tentara kolonial Belanda dan batu-batu makam para syuhada pejuang Aceh.  


Sejarah penting lainnya masjid tuha Indrapuri ini sebagai saksi bisu penobatan Sultan Aceh yang masih kecil, Sultan Muhammad Daudsyah di Mesjid tuha Indrapuri ini pada tahun 1878, Tuanku Hasyim Bangtamuda sebagai Mangkubumi. Sebab inilah, Belanda mengincar masjid ini sebagai titik koordinat para pejuang Aceh dan sultannya.



Saat ini, mesjid tuha Indrapuri sudah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya. Meski demikian, masih sangat banyak rekaman sejarahnya belum tergores dalam tinta sejarah perjalan dan perannya hingga saat ini. 

Shalat Jumat di Mesjid Tua Indrapuri

Read More

Saturday, March 25, 2023




Surat Sultan Aceh, As-Sultan 'Alauddin [Alauddin Ri'ayat Syah Sayyid al-Mukammal] 
bin Firmansyah, yang diberikan kepada Kapten kapal Inggris bernama Harry Middelton sekitar tahun 1602 untuk izin berdagang di seluruh wilayah "Teluk Rantau Aceh", atau wilayah kekuasaan dan naungan Kesultanan Aceh. Surat ini menjadi dasar utama wilayah perdagangan dan kekuasaan Aceh yang dikelola secara bersama-sama.



Surat izin perdagangan sultan Aceh ini disimpan di Bodleian Library dengan nomor MS (manuscript). Douce Or. e. 4. di Universitas Oxford (University of Oxford). Informasi ini diadaptasi dari Richard Greentree dan Edward Williams Byron Nicholson, Katalog Naskah Melayu dan Naskah Berkaitan dengan Bahasa Melayu di Bodleian Library, Clarendon Press, 1910.

Surat ini disimpan dalam bungkusan kain sutra berwarna hijau yang kini disimpan dalam kotak khusus yang dibuat oleh Bodleian. Surat berbahan kertas Eropa dengan teks tertulis 14,5 x 16 cm, tulisan indah dengan khat Naskhi.

Di atas teks terdapat cap Sultan yang berkuasa pada tersebut, tertulis ditengahnya "As-Sultan 'Alauddin bin Firmansyah" yang merujuk kepada Sultan Alauddin Ri'ayat Syah Sayyid al-Mukammal, berkuasa antara tahun 1589-1604, dan beliau meninggal dunia dengan tenang tahun 1605.



Berikut teks hasil alihaksaranya:

Dengan anugerah Tuhan seluruh alam sekalian, sabda yang maha mulia datang kepada segala panglima negeri 

dan pertuha segala negeri yang takluk ke Aceh. Adapun barang tahu kamu sekalian bahwa

kapal orang-orang Inglitir ini Kaptennya bernama Hary Middelton asalnya kapal ini berlabuh  

di labuhan negeri Aceh berapa lamanya ia di sana, maka mohon dirinya ia berlayar ke Jawa jika ia 

memeli lada atau barang suatu diberinya akan kamu dirham atau barang suatu yang orang Inglitir 

ini orang sahabat kita raja Inglitir, maka kaptennya dan segala saudagarnya itu hamba pada raja

Inglitir, yang hamba raja Inglitir itu serasa orang kitalah. Jika ia meli beri jual dengan kamu yang dalam 

Teluk Rantau Aceh itu dengan sebenar-benarnya jua. Maka surat sitmi yang kita karuniai akan dia ini 

dengan dipohonkan daripada kita supaya jangan ia dicabuli segala orang Teluk Rantau kita.

Maka jika ditunjukkannya kepada kamu sekalian sitmi ini hendaklah kamu permulia, dan janganlah 

seorang daripada kamu  mencabuli dia. Inilah sabda kita kepada kamu sekalian. Wassalam. 



Note:
- Sitmi adalah surat resmi kesultanan yang ada cap (stempel) resmi pemerintahan
- Inglitir adalah penyebutan kepada bangsa Inggris
- Teluk Rantau merupakan wilayah-wilayah kerajaan lain di Nusantara yang tunduk dan bekerja sama dengan Kesultanan Aceh.
- mencabuli dimaknai memusuhi, mencelakai dan atau membajak atau mengganggu

Surat Izin Dagang Sultan Aceh Kepada Kapten Inggris

Read More

Sunday, September 18, 2022

 


Innallillahi wa inna ilaihi rajiun. Kabar duka datang dari keluarga besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azyumardi Azra, meninggal dunia, Ahad (18/9/2022) di RS Malaysia, pukul 11.30 WIB atau 12.30 waktu Malaysia. 

Sebelumnya Azyumardi, masih menjalani perawatan secara intensif oleh tim dokter di Rumah Sakit Selangor, Malaysia, pada Sabtu (17/9/2022) pagi. Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Malaysia, Hermono, mengatakan, tim dokter menyampaikan Prof Azra belum bisa dipindahkan ke rumah sakit lain sampai kondisinya menjadi lebih stabil.

Sebelumnya, ia mengatakan, ada rencana memindahkan Prof Azra ke rumah sakit di Kuala Lumpur, tapi masih menunggu persetujuan dari pihak rumah sakit yang akan menerima pasien. Berdasarkan keterangan pihak rumah sakit, ia mengatakan, Prof Azra dirawat di ruang zona merah yang lazimnya digunakan untuk perawatan pasien terinfeksi Covid-19.

Beliau hadir ke Malaysia untuk memenuhi undangan dan menjadi Keynote Speaker di  Persidangan Antarabangsa Kosmopolitan Islam "Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan" Tanggal 17 September 2022 di Bangi Avenue Convention Center (BACC), Kajang, Malaysia. 

Namun, dalam pesawat perjalanan dari Jakarta Ke Kuala Lumpur, sekitar 20 menit sebelum mendarat di KL, beliau mengalami batuk-batuk tanpa henti, badannya menggigil berkeringat dingin. Kisah tersebut diceritakan oleh Prof. Budi Agustono, mantan dekan FIB-USU yang duduk sebaris dengan beliau dalam pesawat tersebut. 

"Narasi whatsapp ini ditulis di pesawat. Dua puluh menit sebelum pesawat mendarat, saat saya, istri dan pak azra sedang bercakap tiba tiba pak azra batuk tanpa henti, tubuhnya keringat dingin. Saya mintanya minum air air mineral. Saya memijat tubuhnya yang keringat dingin lalu meminta pramugari memasang selang oksigen di hidung dan mulut. Meski selang terpasang sesak nafasnya tak berhenti, malah tubuhnya begerak ke kiri ke kanan di atas kursi pesawat. 

Ketika pesawat parkir dan pintu pesawat dibuka menurunkan penumpang, saya dan istri mengurus kesehatan pak azra diminta turun  belakangan.  Saya dan istri gelisah dan cemas melihat kesehatan pak azra. Tidak lama sesudah ini kamu bertiga turun pak azra dengan selang oksigen ditampung dan dibawa segera ke bed panjang perawatan lalu dilarikan  ambulans ke rumah sakit."...









Berikut ini sekilas biografi cendekiawan muslim :

AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Kini dia adalah Ketua Dewan Pers Republik Indonesia (2022- 2025).

Sebelumnya, dia pernah menjadi Staf Khusus Wakil Presiden RI untuk Bidang Reformasi Birokrasi (19 Januari 2017- 20 Oktober 2019); anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan (GTK) Sekretaris Militer Presiden RI (2014- 2019, 2019-2024); Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta (2007-2011, 2011-2015). Dia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).

Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992) with distinction, Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Dia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu dia juga anggota Dewan Penyantun, penasehat dan gurubesar tamu di beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi demokrasi internasional. Dia telah menerbitkan lebih 44 buku dan puluhan artikel dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Italia dan Jerman.

Dia mendapatkan berbagai penghargaan: 

  • The Asia Foundation Award 50 tahun The Asia Foundation (2005); 
  • Bintang Mahaputra Utama RI (2005); 
  • Gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris (2010); 
  • MIPI Award, Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIPI, 2014); 
  • Commendations Kementerian Luarnegeri Jepang (2014); 
  • Fukuoka Prize 2014 Jepang (2014); 
  • Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas (2015); 
  • Penghargaan Achmad Bakrie (2015); 
  • LIPI Sarwono Award (2017); 
  • Bintang Pemerintah Jepang ‘The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star’ diserahkan Kaisar Akihito dan Perdana Menteri Shinzo Abe di Imperial Palace, Tokyo, Jepang (2017). 
  • The 500 Most Influential Muslim Leaders (2009) dalam bidang Scholarly (kesarjanaan/keilmuan), 
  • Prince Waleed bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC 
  • The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman, Yordania di bawah pimpinan Prof John Esposito dan Prof Ibrahim Kalin.

Selamat jalan guru...

Selamat Jalan Prof. Azyumardi Azra.

Read More

Thursday, September 01, 2022


Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Hermansyah bahas Qanun Meukuta Alam di Malaysia. Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Tanjong Malim Perak, Malaysia mengadakan Pameran dan Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu (PPAMM), Selasa-Kamis  9-11 Agustus 2022.

Acara dua tahunan itu diresmikan dan dibuka Menteri Pelancongan (Pariwisata), Seni dan Budaya Malaysia, YB Datuk Seri Dr Santhara. Hadir saat pembukaan acara tersebut, Ketua Pengarah Perpustakaan Negara Malaysia (PNM), YBrs Puan Salasiah binti Abdul Wahab. Kemudian Rektor UPSI, YBhg Dato’ Prof Dr Md Amin bin Md Taff sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan tersebut.

Makan malam bersama dengan Rektor UPSI (Universitas Pendidikan Sultan Idris) dan pengurus dan para narasumber.

Seminar internasional ini menghadirkan 23 pakar manuskrip Melayu dari dalam dan luar negeri yang dibagi menjadi 8 sesi. Pembicara dalam negeri hadir dari berbagai instansi, baik dari universitas ataupun peneliti lepas. Sedangkan pembicara dari luar negara wilayah Malaysia berasal dari Amerika Serikat, Brunai Darussalam, dan tiga dari Aceh, Indonesia.

Peneliti manuskrip yang juga Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Hermansyah, diundang dalam seminar tersebut untuk membedah manuskrip Qanun Meukuta Alam (Undang-undang Aceh), sesuai dengan tema seminar tahun 2022 “Manuskrip Perundangan Melayu: Korpus Warisan Tempatan dan Dunia”.

Menurut Hermansyah, ditinjau dari warisan manuskrip Aceh, maka terdapat tiga qanun atau Undang-undang Aceh yang diperoleh saat ini. Naskah Undang-undang Aceh, naskah Ma Baina as-Salathin atau dikenal Adat Aceh, dan Tadhkirat at-Tabaqat Tgk Di Mulek yang sering disebut Qanun Meukuta Alam.

“Sedangkan Qanun Syara’ al-Asyi merupakan sub-bagian dari Qanun Meukuta Alam,” ungkap Hermansyah kepada media, Jumat (12/8/2022).

Semua naskah qanun di Kesultanan Aceh tersebut, kata Hermansyah, saling terkait dan memiliki jalur silsilah yang hampir sama periodenya, yaitu pada periode Sultan Syarif Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726).

Meski penyebutan dalam naskah merujuk kepada Qanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Hermasyah menyampaikan, seminar ini dikhususkan untuk mengkaji undang-undang atau qanun yang pernah berlaku dan berjaya pada masa kerajaan-kerajaan Melayu tempo dulu yang dapat diaktualisasikan dan diaplikasikan pada zaman sekarang ini.


Selain sesi Qanun Meukuta Alam asal Kesultanan Aceh Darussalam, juga diseminarkan Hukum Qanun Melaka, Hukum Qanun Pahang, Undang-undang Kedah, Hukum Qanun Brunei Darussalam, Undang-undang Laut, Sejarah Perundang-undangan, dan Undang-undang dari aspek bahasa dan disiplin ilmu lainnya.

Seminar internasional yang diadakan oleh PNM kali ini mengambil tempat di UPSI Tanjong Malim, Perak.

Kata “Malim” yang dibaca malem memiliki pengertian yang sama di Aceh yaitu orang yang berilmu atau alim. Alkisah terdapat tanjung (unjung) sungai di kawasan tersebut yang didiami oleh para penuntut ilmu.

Oleh karena itu disebut Tanjong Malem yang kini oleh Sultan Perak diganti namanya menjadi Tanjung Muallim, atau dikenal tanah Muallim. (*)


Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh Paparkan Manuskrip Qanun Meukuta Alam di Malaysia

Read More


Kuala Lumpur: Acara akbar dua tahunan dalam bentuk Pameran dan Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu (PPAMM) yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Tanjong Malim Perak pada tanggal 9-11 Agustus 2022.


Seminar tersebut diresmikan dan dibuka langsung oleh YB Datuk Seri Dr. Santhara, sebagai Menteri Pelancongan (Pariwisata), Seni dan Budaya. Pada saat yang sama peresmian tersebut dihadiri juga YBrs. Puan Salasiah binti Abdul Wahab sebagai Ketua Pengarah Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) dan YBhg. Dato’ Prof. Dr. Md. Amin bin Md. Taff, Rektor UPSI sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan tersebut.



Seminar Internasional ini menghadirkan sebanyak 23 pakar manuskrip Melayu dari dalam dan luar negeri yang dibagi menjadi 8 sesi. Pembicara dalam negeri hadir dari berbagai instansi, baik dari universitas ataupun peneliti lepas. Sedangkan pembicara dari luar negara wilayah Malaysia berasal dari Amerika Serikat, Brunai Darussalam, dan tiga orang dari Aceh, Indonesia.


Salah seorang peneliti manuskrip dan dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Hermansyah, diundang pada seminar tersebut untuk membedah manuskrip Qanun Meukuta Alam (Undang-undang Aceh). Sesuai dengan tema seminar tahun 2022 “Manuskrip Perundangan Melayu: Korpus Warisan Tempatan dan Dunia”. 


Menurut Hermansyah, ditinjau dari warisan manuskrip Aceh, maka terdapat tiga qanun atau Undang-undang Aceh yang diperoleh saat ini. Naskah Undang-undang Aceh, naskah Ma Baina as-Salathin atau dikenal Adat Aceh, dan Tadhkirat at-Tabaqat Tgk Di Mulek yang sering disebut Qanun Meukuta Alam. Sedangkan Qanun Syara’ al-Asyi merupakan sub-bagian dari Qanun Meukuta Alam. 



Semua naskah qanun di Kesultanan Aceh tersebut saling terkait dan memiliki jalur silsilah yang hampir sama periodenya, yaitu pada periode Sultan Syarif Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726). Walaupun penyebutan dalam naskah merujuk kepada Qanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda (1607-1636).



Seminar ini dikhususkan untuk mengkaji undang-undang ataupun qanun yang pernah berlaku dan berjaya pada masa kerajaan-kerajaan Melayu tempo dulu yang dapat diaktualisasikan dan diaplikasikan pada zaman sekarang ini. Selain sesi Qanun Meukuta Alam asal Kesultanan Aceh Darussalam, juga diseminarkan Hukum Qanun Melaka, Hukum Qanun Pahang, Undang-undang Kedah, Hukum Qanun Brunei Darussalam, Undang-undang Laut, Sejarah Perundang-undangan, dan Undang-undang dari aspek bahasa dan disiplin ilmu lainnya. 


Seminar Internasional yang diadakan oleh PNM kali ini mengambil tempat di UPSI Tanjong Malim, Perak. Kata malim yang dibaca malem memiliki pengertian yang sama di Aceh yaitu orang yang berilmu atau alim. Alkisah terdapat tanjung (unjung) sungai di kawasan tersebut yang didiami oleh para penuntut ilmu. Oleh karena itu disebut Tanjong Malim yang kini secara diganti namanya oleh Sultan Perak menjadi Tanjung Muallim, atau dikenal tanah Muallim. 


Sumber ini sudah ditayangkan di Serambi Online


Peneliti Manuskrip dari Aceh Bahas Qanun Meukuta Alam di Tanah Muallim Malaysia

Read More

Monday, August 22, 2022


Zawiyah Tanoh Abee memang dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mengoleksi ratusan manuskrip atau naskah kuno. Perjalanannya sejak era Kesultanan Aceh, berlanjut pada masa perang Aceh melawan Belanda, yang sebagian manuskripnya harus disembunyikan di gunung, rumah-rumah warga, dan dibawa bersamanya Abu Tanoh Abee saat berperang, akibat wilayah Tanoh Abee sudah dikuasai oleh Belanda dan dibumi hanguskan. 


Paska Indonesia merdeka, manuskrip kuno tersebut dijaga oleh keturunan beliau hingga pada masa Abu Dahlan Tanoh Abee, ulama kelahiran 1943 cicit dari Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee. Beberapa naskah dibawa kembali ke zawiyah ini, sebagian lainnya terlanjur berada di luar Aceh, alias di luar negeri. Koleksi manuskrip zawiyah Tanoh Abee terbuka untuk umum setelah Gempa dan Tsunami 2004.


Salah satu hal yang menarik adalah naskah kuno yang menyebutkan tentang kelahiran anak laki-laki Teungku Tanoh Abee. Naskah ini dikoleksi dan disimpan di British Library (Perpustakaan Inggris) di London, Inggris.  


Naskah koleksi Nomor. Or. 16768 yang dapat diakses dan sudah digitalkan terbongkar sebagaimana foto di bawah ini:




"Adapun kemudian daripada hijrah Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam Seribu Dua Ratus Empat Puluh Delapan Tahun Pada Tahun Ba, pada hari Kamis pada waktu Dhuha, pada bulan Jumadil Akhir pada ketika itu maka jadi seorang kanak-kanak, laki-laki, anak Teu[ng]ku Abu Tanoh Abee, pada negeri Bithak. Allahumma Thawwil ‘umrahu, wa-katstsir rizqahu, wa shahhih badanahu, wa-thabbit qalbahu ‘ala tha’atika ya Arhama ar-Rahimin. Amin."

Jika dikonversi hari Kamis, Jumadil Akhir 1248 H, diambil tgl 1, maka bertepatan dengan Kamis, 25 Oktober 1832.


Kelahiran Anak Teungku Tanoh Abee

Read More

Thursday, June 16, 2022


Di era orde baru dan awal reformasi, perhatian terhadap pelestarian naskah belum memadai dikarenakan beberapa faktor, antaranya situasi politik Aceh dengan konflik vertikal berkepanjangan, ternyata banyak mempengaruhi ke sektor lain, termasuk pendidikan, budaya dan penelitian keilmuan. Faktor lainnya yang mempengaruhi lemahnya regulasi pemerintah terhadap pelestarian warisan tulis adalah minimnya sumber daya manusia (SDM) di Aceh. Akibatnya, pengetahuan seputar ilmu filologi dan pernaskahan (manuskrip) tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk pelajar dan para pewaris manuskrip itu sendiri.



Sebenarnya, program kegiatan pemeliharaan (preservation) sudah dikenal sejak dahulu, dan pasca gempa-Tsunami 2004 terus tumbuh berkembang dalam dunia pernaskahan Aceh, preservasi masa mendatang dapat meliputi; Inventarisasi naskah, Katalogisasi, Restorasi naskah, Digitalisasi naskah, Database (pangkalan data), dan Tipologi kajian (analisis) teks, naskah serta kajian kontekstual.


Baca juga: Nasib Manuskrip Aceh di Padang
 

Sebahagiannya sudah dilakukan secara berkelanjutan, walaupun belum ada prioritas kebijakan terhadap program-program tersebut, sehingga belum ada sinerginitas antara satu lembaga dengan lainnya. Secara periodik, perhatian terhadap preservasi naskah di masyarakat dapat dipilah menjadi dua bagian sesuai dengan situasi dan kondisi Aceh, yaitu pra dan pasca bencana alam dan bencana kemanusiaan. 

Hal itu untuk memudahkan melihat regulasi pemerintah dan perhatian masyarakat terhadap kearifan dan pengetahuan untuk merevitalisasi pengetahuan budaya dan kultur masa lalu dengan konteks sekarang dengan jumlah ribuan naskah di Aceh.




Akumulasi angka tersebut tentu akan mencapai jumlahnya jika dirunut sebelum tragedi gempa dan tsunami Aceh-Nias pada 26 Desember 2004 atau sesudahnya. Hingga sebelum tragedi bencana dunia tersebut, Aceh memiliki beberapa lembaga yang mengoleksi naskah-naskah Jawi (Bahasa Aceh dan Melayu) dan Arab, seperti di Museum Negeri Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH) berlokasi di Banda Aceh. Zawiyah Tanoh Abee di Seulimuem, Aceh Besar, dan Dayah Awee Geutah, Bireuen. 


Baca juga: Hikayat Aceh Masuk Nominasi Memory of the World

Perjalanan Awal Program Preservasi Naskah di Aceh

Read More

Tuesday, June 07, 2022


Pagi hari itu cukup cerah, bahkan terik panas matahari lebih  awal muncul dari biasanya. Sejak bulan Ramadhan hingga pertengahan Syawal belum pernah hujan, mendungpun tak kunjung menunjukkan tanda-tandanya. Namun kegiatan surau sudah dipenuhi para pengunjung yang ingin berziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan, seorang ulama tersohor penyebar Tarekat Syattariyah di Pariaman, Padang.

Salah satu surau yang dikunjungi oleh penziarah adalah Surau Pondok Ketek, Ulakan Pariaman. Di surau ini, tersimpan ratusan teks naskah dalam beragam bidang ilmu, terutama bidang keagamaan dan tata bahasa. Selain itu, pemilik dan perawat manuskrip di surau ini adalah Tuanku Khalifah XV, Buya Heri Firmansyah.

Hermansyah bersama Pramono menelusuri naskah-naskah Aceh di Padang, Sumbar


Perjalanan dari Kota Padang ke surau ini membutuhkan waktu 1 jam lebih. Sesampainya kami di sana sudah banyak jamaah dari luar kota, mereka biasanya berziarah ke makam Syekh Ulakan yang berjarak beberapa kilometer dari surau tersebut. Kegiatan di surau ini selain pengajian, ceramah dan mendengar kisah perjuangan ulama-ulama Ulakan.

Tim kami harus menunggu lebih dari dua jam di rumah Buya tersebut, mengingat jamaah dari luar kota lebih awal sampai di tempat. Tim peneliti yang terdiri  dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dengan Universitas Andalas dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry terkait dengan moderasi beragama dari sumber-sumber manuskrip di Sumatera dengan lokasi penelitian Padang dan Aceh. Penelitian kolaborasi yang melibatkan eksternal lembaga adalah salah satu program utama penelitian BRIN dengan universitas-universitas di Indonesia.

Setelah sekian lama menunggu dan berdiskusi Dr. Pramono, dosen Universitas Andalas dan pengurus Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) Pusat dan Khairullah dari Manassa Komisariat Padang, yang juga tergabung dalam Komunitas Suluah di Padang. Akhirnya pimpinan surau hadir setelah memimpin aktivitas pengajiannya.

Surau Pondok Ketek di Pariaman menyimpan beberapa naskah kuno yang merupakan warisan leluhur sebelumnya. Terdapat beberapa tema naskah dan termasuk Alquran berjuz. Diskusi kami sangat panjang, mulai dari sejak awal kepemimpinannya hingga bagaimana proses naskah-naskah itu masih bertahan di sana.

Naskah-naskah di surau ini sudah diindeks dan diinventarisasi koleksinya, walaupun belum dilakukan restorasi dan termasuk mendigitalkan kandungan isi naskah. Dua program akhir tampaknya harus segera dilakukan melihat kondisi naskah koleksi tersebut mulai rusak akibat kondisi alam, lembap dan dimakan rayap.

Pada akhirnya kami tertuju pada satu naskah yang cukup tebal, masih utuh dengan sampulnya. Di dalamnya terkandung beberapa teks, termasuk tentang naskah Syair Ruba’i Hamzah Fansuri yang dikarang oleh Syamsuddin bin Abdullah As-Sumatra’i. Namun tidak diketahui masa penulisan atau penyalinan teks ini mengingat tidak ada informasi di kolofon (bagian akhir) teks.

Bersama Buya Surau Pondok Ketek Ulakan Pariaman Padang 


Sebagaimana diketahui, Syekh Syamsuddin bin Abdullah as-Sumatra’i adalah murid dan sekaligus teman Hamzah Fansuri. Ulama dan Syaikhul Islam tersebut memiliki peran penting pada masa pemerintahan Iskandar Muda. Ia pun syahid pada tahun 1630 saat penyerangan Portugis di Malaka.

Ketenaran dan kedalaman ilmu tasawuf, Syekh Syamsuddin bin Abdullah As-Sumatra’i diakui oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniry dalam kitabnya Bustanus Salatin, meskipun keduanya tidak berjumpa karena periode yang berbeda.

Ternyata, naskah yang tersimpan di surau tersebut adalah salah satu bagian dari sekian banyak manuskrip-manuskrip ulama Aceh yang ada di tanah Minang. Tentu saja, Negeri Minangkabau, Padang dengan Negeri Serambi Mekkah, Aceh memiliki hubungan kuat secara keilmuan.

Nasib naskah-naskah kuno di Padang juga masih memprihatinkan, masih banyak kondisinya rusak, lembap dan dimakan rayap. Tentu juga naskah-naskah Aceh, baik karya ataupun pengarangnya. Naskah-naskah di sini belum dikonservasi dan restorasi. Semoga ke depan Pemerintah Aceh mau mengidentifikasi bahkan membackup naskah-naskah Aceh di luar Provinsi Aceh.

Telah dipublikasi: www.marjinal.id

Nasib Naskah Kuno Aceh di Padang, Sumatera Barat

Read More

Monday, March 21, 2022


Syekh Abdur Ra'uf (Abdurrauf) as-Singkili merupakan ulama terkenal dan dihormati di Aceh. Inisialnya Abdurrauf dinobatkan pada perguruan tinggi di Banda Aceh yang dikenal Universitas Syiah Kuala (Unsyiah, sekarang USK). Disebut Syiah Kuala karena ia dimakamkan di Kuala Aceh. 

Namun belakangan, ada dua makam Syekh Abdurrauf di Aceh, pertama makam syekh Abdurrauf di Kuala Banda Aceh, terletak di pinggir Kuala pantai Aceh menghadap ke Selat Melaka.

Dan kedua, makam syekh Abdurrauf di singkel yang berada di bibir Sungai Singkil, sekitar 5 KM atau 8 menit dari ibu kota Kabupaten Aceh Singkil. 

Kedua makam tersebut ramai dikunjungi oleh penziarah dari luar Aceh, di mana transportasinya  menuju ke makam Syekh Abdurrauf dapat melalui perjalanan laut, darat, dan udara.


Syekh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri



Awal nama Abdurrauf masyhur di tengah Kesultanan Aceh dan masyarakat setelah ulama asal Fansur (sebagian menyebut sekarang masuk bagian Aceh Singkel) ini setelah menebar tarekat Syattariyah di Aceh sejak awal kepulangannya sekitar tahun 1660/61 M. Menetap dan membuka zawiyah bernama Zawiyah Menara di Kuala Aceh.

Menjadi tokoh utama tarekat Syattariyah dan diterima oleh masyarakat luas, pihak kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam (1640-1675) memberikan mandat untuk menulis kitab fikih tentang hukum yang dapat digunakan di Aceh secara umum. Walau awalnya ia menolak dengan halus, namun akhirnya ia menerima dan menulis kitab fenomenal yang dinamai "Mir'atuth Thullab".

Banyak kitab yang dikarangnya dengan jelas menulis namanya, Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri. Sebagian manuskrip karangannya yang disalin dikemudian hari menulis dengan gelar Syekh Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Fansuri al-Jawi. 




Namun, konsentrasi pengembangan tarekat Syattariyah tetap dia jalani, hal itu dapat dilihat jaringan muridnya yang sangat luas di Nusantara dan alam Melayu. Melalui silsilah tarekat Syattariyah inilah dapat dijumpai kiprah Syekh Abdurrauf di Haramain, jaringan guru-murid sangat luas dan dinamis. Tokoh-tokoh utama penyebar tarekat Syattariyah di dalam dan luar Aceh lebih banyak melalui jalurnya.

Para murid-muridnya banyak menulis dalam kitab mereka bahwa dalam penyelesaian penulisan dan penyalinan kitab diselesaikan (ditammatkan) pada makam syaikhina wa maulana syekh Abdurrauf bin Ali di Zawiyah Meunara.

Lantas, siapakah Syekh Abdurrauf as-Singkili di Singkel..?



(bersambung...)

Dua Makam Syekh Abdur Rauf di Aceh, Kenapa?

Read More

Sunday, March 20, 2022

 


Perang Aceh melawan kolonial Belanda masih menyisakan perlawanan-perlawanan kecil di beberapa wilayah pada tahun 1927. Namun sebagian lainnya telah dikuasai penuh dengan bentuk "Korte Verklaring" atau juga "Domein Verklaring" antara Belanda dengan pemimpin lokal Aceh dikenal uleebalang atau hulubalang, dan sekaligus para pemilik tanah. 

Sebenarnya sebagian besar para hulubalang Aceh tidak pro-Belanda, apalagi anti terhadap perjuangan pejuang-pejuang Aceh. Akan tetapi, lebih mencari posisi aman dengan sikap aturan ganda. Satu sisi mereka menyelamatkan harta kekayaan dan tetap bisa eksis berbisnis, di sisi lain mereka harus membayar pajak dan selalu dalam bayangan teror, dari kedua belah pihak.  

Sejak ditemukannya minyak bumi di Idi Rayeuk, di kawasan "Julok Rayeuk" (Djoeloe Rajeu) telah membuat sebagian besar kolonial Belanda beralih ke Idi, Aceh Timur, menanggalkan wilayah-wilayah pesisir Aceh Besar dan Pidie. Apalagi, kawasan Aceh Timur lebih dekat ke Pangkalan Susu, Pulau Sembilan dan Pulau Kampai yang relatif aman untuk berlabuh kapal-kapal Belanda daripada pelabuhan-pelabuhan di Lhokseumawe, Langsa dan atau Aceh Timur.   







J.H.L van Wijk salah seoarng pengusaha dari Belanda menandatangani kontrak lima tahun dengan Batavian Petroleum Company (BPC) pada tahun 1927 dan memulai proyek pengeboran minyak bumi di "Djoeloe Rajeu" (Julok Rayeuk ?) Idi Aceh Timur. 

Melihat keuntungan besar, J.H.L van Wijk pun tak segan-segan mengucurkan dan membangun infrastuktur modern sekaligus membuat sebuah pemukiman di pedalaman Aceh Timur. 



 Mesin-mesin besar ditempatkan di pedalaman dengan pengawalan ketat dari serdadu Marsose dan serdadu Belanda. Pasukan Marsose yang beranggota penduduk pribumi yang direkrut dan dibayar oleh Belanda diletakkan pada ring paling luar, untuk menangkis serbuan musuh. Sedangkan pasukan Belanda menjada di kawasan utama. 



 

Hutan-hutan lebat nan subur oleh fauna dibabat habis untuk bisa dibangun pabrik sekaligus barak-barak tentara Belanda. Mereka memburu para pejuang di dalam hutan sambil mengeruk hasil alamnya. 



Para pekerja lokal dipaksa bekerja rodi tanpa gaji apalagi pesangon (bonus). Para pejuang Aceh yang ditangkap biasanya tangan dan atau kaki mereka dirantai, guna tidak dapat melawan ataupun melarikan diri. Para pekerja dipaksa untuk tidka mampu memberikan segala perlawanan.

Minyak-minyak bumi ini diolah dan ditempatkan di Aloer-I-Merah (Alue Ie Mirah) sebelum diolah dan digiling di Medan. 


 

Gambar-gambar ini membuktikan Kompani Belanda mengeruk minyak bumi atau dikenal "emas hitam" di pedalaman Idi, dan menyalurkan melalui pipa-pipa ke Alue Ie Mirah (Aloer-I-Merah), dan diteruskan ke Medan untuk ekspor ke Eropa. Untuk melancarkan bisnisnya direkrut pekerja luar dan pekerja lokal. 




Penjajahan bukan hanya sebatas penaklukan suatu wilayah, tetapi juga mengeruk hasil alam dan menindas penduduk di negeri tersebut.


Sumber foto: KITLV

Emas Hitam Idi Aceh Timur dan Tenggelamnya Kapal van Wijk.

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top