Sunday, September 18, 2022

NEW

 


Innallillahi wa inna ilaihi rajiun. Kabar duka datang dari keluarga besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azyumardi Azra, meninggal dunia, Ahad (18/9/2022) di RS Malaysia, pukul 11.30 WIB atau 12.30 waktu Malaysia. 

Sebelumnya Azyumardi, masih menjalani perawatan secara intensif oleh tim dokter di Rumah Sakit Selangor, Malaysia, pada Sabtu (17/9/2022) pagi. Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Malaysia, Hermono, mengatakan, tim dokter menyampaikan Prof Azra belum bisa dipindahkan ke rumah sakit lain sampai kondisinya menjadi lebih stabil.

Sebelumnya, ia mengatakan, ada rencana memindahkan Prof Azra ke rumah sakit di Kuala Lumpur, tapi masih menunggu persetujuan dari pihak rumah sakit yang akan menerima pasien. Berdasarkan keterangan pihak rumah sakit, ia mengatakan, Prof Azra dirawat di ruang zona merah yang lazimnya digunakan untuk perawatan pasien terinfeksi Covid-19.

Beliau hadir ke Malaysia untuk memenuhi undangan dan menjadi Keynote Speaker di  Persidangan Antarabangsa Kosmopolitan Islam "Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan" Tanggal 17 September 2022 di Bangi Avenue Convention Center (BACC), Kajang, Malaysia. 

Namun, dalam pesawat perjalanan dari Jakarta Ke Kuala Lumpur, sekitar 20 menit sebelum mendarat di KL, beliau mengalami batuk-batuk tanpa henti, badannya menggigil berkeringat dingin. Kisah tersebut diceritakan oleh Prof. Budi Agustono, mantan dekan FIB-USU yang duduk sebaris dengan beliau dalam pesawat tersebut. 

"Narasi whatsapp ini ditulis di pesawat. Dua puluh menit sebelum pesawat mendarat, saat saya, istri dan pak azra sedang bercakap tiba tiba pak azra batuk tanpa henti, tubuhnya keringat dingin. Saya mintanya minum air air mineral. Saya memijat tubuhnya yang keringat dingin lalu meminta pramugari memasang selang oksigen di hidung dan mulut. Meski selang terpasang sesak nafasnya tak berhenti, malah tubuhnya begerak ke kiri ke kanan di atas kursi pesawat. 

Ketika pesawat parkir dan pintu pesawat dibuka menurunkan penumpang, saya dan istri mengurus kesehatan pak azra diminta turun  belakangan.  Saya dan istri gelisah dan cemas melihat kesehatan pak azra. Tidak lama sesudah ini kamu bertiga turun pak azra dengan selang oksigen ditampung dan dibawa segera ke bed panjang perawatan lalu dilarikan  ambulans ke rumah sakit."...









Berikut ini sekilas biografi cendekiawan muslim :

AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Kini dia adalah Ketua Dewan Pers Republik Indonesia (2022- 2025).

Sebelumnya, dia pernah menjadi Staf Khusus Wakil Presiden RI untuk Bidang Reformasi Birokrasi (19 Januari 2017- 20 Oktober 2019); anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan (GTK) Sekretaris Militer Presiden RI (2014- 2019, 2019-2024); Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta (2007-2011, 2011-2015). Dia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006).

Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992) with distinction, Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Dia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu dia juga anggota Dewan Penyantun, penasehat dan gurubesar tamu di beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi demokrasi internasional. Dia telah menerbitkan lebih 44 buku dan puluhan artikel dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Italia dan Jerman.

Dia mendapatkan berbagai penghargaan: 

  • The Asia Foundation Award 50 tahun The Asia Foundation (2005); 
  • Bintang Mahaputra Utama RI (2005); 
  • Gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris (2010); 
  • MIPI Award, Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIPI, 2014); 
  • Commendations Kementerian Luarnegeri Jepang (2014); 
  • Fukuoka Prize 2014 Jepang (2014); 
  • Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas (2015); 
  • Penghargaan Achmad Bakrie (2015); 
  • LIPI Sarwono Award (2017); 
  • Bintang Pemerintah Jepang ‘The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star’ diserahkan Kaisar Akihito dan Perdana Menteri Shinzo Abe di Imperial Palace, Tokyo, Jepang (2017). 
  • The 500 Most Influential Muslim Leaders (2009) dalam bidang Scholarly (kesarjanaan/keilmuan), 
  • Prince Waleed bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC 
  • The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman, Yordania di bawah pimpinan Prof John Esposito dan Prof Ibrahim Kalin.

Selamat jalan guru...

Selamat Jalan Prof. Azyumardi Azra.

Read More

Thursday, September 01, 2022


Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Hermansyah bahas Qanun Meukuta Alam di Malaysia. Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Tanjong Malim Perak, Malaysia mengadakan Pameran dan Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu (PPAMM), Selasa-Kamis  9-11 Agustus 2022.

Acara dua tahunan itu diresmikan dan dibuka Menteri Pelancongan (Pariwisata), Seni dan Budaya Malaysia, YB Datuk Seri Dr Santhara. Hadir saat pembukaan acara tersebut, Ketua Pengarah Perpustakaan Negara Malaysia (PNM), YBrs Puan Salasiah binti Abdul Wahab. Kemudian Rektor UPSI, YBhg Dato’ Prof Dr Md Amin bin Md Taff sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan tersebut.

Makan malam bersama dengan Rektor UPSI (Universitas Pendidikan Sultan Idris) dan pengurus dan para narasumber.

Seminar internasional ini menghadirkan 23 pakar manuskrip Melayu dari dalam dan luar negeri yang dibagi menjadi 8 sesi. Pembicara dalam negeri hadir dari berbagai instansi, baik dari universitas ataupun peneliti lepas. Sedangkan pembicara dari luar negara wilayah Malaysia berasal dari Amerika Serikat, Brunai Darussalam, dan tiga dari Aceh, Indonesia.

Peneliti manuskrip yang juga Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Hermansyah, diundang dalam seminar tersebut untuk membedah manuskrip Qanun Meukuta Alam (Undang-undang Aceh), sesuai dengan tema seminar tahun 2022 “Manuskrip Perundangan Melayu: Korpus Warisan Tempatan dan Dunia”.

Menurut Hermansyah, ditinjau dari warisan manuskrip Aceh, maka terdapat tiga qanun atau Undang-undang Aceh yang diperoleh saat ini. Naskah Undang-undang Aceh, naskah Ma Baina as-Salathin atau dikenal Adat Aceh, dan Tadhkirat at-Tabaqat Tgk Di Mulek yang sering disebut Qanun Meukuta Alam.

“Sedangkan Qanun Syara’ al-Asyi merupakan sub-bagian dari Qanun Meukuta Alam,” ungkap Hermansyah kepada media, Jumat (12/8/2022).

Semua naskah qanun di Kesultanan Aceh tersebut, kata Hermansyah, saling terkait dan memiliki jalur silsilah yang hampir sama periodenya, yaitu pada periode Sultan Syarif Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726).

Meski penyebutan dalam naskah merujuk kepada Qanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Hermasyah menyampaikan, seminar ini dikhususkan untuk mengkaji undang-undang atau qanun yang pernah berlaku dan berjaya pada masa kerajaan-kerajaan Melayu tempo dulu yang dapat diaktualisasikan dan diaplikasikan pada zaman sekarang ini.


Selain sesi Qanun Meukuta Alam asal Kesultanan Aceh Darussalam, juga diseminarkan Hukum Qanun Melaka, Hukum Qanun Pahang, Undang-undang Kedah, Hukum Qanun Brunei Darussalam, Undang-undang Laut, Sejarah Perundang-undangan, dan Undang-undang dari aspek bahasa dan disiplin ilmu lainnya.

Seminar internasional yang diadakan oleh PNM kali ini mengambil tempat di UPSI Tanjong Malim, Perak.

Kata “Malim” yang dibaca malem memiliki pengertian yang sama di Aceh yaitu orang yang berilmu atau alim. Alkisah terdapat tanjung (unjung) sungai di kawasan tersebut yang didiami oleh para penuntut ilmu.

Oleh karena itu disebut Tanjong Malem yang kini oleh Sultan Perak diganti namanya menjadi Tanjung Muallim, atau dikenal tanah Muallim. (*)


Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh Paparkan Manuskrip Qanun Meukuta Alam di Malaysia

Read More


Kuala Lumpur: Acara akbar dua tahunan dalam bentuk Pameran dan Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu (PPAMM) yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Tanjong Malim Perak pada tanggal 9-11 Agustus 2022.


Seminar tersebut diresmikan dan dibuka langsung oleh YB Datuk Seri Dr. Santhara, sebagai Menteri Pelancongan (Pariwisata), Seni dan Budaya. Pada saat yang sama peresmian tersebut dihadiri juga YBrs. Puan Salasiah binti Abdul Wahab sebagai Ketua Pengarah Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) dan YBhg. Dato’ Prof. Dr. Md. Amin bin Md. Taff, Rektor UPSI sebagai tuan rumah penyelenggara kegiatan tersebut.



Seminar Internasional ini menghadirkan sebanyak 23 pakar manuskrip Melayu dari dalam dan luar negeri yang dibagi menjadi 8 sesi. Pembicara dalam negeri hadir dari berbagai instansi, baik dari universitas ataupun peneliti lepas. Sedangkan pembicara dari luar negara wilayah Malaysia berasal dari Amerika Serikat, Brunai Darussalam, dan tiga orang dari Aceh, Indonesia.


Salah seorang peneliti manuskrip dan dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Hermansyah, diundang pada seminar tersebut untuk membedah manuskrip Qanun Meukuta Alam (Undang-undang Aceh). Sesuai dengan tema seminar tahun 2022 “Manuskrip Perundangan Melayu: Korpus Warisan Tempatan dan Dunia”. 


Menurut Hermansyah, ditinjau dari warisan manuskrip Aceh, maka terdapat tiga qanun atau Undang-undang Aceh yang diperoleh saat ini. Naskah Undang-undang Aceh, naskah Ma Baina as-Salathin atau dikenal Adat Aceh, dan Tadhkirat at-Tabaqat Tgk Di Mulek yang sering disebut Qanun Meukuta Alam. Sedangkan Qanun Syara’ al-Asyi merupakan sub-bagian dari Qanun Meukuta Alam. 



Semua naskah qanun di Kesultanan Aceh tersebut saling terkait dan memiliki jalur silsilah yang hampir sama periodenya, yaitu pada periode Sultan Syarif Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726). Walaupun penyebutan dalam naskah merujuk kepada Qanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda (1607-1636).



Seminar ini dikhususkan untuk mengkaji undang-undang ataupun qanun yang pernah berlaku dan berjaya pada masa kerajaan-kerajaan Melayu tempo dulu yang dapat diaktualisasikan dan diaplikasikan pada zaman sekarang ini. Selain sesi Qanun Meukuta Alam asal Kesultanan Aceh Darussalam, juga diseminarkan Hukum Qanun Melaka, Hukum Qanun Pahang, Undang-undang Kedah, Hukum Qanun Brunei Darussalam, Undang-undang Laut, Sejarah Perundang-undangan, dan Undang-undang dari aspek bahasa dan disiplin ilmu lainnya. 


Seminar Internasional yang diadakan oleh PNM kali ini mengambil tempat di UPSI Tanjong Malim, Perak. Kata malim yang dibaca malem memiliki pengertian yang sama di Aceh yaitu orang yang berilmu atau alim. Alkisah terdapat tanjung (unjung) sungai di kawasan tersebut yang didiami oleh para penuntut ilmu. Oleh karena itu disebut Tanjong Malim yang kini secara diganti namanya oleh Sultan Perak menjadi Tanjung Muallim, atau dikenal tanah Muallim. 


Sumber ini sudah ditayangkan di Serambi Online


Peneliti Manuskrip dari Aceh Bahas Qanun Meukuta Alam di Tanah Muallim Malaysia

Read More

Monday, August 22, 2022


Zawiyah Tanoh Abee memang dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mengoleksi ratusan manuskrip atau naskah kuno. Perjalanannya sejak era Kesultanan Aceh, berlanjut pada masa perang Aceh melawan Belanda, yang sebagian manuskripnya harus disembunyikan di gunung, rumah-rumah warga, dan dibawa bersamanya Abu Tanoh Abee saat berperang, akibat wilayah Tanoh Abee sudah dikuasai oleh Belanda dan dibumi hanguskan. 


Paska Indonesia merdeka, manuskrip kuno tersebut dijaga oleh keturunan beliau hingga pada masa Abu Dahlan Tanoh Abee, ulama kelahiran 1943 cicit dari Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee. Beberapa naskah dibawa kembali ke zawiyah ini, sebagian lainnya terlanjur berada di luar Aceh, alias di luar negeri. Koleksi manuskrip zawiyah Tanoh Abee terbuka untuk umum setelah Gempa dan Tsunami 2004.


Salah satu hal yang menarik adalah naskah kuno yang menyebutkan tentang kelahiran anak laki-laki Teungku Tanoh Abee. Naskah ini dikoleksi dan disimpan di British Library (Perpustakaan Inggris) di London, Inggris.  


Naskah koleksi Nomor. Or. 16768 yang dapat diakses dan sudah digitalkan terbongkar sebagaimana foto di bawah ini:




"Adapun kemudian daripada hijrah Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam Seribu Dua Ratus Empat Puluh Delapan Tahun Pada Tahun Ba, pada hari Kamis pada waktu Dhuha, pada bulan Jumadil Akhir pada ketika itu maka jadi seorang kanak-kanak, laki-laki, anak Teu[ng]ku Abu Tanoh Abee, pada negeri Bithak. Allahumma Thawwil ‘umrahu, wa-katstsir rizqahu, wa shahhih badanahu, wa-thabbit qalbahu ‘ala tha’atika ya Arhama ar-Rahimin. Amin."

Jika dikonversi hari Kamis, Jumadil Akhir 1248 H, diambil tgl 1, maka bertepatan dengan Kamis, 25 Oktober 1832.


Kelahiran Anak Teungku Tanoh Abee

Read More

Thursday, June 16, 2022


Di era orde baru dan awal reformasi, perhatian terhadap pelestarian naskah belum memadai dikarenakan beberapa faktor, antaranya situasi politik Aceh dengan konflik vertikal berkepanjangan, ternyata banyak mempengaruhi ke sektor lain, termasuk pendidikan, budaya dan penelitian keilmuan. Faktor lainnya yang mempengaruhi lemahnya regulasi pemerintah terhadap pelestarian warisan tulis adalah minimnya sumber daya manusia (SDM) di Aceh. Akibatnya, pengetahuan seputar ilmu filologi dan pernaskahan (manuskrip) tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk pelajar dan para pewaris manuskrip itu sendiri.



Sebenarnya, program kegiatan pemeliharaan (preservation) sudah dikenal sejak dahulu, dan pasca gempa-Tsunami 2004 terus tumbuh berkembang dalam dunia pernaskahan Aceh, preservasi masa mendatang dapat meliputi; Inventarisasi naskah, Katalogisasi, Restorasi naskah, Digitalisasi naskah, Database (pangkalan data), dan Tipologi kajian (analisis) teks, naskah serta kajian kontekstual.


Baca juga: Nasib Manuskrip Aceh di Padang
 

Sebahagiannya sudah dilakukan secara berkelanjutan, walaupun belum ada prioritas kebijakan terhadap program-program tersebut, sehingga belum ada sinerginitas antara satu lembaga dengan lainnya. Secara periodik, perhatian terhadap preservasi naskah di masyarakat dapat dipilah menjadi dua bagian sesuai dengan situasi dan kondisi Aceh, yaitu pra dan pasca bencana alam dan bencana kemanusiaan. 

Hal itu untuk memudahkan melihat regulasi pemerintah dan perhatian masyarakat terhadap kearifan dan pengetahuan untuk merevitalisasi pengetahuan budaya dan kultur masa lalu dengan konteks sekarang dengan jumlah ribuan naskah di Aceh.




Akumulasi angka tersebut tentu akan mencapai jumlahnya jika dirunut sebelum tragedi gempa dan tsunami Aceh-Nias pada 26 Desember 2004 atau sesudahnya. Hingga sebelum tragedi bencana dunia tersebut, Aceh memiliki beberapa lembaga yang mengoleksi naskah-naskah Jawi (Bahasa Aceh dan Melayu) dan Arab, seperti di Museum Negeri Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH) berlokasi di Banda Aceh. Zawiyah Tanoh Abee di Seulimuem, Aceh Besar, dan Dayah Awee Geutah, Bireuen. 


Baca juga: Hikayat Aceh Masuk Nominasi Memory of the World

Perjalanan Awal Program Preservasi Naskah di Aceh

Read More

Tuesday, June 07, 2022


Pagi hari itu cukup cerah, bahkan terik panas matahari lebih  awal muncul dari biasanya. Sejak bulan Ramadhan hingga pertengahan Syawal belum pernah hujan, mendungpun tak kunjung menunjukkan tanda-tandanya. Namun kegiatan surau sudah dipenuhi para pengunjung yang ingin berziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan, seorang ulama tersohor penyebar Tarekat Syattariyah di Pariaman, Padang.

Salah satu surau yang dikunjungi oleh penziarah adalah Surau Pondok Ketek, Ulakan Pariaman. Di surau ini, tersimpan ratusan teks naskah dalam beragam bidang ilmu, terutama bidang keagamaan dan tata bahasa. Selain itu, pemilik dan perawat manuskrip di surau ini adalah Tuanku Khalifah XV, Buya Heri Firmansyah.

Hermansyah bersama Pramono menelusuri naskah-naskah Aceh di Padang, Sumbar


Perjalanan dari Kota Padang ke surau ini membutuhkan waktu 1 jam lebih. Sesampainya kami di sana sudah banyak jamaah dari luar kota, mereka biasanya berziarah ke makam Syekh Ulakan yang berjarak beberapa kilometer dari surau tersebut. Kegiatan di surau ini selain pengajian, ceramah dan mendengar kisah perjuangan ulama-ulama Ulakan.

Tim kami harus menunggu lebih dari dua jam di rumah Buya tersebut, mengingat jamaah dari luar kota lebih awal sampai di tempat. Tim peneliti yang terdiri  dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dengan Universitas Andalas dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry terkait dengan moderasi beragama dari sumber-sumber manuskrip di Sumatera dengan lokasi penelitian Padang dan Aceh. Penelitian kolaborasi yang melibatkan eksternal lembaga adalah salah satu program utama penelitian BRIN dengan universitas-universitas di Indonesia.

Setelah sekian lama menunggu dan berdiskusi Dr. Pramono, dosen Universitas Andalas dan pengurus Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) Pusat dan Khairullah dari Manassa Komisariat Padang, yang juga tergabung dalam Komunitas Suluah di Padang. Akhirnya pimpinan surau hadir setelah memimpin aktivitas pengajiannya.

Surau Pondok Ketek di Pariaman menyimpan beberapa naskah kuno yang merupakan warisan leluhur sebelumnya. Terdapat beberapa tema naskah dan termasuk Alquran berjuz. Diskusi kami sangat panjang, mulai dari sejak awal kepemimpinannya hingga bagaimana proses naskah-naskah itu masih bertahan di sana.

Naskah-naskah di surau ini sudah diindeks dan diinventarisasi koleksinya, walaupun belum dilakukan restorasi dan termasuk mendigitalkan kandungan isi naskah. Dua program akhir tampaknya harus segera dilakukan melihat kondisi naskah koleksi tersebut mulai rusak akibat kondisi alam, lembap dan dimakan rayap.

Pada akhirnya kami tertuju pada satu naskah yang cukup tebal, masih utuh dengan sampulnya. Di dalamnya terkandung beberapa teks, termasuk tentang naskah Syair Ruba’i Hamzah Fansuri yang dikarang oleh Syamsuddin bin Abdullah As-Sumatra’i. Namun tidak diketahui masa penulisan atau penyalinan teks ini mengingat tidak ada informasi di kolofon (bagian akhir) teks.

Bersama Buya Surau Pondok Ketek Ulakan Pariaman Padang 


Sebagaimana diketahui, Syekh Syamsuddin bin Abdullah as-Sumatra’i adalah murid dan sekaligus teman Hamzah Fansuri. Ulama dan Syaikhul Islam tersebut memiliki peran penting pada masa pemerintahan Iskandar Muda. Ia pun syahid pada tahun 1630 saat penyerangan Portugis di Malaka.

Ketenaran dan kedalaman ilmu tasawuf, Syekh Syamsuddin bin Abdullah As-Sumatra’i diakui oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniry dalam kitabnya Bustanus Salatin, meskipun keduanya tidak berjumpa karena periode yang berbeda.

Ternyata, naskah yang tersimpan di surau tersebut adalah salah satu bagian dari sekian banyak manuskrip-manuskrip ulama Aceh yang ada di tanah Minang. Tentu saja, Negeri Minangkabau, Padang dengan Negeri Serambi Mekkah, Aceh memiliki hubungan kuat secara keilmuan.

Nasib naskah-naskah kuno di Padang juga masih memprihatinkan, masih banyak kondisinya rusak, lembap dan dimakan rayap. Tentu juga naskah-naskah Aceh, baik karya ataupun pengarangnya. Naskah-naskah di sini belum dikonservasi dan restorasi. Semoga ke depan Pemerintah Aceh mau mengidentifikasi bahkan membackup naskah-naskah Aceh di luar Provinsi Aceh.

Telah dipublikasi: www.marjinal.id

Nasib Naskah Kuno Aceh di Padang, Sumatera Barat

Read More

Monday, March 21, 2022


Syekh Abdur Ra'uf (Abdurrauf) as-Singkili merupakan ulama terkenal dan dihormati di Aceh. Inisialnya Abdurrauf dinobatkan pada perguruan tinggi di Banda Aceh yang dikenal Universitas Syiah Kuala (Unsyiah, sekarang USK). Disebut Syiah Kuala karena ia dimakamkan di Kuala Aceh. 

Namun belakangan, ada dua makam Syekh Abdurrauf di Aceh, pertama makam syekh Abdurrauf di Kuala Banda Aceh, terletak di pinggir Kuala pantai Aceh menghadap ke Selat Melaka.

Dan kedua, makam syekh Abdurrauf di singkel yang berada di bibir Sungai Singkil, sekitar 5 KM atau 8 menit dari ibu kota Kabupaten Aceh Singkil. 

Kedua makam tersebut ramai dikunjungi oleh penziarah dari luar Aceh, di mana transportasinya  menuju ke makam Syekh Abdurrauf dapat melalui perjalanan laut, darat, dan udara.


Syekh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri



Awal nama Abdurrauf masyhur di tengah Kesultanan Aceh dan masyarakat setelah ulama asal Fansur (sebagian menyebut sekarang masuk bagian Aceh Singkel) ini setelah menebar tarekat Syattariyah di Aceh sejak awal kepulangannya sekitar tahun 1660/61 M. Menetap dan membuka zawiyah bernama Zawiyah Menara di Kuala Aceh.

Menjadi tokoh utama tarekat Syattariyah dan diterima oleh masyarakat luas, pihak kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam (1640-1675) memberikan mandat untuk menulis kitab fikih tentang hukum yang dapat digunakan di Aceh secara umum. Walau awalnya ia menolak dengan halus, namun akhirnya ia menerima dan menulis kitab fenomenal yang dinamai "Mir'atuth Thullab".

Banyak kitab yang dikarangnya dengan jelas menulis namanya, Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri. Sebagian manuskrip karangannya yang disalin dikemudian hari menulis dengan gelar Syekh Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Fansuri al-Jawi. 




Namun, konsentrasi pengembangan tarekat Syattariyah tetap dia jalani, hal itu dapat dilihat jaringan muridnya yang sangat luas di Nusantara dan alam Melayu. Melalui silsilah tarekat Syattariyah inilah dapat dijumpai kiprah Syekh Abdurrauf di Haramain, jaringan guru-murid sangat luas dan dinamis. Tokoh-tokoh utama penyebar tarekat Syattariyah di dalam dan luar Aceh lebih banyak melalui jalurnya.

Para murid-muridnya banyak menulis dalam kitab mereka bahwa dalam penyelesaian penulisan dan penyalinan kitab diselesaikan (ditammatkan) pada makam syaikhina wa maulana syekh Abdurrauf bin Ali di Zawiyah Meunara.

Lantas, siapakah Syekh Abdurrauf as-Singkili di Singkel..?



(bersambung...)

Dua Makam Syekh Abdur Rauf di Aceh, Kenapa?

Read More

Sunday, March 20, 2022

 


Perang Aceh melawan kolonial Belanda masih menyisakan perlawanan-perlawanan kecil di beberapa wilayah pada tahun 1927. Namun sebagian lainnya telah dikuasai penuh dengan bentuk "Korte Verklaring" atau juga "Domein Verklaring" antara Belanda dengan pemimpin lokal Aceh dikenal uleebalang atau hulubalang, dan sekaligus para pemilik tanah. 

Sebenarnya sebagian besar para hulubalang Aceh tidak pro-Belanda, apalagi anti terhadap perjuangan pejuang-pejuang Aceh. Akan tetapi, lebih mencari posisi aman dengan sikap aturan ganda. Satu sisi mereka menyelamatkan harta kekayaan dan tetap bisa eksis berbisnis, di sisi lain mereka harus membayar pajak dan selalu dalam bayangan teror, dari kedua belah pihak.  

Sejak ditemukannya minyak bumi di Idi Rayeuk, di kawasan "Julok Rayeuk" (Djoeloe Rajeu) telah membuat sebagian besar kolonial Belanda beralih ke Idi, Aceh Timur, menanggalkan wilayah-wilayah pesisir Aceh Besar dan Pidie. Apalagi, kawasan Aceh Timur lebih dekat ke Pangkalan Susu, Pulau Sembilan dan Pulau Kampai yang relatif aman untuk berlabuh kapal-kapal Belanda daripada pelabuhan-pelabuhan di Lhokseumawe, Langsa dan atau Aceh Timur.   







J.H.L van Wijk salah seoarng pengusaha dari Belanda menandatangani kontrak lima tahun dengan Batavian Petroleum Company (BPC) pada tahun 1927 dan memulai proyek pengeboran minyak bumi di "Djoeloe Rajeu" (Julok Rayeuk ?) Idi Aceh Timur. 

Melihat keuntungan besar, J.H.L van Wijk pun tak segan-segan mengucurkan dan membangun infrastuktur modern sekaligus membuat sebuah pemukiman di pedalaman Aceh Timur. 



 Mesin-mesin besar ditempatkan di pedalaman dengan pengawalan ketat dari serdadu Marsose dan serdadu Belanda. Pasukan Marsose yang beranggota penduduk pribumi yang direkrut dan dibayar oleh Belanda diletakkan pada ring paling luar, untuk menangkis serbuan musuh. Sedangkan pasukan Belanda menjada di kawasan utama. 



 

Hutan-hutan lebat nan subur oleh fauna dibabat habis untuk bisa dibangun pabrik sekaligus barak-barak tentara Belanda. Mereka memburu para pejuang di dalam hutan sambil mengeruk hasil alamnya. 



Para pekerja lokal dipaksa bekerja rodi tanpa gaji apalagi pesangon (bonus). Para pejuang Aceh yang ditangkap biasanya tangan dan atau kaki mereka dirantai, guna tidak dapat melawan ataupun melarikan diri. Para pekerja dipaksa untuk tidka mampu memberikan segala perlawanan.

Minyak-minyak bumi ini diolah dan ditempatkan di Aloer-I-Merah (Alue Ie Mirah) sebelum diolah dan digiling di Medan. 


 

Gambar-gambar ini membuktikan Kompani Belanda mengeruk minyak bumi atau dikenal "emas hitam" di pedalaman Idi, dan menyalurkan melalui pipa-pipa ke Alue Ie Mirah (Aloer-I-Merah), dan diteruskan ke Medan untuk ekspor ke Eropa. Untuk melancarkan bisnisnya direkrut pekerja luar dan pekerja lokal. 




Penjajahan bukan hanya sebatas penaklukan suatu wilayah, tetapi juga mengeruk hasil alam dan menindas penduduk di negeri tersebut.


Sumber foto: KITLV

Emas Hitam Idi Aceh Timur dan Tenggelamnya Kapal van Wijk.

Read More

Tuesday, October 26, 2021


SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Gubernur Aceh yang diwakili Asisten Sekda Bidang Administrasi Umum, Iskandar AP, menyampaikan ucapan terima kasih atas penominasian Hikayat Aceh sebagai Memory of the World (MoW) dan penguatan Pusat Studi Arsip Tsunami yang telah diregistrasi dalam Register Internasional MoW UNESCO.


Ungkapan tersebut disampaikan Iskandar, saat menerima kunjungan Audiensi Tim Komite Nasional MoW, di Aula Serba Guna Kantor Gubernur Aceh, Jumat (22/10/2021).


"Kami atas nama Pemerintah Aceh sangat berterima kasih. Ini menjadi sebuah kehormatan bagi kami atas penominasian Hikayat Aceh dan Penguatan Pusat Studi Arsip Tsunami yang telah diregistrasi dalam Register internasional MoW UNESCO. Kami akan mendukungan penuh atas pendaftaran Nominasi Hikayat Aceh tersebut," kata Iskandar dalam sambutannya.


Ia menjelaskan, melalui "hikayat" Aceh telah berkontribusi besar dalam peradaban Islam di Nusantara.


Sehingga memperkaya perkembangan dunia intelektual, melalui manuskrip-manuskrip yang lahir dari buah pikir dan goresan pena para ulama di masa lampau.


"Hikayat adalah salah satu dari sekian banyak karya tulis lainnya yang diwariskan para cerdikiawan Aceh tempo dulu. Hal inilah yang menjadikan Aceh hingga kini masih menjadi lumbung naskah kuno di Indonesia," kata Iskandar.


Untuk mendukung pelestarian naskah kuno “Hikayat Aceh” tersebut, kata Iskandar, Pemerintah Aceh sudah melakukan pertemuan dan diskusi pra registrasi Hikayat Aceh sebagai tindak lanjut MoW 2019 pada Oktober 2018 lalu.


Pertemuan itu dilakukan untuk mengupayakan penyusunan naskah nominasi, dikarenakan pengusulan MoW harus disertai kajian akademik.




Selain itu, Pemerintah Aceh juga akan mencetak dan memperbanyak buku “Hikayat Aceh” untuk dijadikan koleksi literasi setiap perpustakaan di Aceh dan nasional.


Selanjutnya, Pemerintah Aceh juga akan melakukan berbagai promosi dan diseminasi naskah Hikayat Aceh serta berbagai bentuk dukungan lainnya yang akan lebih mendekatkan masyarakat Aceh terhadap literasi kuno tersebut.


Iskandar menuturkan, langkah-langkah yang diambil tersebut merupakan cara Pemerintah Aceh untuk menyelamatkan dan memulihkan “Hikayat Aceh”, maupun naskah-naskah kuno lainnya sebagai arsip warisan budaya masa lalu.


"Aceh, sudah seharusnya berkaca pada kondisi alamnya yang rawan tehadap bencana, jadi sudah sepatutnya kita berkonsentrasi pada penyelamatan dan perlindungan arsip-arsip lainnya dari dampak bencana, seperti arsip vital," pungkas Iskandar.



Oleh karena itu, untuk mendukung penyelamatan arsip vital yang merupakan bukti sejarah tetap terjaga dan terawat keberadaannya,  Pemerintah Aceh sesuai dengan permohonan Kepala ANRI telah menghibahkan tanah pertapakan bangunan kantor Balai Arsip Statis dan Tsunami ANRI yang berlokasi di Komplek Perkantoran Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh.


"Kami telah menyurati DPRA guna mendapat rekomendasi, sehingga dapat ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Aceh tentang Penetapan Hibah Barang Milik Aceh Kepada ANRI. Mari kita doakan semoga cepat selesai dan tanah tersebut dapat segera dihibahkan," katanya.


Sementara itu, Ketua Komite Nasional MoW yang juga Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Imam Gunarto menjelaskan, program Memory of the World diluncurkan oleh UNESCO pada tahun 1992, sebagai respon terhadap ancaman kepunahan warisan dokumenter berupa arsip, pustaka maupun artefak dari kerusakan, baik itu yang mengalami kerusakan ataupun kemusnahan yang disebabkan oleh faktor alamiah dan faktor manusia.




Imam menerangkan, keterlibatan Indonesia dalam pengajuan warisan dokumenter sebagai MoW, sudah diawali sejak tahun 2003.


Indonesia juga memiliki andil sebagai co-nominator dalam pengajuan arsip seperti, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), manuskrip La Galigo (2011), Babad Diponegoro dan kitab Negara Kertagama (2013), arsip KAA (2015), Arsip Restorasi Borobudur, Naskah Cerita Panji dan Arsip Tsunami Samudera Hindia (2017). 


Lebih lanjut, jelas Imam, Indonesia melalui Komite Nasional MoW, akan mengajukan 3 warisan dokumenter untuk dicantumkan pada register internasional MoW UNESCO yaitu Arsip Sukarno: "To Build the World A New", Arsip KTT GNB I dan Hikayat Aceh.


"Saya memohon kepada seluruh pimpinan provinsi dan masyarakat Aceh dapat bersama-sama menggerakan upaya ini agar sukses diakui oleh UNESCO," ujarnya.


Pertemuan yang menerapkan protokol kesehat ketat itu turut dihadiri oleh Kepala ANRI, Kepala Perpustakaan Nasional RI, Plt Kepala BKN, dan para perwakilan Forkopimda Aceh.


Sumber: Serambi Indonesia


Hikayat Aceh Masuk Nominasi Memory of the World

Read More

Naskah Hikayat Aceh merupakan koleksi langka yang ditulis pada abad ke-17. Karya sastra kuno yang diajukan menjadi nominasi Memory of the World (MoW) ini berisikan kisah perjalanan Sultan Iskandar Muda sebagai sultan paling kuat dan besar dalam Kesultanan Aceh.

Peneliti filologi Melayu-Aceh Hermansyah, mengatakan, naskah Hikayat Aceh merupakan koleksi langka karena tidak banyak salinan. Saat ini, hanya terdapat tiga naskah Hikayat Aceh, dua naskah di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda dan satu naskah di Perpusnas

Dijelaskan, Hikayat Aceh menceritakan kisah para Sultan dan Kesultanan Aceh sebelum dan masa Sultan Iskandar Muda pada 1590-1636 M. Naskah kuno ini pun memenuhi nilai-nilai historis, baik melalui sumber primer sejarah, peristiwa, dan ketokohan.


Acara ini merupakan rangkaian kegiatan MOWEEK yang diselenggarakan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). 

Peneliti bidang agama dan tradisi keagamaan Melayu-Aceh Kementerian Agama Fakriati, mengatakan, naskah Hikayat Aceh ini banyak menceritakan masa Kejayaan Sultan Iskandar Muda. Namun di sisi lain, terdapat tradisi dan toleransi yang dibangun oleh tokoh utamanya, Sultan Iskandar Muda.


Dalam naskah Hikayat Aceh, Fakriati mencoba merangkai isi naskah bahwa di dalamnya terdapat toleransi yang dibangun dari beberapa unsur. Di antaranya, sultan/pejabat negara, ulama, rakyat, adat dan agama.


“Ada keterikatan antarunsur ini secara utuh. Saling mendukung sehingga membentuk nilai-nilai toleransi,” ujarnya dalam webinar Hikayat Aceh: Road to Memory of the World, yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI secara daring, Rabu (13/10/2021).


Dia menambahkan, Hikayat Aceh menanamkan pola hidup dan budaya multikultural dan interaksi antara Sultan dengan rakyat, serta antara pendatang dengan pribumi.


“Naskah Hikayat Aceh ini menggunakan aksara Jawi berbahasa Melayu. Namun, naskah yang ada ini, halaman awal dan akhir belum ditemukan,” ungkapnya.




“Sehingga perlu adanya reproduksi teks Hikayat Aceh dalam bentuk modern yang menjadi media edukasi dan sosialisasi naskah,” tuturnya.


Sementara itu, pakar pendidikan dan sejarah Wardiman Djojonegoro, menceritakan, pada 2017, Perpusnas berencana mengusulkan Hikayat Aceh untuk menjadi memori dunia tahun 2018. Namun, pada tahun tersebut pendaftaran MoW oleh UNESCO ditunda. Meski begitu, proses penyelesaian naskah nominasi tetap dilanjutkan.


“Pada tahun ini pendaftaran kembali dibuka dan Hikayat Aceh akan diajukan menjadi nominasi MoW. Karena selain langka, naskah ini agak berbeda dari naskah melayu lainnya. Tidak menceritakan tentang raja tetapi bercerita tentang keagungan raja,” ungkapnya.


Menurutnya, pengajuan naskah Hikayat Aceh untuk MoW telah memenuhi kriteria MoW UNESCO dan mempunyai potensi untuk diterima sebagai warisan dunia. “Semoga naskah nominasi dapat disusun bersama dan segera diselesaikan untuk memenuhi kriteria dari UNESCO,” harapnya.


Dukungan terhadap pengajuan Naskah Hikayat Aceh sebagai nominasi MOW juga ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh Edi Yandra mengatakan, pihaknya telah melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) Praregistrasi Hikayat Aceh sebagai MoW 2019, pada Oktober 2018.


“FGD ini diperlukan untuk memperkaya usulan penyusunan naskah nominasi, karena pengusulan MoW harus disertai kajian akademik,” terangnya.


Dia berharap, Hikayat Aceh ditetapkan menjadi Memori Dunia. Ke depannya, jika sudah ditetapkan, Pemerintah Aceh akan mencetak dan memperbanyak buku Hikayat Aceh, menjadikannya sebagai koleksi literasi di setiap perpustakaan di seluruh Aceh, bahkan seluruh Indonesia. Pihaknya berjanji akan melestarikan dan membudayakan seni Hikayat Aceh dalam kegiatan tingkat daerah hingga internasional.


“Kami harap naskah Hikayat Aceh ini menjadi bacaan untuk semua kalangan, terutama menambah pengetahuan bagi generasi muda,” ungkapnya.


Selain itu, diselenggarakan pula penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Perpisnas dan ANRI. Bersamaan, diluncurkan web portal Memori Kepresidenan RI yang merupakan integrasi situs web kepustakaan presiden-presiden milik Perpusnas dengan situs web diorama arsip kepresidenan milik ANRI.


Pada September lalu, ANRI terpilih menjadi Komite Nasional Memory of the World Indonesia. Sebelumnya, Komite Nasional MoW diemban oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando mengatakan, dengan dipilihnya Kepala ANRI sebagai Ketua Komite Nasional MoW menjadi sebuah langkah besar yang dilakukan untuk memulai kerja sama.


“Ini sebuah misi yang akan kita emban ke depan, sehingga misi peran kedua institusi makin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” pungkasnya. 


sumber: infoaceh.net

Hikayat Aceh, Naskah Kuno Berisi Kisah Sultan Iskandar Muda Diusul Jadi Memori Dunia

Read More

Sunday, October 03, 2021


Pada masa kerajaan Aceh air minum yang digunakan dari sungai Krueng Aceh dan Krueng Daroy. Akan tetapi pada abad ke-20 Masehi, sungai-sungai mulai kotor dan tidak higenis lagi, apalagi beberapa kali mengalami musim kemarau. Untuk mengatasi tersebut maka dibangunlah menara air 
(Watertoren) mengatasi air bersih (minum) di Banda Aceh pada tahun 1904, sebagaimana tampak dalam foto di bawah ini:


Melalui website Leiden dengan nomor KITLV 1402872 diketahui berfungsi untuk distribusi air ke sekitar kerator Aceh yang disebut "Koetaradja", yaitu kawasan keraton Aceh, asrama tentara Indonesia sekarang, taman sari hingga perbatasan mesjid Raya Baiturrahman. 

Distribusi air bersih tersebut sama seperti PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) sekarang ini, yang mengaliri air bersih ke rumah-rumah yang dibutuhkan. 

Menara air (Watertoren) peninggalan Belanda ini dibangun pada tahun 1904. Terletak di area keraton, di Jl. Tgk. Abu Lam U. Bersebelahan dengan Gedung DPRK Banda Aceh dan berseberangan dengan Taman Bustanussalatin (atau Taman Sari). 





Namun, sejauh mana fungsi digunakan, penyalurannya dan sejak periode penggunaannya belum banyak diketahuin informasinya. 

Akan tetapi, saat ini bangunan menara air itu sudah diajukan untuk ditetapkan sebagai benda cagar budaya Kota Banda Aceh.


Sejarah Menara Air di Banda Aceh

Read More

Tuesday, August 17, 2021



Manuskrip langka ini  tentang seruan memeriahkan kemerdekaan Indonesia pada tgl 17 Agustus 1951 yang diterbitkan dalam teks aksara Jawi oleh Kementerian Penerangan. Tepat 6 tahun setelah Indonesia merdeka. Kini naskah ini dikoleksi di Banda Aceh.

Berikut ini teks halaman pertama dari lembaran seruan perayaan Kemerdekaan Indonesia:

Seruan Kementerian Penerangan 

menyongsong hari 17 Agustus 1951 


Rakyat Indonesia!
Sebentar hari lagi kita bersama-sama merayakan hari 17 Agustus.

Kita rayakan hari 17 Agustus karena hari itu adalah hari yang memberikan kesempatan kepada Bangsa Indonesia untuk merebut kembali hak-haknya yang sekian abad lamanya telah tenggelam di dasar Samudra penjajahan 

Hari itu adalah harinya bangsa Indonesia mulai berhak lagi untuk membentuk pemerintahan sendiri, berhak mengatur bentuk masyarakat sendiri, berhak menentukan sikap sendiri terhadap segala soal. 

Malahan sebaliknya bangsa Indonesia tidak hanya berhak untuk berbuat itu semua, melainkan berkewajiban menentukan pemerintahan sendiri, berkewajiban mengatur bentuk masyarakat sendiri, berkewajiban menentukan sikap sendiri terhadap segala soal 

17 Agustus adalah hari bangsa Indonesia membela keselamatan diri dan miliknya 

Ini kali kita merayakan hari yang bersejarah itu untuk 6 kalinya



6 tahun lamanya kita telah berevolusi 
6 tahun revolusi yang ...
Tidak selalu lurus dan ...
Ada kalanya garis perjuangan...
Pasang naiknya dan ...
Kita.mengucap.... 
Kepulauan Indonesia....
Pengorbanan sudah ....
6 tahun... 
Itu ada suatu...


 

Manuskrip Kemerdekaan Indonesia

Read More

Tuesday, July 20, 2021



Pelayanan haji di masa Hindia Belanda di Nusantara mendapat sorotan tajam dari beragam pihak, termasuk pemerintahan Belanda di benua Eropa. Walaupun tidak semua tempat mendapat perlakuan yang sama, akan tetapi salah satunya apa yang terjadi di Sidoarjo menjadi perhatian beberapa delegasi. 

Kasus tersebut dapat dilihat pada tulisan Laffan "Sejarah Islam Nusantara" (2015: 198-199) menuliskan bahwa tentang sebuah surat yang dikirim kepada Snouck dari Singapura menyebutkan Sidoarjo dalam kaitannya dengan ketegangan yang meningkat di Riau. Setelah mengunjungi Tanjung Pinang pada Juni 1904, Haji ‘Abd al-Jabbar dari Sambas menyatakan “sangat terkejut” oleh perilaku pemerintah di sana:

"Belanda sangat buruk memperlakukan orang dan tidak menghargai Islam .... Seorang kepala kampung bernama Haji Muhammad Tayyib dipecat dari jabatannya karena menggelar maulid di rumahnya hingga pukul 2.00 dini hari, meskipun rumahnya berada di kampung Melayu yang sangat jauh dari permukiman Belanda. Sementara itu, orang-orang Belanda bisa melakukan apa pun yang mereka suka jika berpesta, baik di rumah maupun di ruang dansa, dengan musik band atau drum dan biola, menari dan membuat kebisingan lain sembari menyulut petasan hingga larut malam, padahal mereka dekat masjid tempat orang-orang sedang shalat. Yang lebih [mengejutkan] adalah mereka memaksa menanami kuburan orang-orang Muslim sehingga makam- makamnya hilang, yang dilakukan oleh para tahanan Belanda yang memerintah negeri ini. Semua muslim di negeri ini, dan negeri-negeri tetangga, sangat tersinggung. Mereka ingin mengeluh, tapi takut menghadapi kekuasaan. Mereka pun hanya mengeluh diam-diam. Jadilah itu potensi pemberontakan melawan pemerintah. Orang-orang selalu menyalahkan para Haji, mengatakan mereka menghasut orang. Oleh karena itu, saya menulis kepada Tuan dengan harapan Paduka Yang Mulia membantu mendiskusikan perilaku dan tindakan orang-orang Belanda yang tidak patut sehingga Orang-orang Besar Batavia bisa mengeluarkan kebijakan dan memberikan bimbingan yang lebih baik, agar tidak terjadi kerusuhan dan pemberontakan seperti yang baru saja terjadi di negeri Jawa, Sidoarjo. Karena Paduka Yang Mulia paling tahu tentang orang-orang Muslim, meskipun banyak yang tidak melaksanakan semua yang diwajibkan agama mereka". 


Perlakuan Belanda melarang acara-acara keagamaan seperti maulid, ceramah, takbiran, dan lain sebagainya. Tetapi di sisi lain, Belanda membolehkan dan membebaskan kaumnya sendiri berpesta meriah, ricuh dan membuat keributan di kampung-kampung orang Muslim. 

Aturan yang ketat kepada masyarakat muslim setempat, ditambah lagi tuduhan-tuduhan tidak beralasan yang dihubungkan dengan para tokoh-tokoh yang pulang dari haji yang kadang dianggap sebagai penghasut.

Perilaku buruk tersebut telah membuat banyak orang geram dan marah, terutama kawasan-kawasan utama Islam di Nusantara, termasuk Aceh. Kerajaan Aceh yang diindependen sebelum invansi Belanda 1873 telah mengirim beberapa kali laporan ke pihak Eropa dan Turki tentang tabiat buruk tersebut, khususnya juga tentang haji. 

Para jamaah haji dari Nusantara mendapat kesulitan dan beragam aturan yang sulit dipenuhi. Untuk mengetahui sejauh mana kesulitan tersebut dapat dilihat pada catatan visa haji ke Mekkah pada era Kolonial Hindia-Belanda

Pada catatan penting (peringatan) di dalam surat itu sebagaimana tercantum beberapa poin (a s/d d) yang harus dipatuhi oleh para calon jamaah haji dar  dalam gambar di bawah ini:



 





Pelayanan Haji Di Jawa Era Kolonial

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top