Filolog Aceh Hermansyah M.Th., M.Hum menyebutkan, sebagaimana tertulis dalam dokumen resmi wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 M), nama asli pewakaf Baitul Asyi adalah Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi Al-Jawi. “Haji, Al-Asyi dan Al-Jawi adalah gelarnya. Sementara nama aslinya sendiri adalah Habib bin Buja’,” kata Hermansyah dalam webinar ‘Peran dan Kontribusi Wakaf Orang Aceh di Mekkah’ pada Selasa (27/12/2022), sebagaimana disampaikan dalam siaran pers Asyraf Aceh yang dikirim ke redaksi Serambinews.com, Kamis (29/12/2022).
Hermansyah juga menyebut, dari nama tersebut dapat disimpulkan bahwa beliau bukan seorang Sayed/Habib dari golongan asyraf (keturunan Rasulullah SAW), melainkan hanya seorang ahwal bernama Habib yang ayahnya bernama Buja’.
“Bin Buja’ pada nama beliau menunjukkan nama ayahnya. Bukan merujuk ke Bugak sebagai sebuah wilayah di Aceh. Hanya nama Al-Asyi yang merujuk kepada asal beliau, yaitu Aceh,” kata peneliti naskah-naskah kuno tersebut.
Dikatakan, dalam mazhab Syafii sebagai mazhab yang dianut Haji Habib bin Buja’, mewajibkan pewakaf mencantumkan nama asli. Karena itulah, nama Habib Bin Buja’ adalah nama nyata dari pewakaf tersebut.
Hermansyah juga menyimpulkan, Haji Habib Bin Buja’ Al-Asyi dan Sayid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah dua tokoh yang berbeda. Dia berharap ada penelitian yang lebih komprehensif tentang dua sosok yang berjasa besar untuk Aceh ini.
Sedangkan pembicara lainnya, Dr Mizaj Iskandar LC LL.M mengatakan, sebelumnya sudah ada penelusuran terkait Habib bin Buja’ ini, yang menyimpulkan bahwa sang pewakaf merupakan Sayid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kuburan saat ini berada di Pante Sidom, Bireuen. Penelitian itu, antara lain dilakukan oleh Dr Hilmy Bakar dan kawan-kawan. “Apa yang dilakukan Dr Hilmy sangat luar biasa. Tetapi, dalam penelitian selalu ada kebaruan. Ini merupakan hal yang biasa saja dalam sebuah riset. Mungkin nanti juga ada temuan terbaru lagi,” tandas Ketua Yayasan Wakaf Baitul Asyi ini. Pernyataan ini disampaikan Mijaz sekaligus menjawab pertanyaan Hilmy Bakar yang diajukan saat sesi tanya jawab dalam webinar tersebut.
Baca juga: Butuh tenaga kerja terbaik untuk bisnismu? Cari di sini!
Sebagaimana diketahui, Arab Saudi kala itu di bawah kendali Turki yang bermazhab Hanafi. Maka segala urusan terkait mahkamah kenegaraan harus dalam hukum Hanafi. Tapi itu bukan berarti Habib bin Buja’ ingin mengorbankan mazhab beliau yang Syafi’i. Karena terbukti, wakaf itu diperuntukkan untuk orang-orang yang bermazhab Syafi’i. “Artinya, nama dalam wakaf itu memang nama beliau asli sesuai tuntutan mazhab Syafi’i,” kata Herman.
Sedangkan Dr Nazaruddin MA yang juga Rektor IAI Al-Muslim Peusangan mengatakan, boleh jadi pewakif ingin menyembunyikan identitas asli, biar tidak ria. Nazaruddin masih meyakini bahwa Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi dan Sayid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah tokoh yang sama. Begitupun, Nazaruddin mengaku dirinya bukanlah ahli sejarah. “Penting bagi pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk menelusuri lebih dalam lagi,” katanya.
Webinar tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Asyraf Aceh Darussalam yang dimediatori Masykur SHum yang juga Direktur Pedir Museum. Webinar ini disiarkan secara langsung di Facebook dan Instagram.
Ketua Asyraf Aceh Darussalam Sayed Murthada Al-Aydrus menyebutkan, ini merupakan seminar ke IX yang dilakukan lembaga ini dalam beberapa tahun terakhir. Murthada menyebut, Asyraf Aceh akan memperbanyak diskusi-diskusi ilmiah tentang berbagai topik yang menyangkut sejarah Aceh, khususnya berkaitan dengan keluarga para habaib dan peranannya di Serambi Mekkah ini.
Berikut Hasil Seminar Secara Keseluruhan yang berhasil dirangkum panitia:
1. Sebagaimana tertulis dalam dokumen resmi wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 M) nama asli pewakaf Baitul Asyi adalah "Haji Habib bin Buja' Al-Asyi Al-Jawi". Namanya muncul dua kali dalam surat wakaf tersebut. Haji, Al-Asyi dan Al-Jawi adalah gelarnya (seorang bergelar haji berasal dari Aceh/Melayu). Sementara nama aslinya sendiri adalah Habib bin Buja' (artinya: Habib anak dari Buja').
2. Dari namanya terindikasi bahwa beliau bukan seorang sayed/habib dari golongan asyraf (keturunan Rasulullah SAW). Melainkan hanya seorang ahwal bernama Habib yang ayahnya (bin) bernama Buja'.
3. Bin Buja' pada nama beliau menunjukkan nama ayahnya. Bukan merujuk ke Bugak sebagai sebuah wilayah di Aceh. Hanya nama "Al-Asyi" yang merujuk kepada asal beliau, yaitu Aceh.
4. Peneliti menemukan, penulisan kata Buja' dalam dokumen wakaf Baitul Asyi berbeda dengan kata Bugak. Buja' ditulis dengan huruf ba-waw-jim-ain. Sementara Bugak dalam manuskrip ditemukan ditulis dengan huruf ba-waw-kaf-alif-hamzah.
5. Nama Haji Habib bin Buja' ditemukan dalam dua dokumen. Pertama dalam dokumen wakaf tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H. Kedua, tertulis kembali dalam dokumen pembaharuan wakaf pada tahun 1991. Ini menandakan nama tersebut memang nama asli dari pewakaf.
6. Dalam mazhab Syafi’i (sebagaimana mazhab yang dianut Haji Habib bin Buja') mewajibkan wakaf dilakukan dengan nama asli. Bukan dengan nama palsu, nama samaran ataupun lakab lainnya. Apalagi didaftarkan di hadapan qadhi mahkamah syariah Mekkah. Tentu seorang wakif harus mendaftarkan asetnya dengan nama asli (ismu dhahir). Karena itulah nama Haji Habib bin Buja' adalah nama nyata dari pewakaf tersebut. Berbeda halnya dengan sedekah informal yang biasa menggunakan identitas "hamba Allah" atau laqab lainnya untuk menyembunyikan nama asli. Orang Aceh banyak yang memiliki laqab. Tapi juga punya nama asli. Khususnya untuk manuskrip legal, itu digunakan nama aslinya. Teungku Syiah Kuala misalnya, itu laqab dalam tradisi tutur. Tapi dimana-mana dalam berbagai dokumen tertulis nama asli "Abdurrauf".
7. Tidak diketahui secara pasti dimana Haji Habib bin Buja' wafat dan dimakamkan. Peneliti menduga beliau wafat dan dikebumikan di Mekkah. Dalam data pemerintah Arab Saudi memang ditemukan seseorang bernama Ibnul Buja' yang pernah dimakamkan di pekuburan Al-Ma'la di dekat Masjidil Haram Mekkah. Boleh jadi itu adalah Habib bin Buja'. Namun perlu penelitian lebih lanjut.
8. Haji Habib bin Buja' Al-Asyi dan Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah dua tokoh berbeda. Nama Sayyid Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi sendiri dalam berbagai dokumen sejarah ditulis sebagai Sayed, Teungku Sayed Abdurrahman ibnu Alwi (dok. 27 Safar 1206 H/1791 M), atau langsung disebut sebagai Habib Abdurrahman Al-Habsyi (dok.1877). Tidak ditemukan manuskrip, sarakata ataupun dokumen sejarah yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi sebagai "Habib Bugak".
Bahkan sebuah dokumen lainnya menunjukkan jika nama beliau ditulis dalam laqab Peusangan (Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan), bukan dengan laqab Bugak. Juga tidak ada satupun dokumen yang menyebutkan bahwa Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi punya aset wakaf di Mekkah, kecuali menerima sejumlah aset wakaf di wilayah Peusangan dan sekitarnya. Jadi, yang disebut "Habib Bugak" sebagai pewakaf Baitul Asyi bukanlah Sayed Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, melainkan sosok lain yaitu Haji Habib bin Buja' Al-Asyi Al-Jawi.
Begini Tanggapan Peneliti lainnya
Pengasuh Zawiah Almascaty Bugak-Aceh, Dr Hilmy Bakar Almascaty DBA membantah poin-poin hasil seminar seperti ditulis di atas. Hilmy juga membantah semua pernyataan Filolog Aceh Hermansyah M.TH, M.Hum.
“Dalil yang disampaikannya sejak bertahun lalu tidak berubah dan tidak ada yang baru. Hal itu wajar, dia sebagai peneliti metode filologi an-sich, padahal penelitian tentang Habib Bugak tidak cukup hanya sekadar metode tersebut,” katanya kepada Serambinews.com, Kamis (29/12/2022). Hilmy mengaku sudah meneliti persoalan ini sejak tahun 2006.
Jawaban lengkap dari pria yang meneliti wakaf Baitul Asyi ini seperti berikut:
“Pada tahun 2006, dua tokoh Aceh yaitu Prof. Alyasa dan Prof. Azman yang merupakan alumni Universitas di Arab, telah menyampaikan terjemahan waqaf dan menyebut pewaqafnya dengan HABIB BUGAK. Sementara Prof. Alyasa sampai dengan tahun 2017 tetap konsisten dengan penyebutan nama HABIB BUGAK.
Hermansyah rupanya ingin mengungguli para profesornya di UIN Ar-Raniry dengan menyebut pewakaf sebagai Habib bin Buja'. Sebagai pengguna bahasa Arab rendahan pun orang akan faham mana transelasi tulisan bahasa Arab atau Melayu. Apakah tulisan Aceh dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu Jawi itu sama. Tentu tidak.
Sebagaimana umum berkembang dalam penelitian tentang Habib Bugak yang penulis catat sejak tahun 2006, ada dua mazhab dalam menilai Habib Bugak. Mazhab yang anggap Habib Bugak (Bahasa Arab: Habib Bin Buja') itu nama asli. Dengan alasan karena nama itu yang tercantum dalam ikrar waqaf di Mekkah tahun 1224 H dan diperbaharui tahun 1991 M.
Menurut pandangan beberapa sejawat peneliti, Hermansyah adalah peneliti sambilan yang memiliki sumber terbatas dengan metodologi filologis an-sich. Para narasumber yang lain malah menyerukan diadakannya penelitian mendalam kembali secara menyeluruh menggunakan semua metodelogi penelitian ilmiah. Bahkan bila perlu lebih jauh dengan penelitian ala spritualism sebagaimana yang dianjurkan Prof. Danah Zohar dari Universitas Harvard Amerika, ataupun metodelogi Logical Empirical Methaphysis yang disampaikan Prof. Alattas dari Malaysia.
Sementara ada pemahaman lagi yang menganggap Habib Bugak sebagai Laqab. Adapun hujjah dari mazhab laqab adalah:
1. Berdasarkan kebiasaan tradisi Aceh yang membiasakan penggunaaan laqab secara umum oleh tokoh.
2. Kenyataan ini diperkuat dengan tradisi penamaan dalam masyarakat Aceh yang tidak pernah menggunakan nama dengan Habib atau Buja'. Sepanjang penelitian tentang Habib Bugak, tidak pernah ditemukan dalam sejarah Aceh seorang tokoh yang bernama Habib atau Buja’.
3. Realitas ini diperkuat dengan ikrar waqaf Habib Bugak di Mekkah, bahwa beliau adalah Mazhab Syafi'i, tetapi kenapa beliau mencatatkan waqafnya dalam Mahkamah Syariah yang hakimnya adalah bermazhab Hanafi. Fakta inilah yang perlu digali. Jawabannya karena dalam mazhab Syafi'i pewakif diwajibkan menyebutkan nama aslinya dalam berwaqaf. Sementara dalam mazhab Hanafi, pewakif dibolehkan menggunakan nama laqab.
4. Wawancara resmi penelitian dengan Syeikh Munir Abdul Ghani Al Asyi pada tahun 2009 menyebutkan, bahwa Habib Bugak adalah Laqab, bukan nama asli waqif. Bahkan beliau dengan terang menyebut bahwa Habib dalam Ikrar tersebut adalah gelar bagi Sayyid atau keturunan Rasulullah.
5. Sepanjang penelitian di Mekkah, yang telah dilakukan beberapa peneliti atau observasi, tidak dikenal seorangpun bernama Habib bin Bujak. Demikian halnya dalam literatur Aceh. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, seorang yang ternama dan alim dalam berwaqaf tidak memiliki jejak dan tidak tercatat dalam lembaran sejarah, kecuali hanya diikrar waqaf saja. Ini adalah sesuatu hal ganjil yang luar biasa.
Maka berdasarkan fakta dan data di Mekkah tersebut, yang menghasilkan kebuntuan informasi, sebagaimana dinyatakan juga oleh Dr. Mizaj sebagai salah seorang narasumber seminar. Demikian pula kesimpulan penelitian filologis Hermansyah yang sangat miskin data, yang hanya menyimpulkan dari analisis dangkal. Maka perlu dilakukan penelitian tingkat lanjutan menggunakan beberapa metode penelitian tingkat advance yang telah dilakukan para cendekiawan terkemuka.
Bahkan ada metode tingkat tinggi, sampai pada tingkatan kita perlu secara ruhaniah meneliti dan berjumpa langsung dengan ruah Habib Bugak.
Metode ini pernah dicoba untuk mengungkap beberapa fakta tersembunyi dengan berwasilahkan kepada mereka yang telah mencapai derajat mukasafah dari kalangan para wali Allah.
Note:
0 comments:
Post a Comment