Sunday, December 31, 2017

Espanto del Mundo: Kapal Mahkota Alam Kesultanan Aceh

Sultan Iskandar Muda yang berkuasa pada 1607-1636, adalah sultan termashyur dan termegah selama Kesultanan Aceh berdaulat (1496 – 1903).

Namanya terukir hingga ke Eropa, melampaui zamannya.

Di wilayah Asia dan Timur Tengah, periode Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai penguasa Selat Malaka dan laut sekitarnya.

Ia melanjutkan agresor ayah dan kakeknya dalam mempertahankan eksistensi Kesultanan Islam di Melayu-Nusantara dari tangan-tangan penjajah Eropa.

Pada saat itu, Portugis adalah salah satu musuh besar bagi Kerajaan Aceh.

Sejak 5 April 1607, Iskandar Muda resmi memangku posisi sebagai Sultan menggantikan saudaranya Sultan Ali yang meninggal sehari sebelumnya.

Keterlibatannya dalam Kesultanan Aceh bukan pertama kali.

Pada tahun 1606 ia sudah terlibat langsung dalam perang menyerang Portugis di Selat Malaka, karenanya kemudian ia terkenal Perkasa Alam dengan kapal laut terkenalnya.

Pengalamannya di laut Aceh dan semenanjung Melayu telah menjadi pelajaran penting dalam menangkal berbagai serangan asing, yang terjadi selama beliau menjabat sebagai Sultan Kerajaan Aceh.

Terutama penempatan pasukan militer laut, kapal-kapal perang, strategi perang, dan jaringan hubungan internasional.

Kapal laut satu-satunya alat media perang paling canggih yang dilengkapi beragam meriam, sebab pada saat itu belum tersedia tank ataupun pesawat tempur.


Hikayat Malem Dagang

Hikayat Malem Dagang, sebagian berpendapat sama dengan Hikayat Meukuta Alam, adalah sebuah hikayat yang berisi catatan perjalanan Sultan Iskandar Muda, merebut kembali Malaka dari Portugis.

Hikayat Malem Dagang ini ditulis oleh Tgk Chik Pante Geulima, untuk membangkitkan semangat orang Aceh dalam berperang melawan Belanda.

Dalam hikayat ini, Tgk Chik Pante Geulima menulis tentang beberapa kapal perang yang dimiliki Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda.

Sebagaimana tradisi hikayat-hikayat Aceh lainnya, bahwa hikayat merupakan salah satu tradisi lisan atau tradisi tutur yang hidup dan kental di masyarakat. Para "penghikayat" yang cukup handal dan mampu menghapal alur cerita akan tampil dengan baik dalam berhikayat, baik alur cerita, irama, hingga intonasi dalam hikayat.

Kapal-kapal ini digunakan untuk tujuan pelayaran, perdagangan, perang, diplomasi, dan keperluan investasi.

Dari beberapa kapal laut yang dimiliki Kerajaan Aceh, yang paling sering digunakan oleh Sultan Iskandar Muda adalah kapal bernama Cakra Donya.

Kapal Cakra Donya ini memiliki catatan khusus dalam memori para prajurit angkatan laut Portugis.

Espando del Munto 

Sejarawan Spanyol, Manuel Faria Y Sousa (1590 – 1649) dalam bukunya “Asia Portuguesa” yang diterbitkan di Lisboa (1666-1675) menulis, setiap kali melihat kapal ini, para prajurit angkatan laut Portugis berteriak “Espanto del Mundo” (teror dunia).

Manuel Faria Y Sousa juga mendeskripsikan kehebatan kapal perang milik Kerajaan Aceh ini.

Menurutnya, kapal ini memiliki panjang hingga 200 jengkal (kira-kira 100 meter), mempunyai tiga tiang, dan dilengkapi 100 meriam di sisi kanan dan kiri.

Faria Y Sousa pun menggambarkan rasa takjubnya, “tidak sia-sialah kapal itu diberi nama ‘teror dunia’. Betapa hebatnya, betapa kuatnya, betapa indahnya, betapa kayanya. Meskipun mata lelah karena sering terheran melihat benda-benda indah, kami semua terbelalak melihat yang ini (Kapal Cakra Donya-pen)”.

Catatan Manuel Faria Y Sousa tentang Kapal Cakra Donya ini ditulis kembali oleh Sejarawan Prancis, Denys Lombard dalam buku berjudul “Kerajaan Aceh” yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia tahun 1986.

Kembali ke Hikayat Malem Dagang, kapal Cakra Donya ini membawa tiga lonceng besar hadiah dari Dinasti Ming (sekitar 1469) kepada Kerajaan Pasai pada tahun keempat zaman Cheng Hua.

Salah satu dari tiga lonceng ini, kini dipajang di Komplek Museum Aceh, di Banda Aceh.

Memang, hubungan Pasai dengan beberapa kerajaan di luar “negeri bawah angin” cukup baik, termasuk Eropa, Turki, dan Arab.

Selain kapal Cakra Donya dengan kapasitas 800 orang dan dilengkapi beragam ukuran meriam, terdapat beberapa kapal lainnya yang digunakan untuk mengawal kapal induk, seperti Cakra Alam, Rijalul ‘Asyiqin, Nurul ‘Isyqi, Cari Lawan, dan Naga Kentara. (Profil kapal-kapal ini akan ditulis terpisah)

Kapal-kapal tersebut masih digunakan setelah Sultan Iskandar Muda mangkat tanggal 27 Desember 1636 di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), terutama untuk menjaga kedaulatan Kerajaan Aceh dan Islam Melayu.

Hikayat Meukuta Alam tidak mendeskripsikan detail bentuk kapal, namun kehebatannya dalam menangani Portugis cukup menunjukkan besar dan hebatnya kapal tersebut.


Tulisan ini telah dipublish di Serambi Indonesia

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top