Friday, September 19, 2014

Mi‘rāj al-Sālikīn: Survivalitas Ajaran Tarekat Syatariyah di Aceh Periode Kolonial

This article discusses the development of Syattariyah Sufi order as one of religious traditions in Aceh in the colonial era based on the manuscript of Muhammad Khatib Langien’s Mi‘rāj al-Sālikīn ilá Martabat al-Wāsilīn bi-Jāh Sayyid al-Mursalīn. The Syattariyah teachings in Mi‘rāj al-Sālikīn have proved the existence of Muhammad Khatib Langien in the Malay-archipelago world. In applying his teachings, Muhammad Khatib Langien has the different procedures than that one of  ‘Abd al-Raūf al-Fansuri. In addition to practical teachings, Muhammad Khatib Langien employs local symbols such as wearing skullcaps and turbans in the swear oath (bay‘ah) process. This tradition is meant to respond the foreign culture as well as to show the identity of each members of Syattariyah sufi order. It is proved that Muhammad Khatib Langien’s teachings that can be accepted by all people and groups even without having support from the local authorities at the time.

Di Aceh, jalur ‘Abd al-Raūf al-Fansuri (Abdurrauf Syiah Kuala) bukanlah satu-satunya penghubung tarekat Syatariyah dari dunia Islam (Mekah dan Madinah) ke dunia Melayu-Nusantara, khususnya Aceh. Beberapa naskah koleksi Tanoh Abee menyebutkan terhubungnya murid-murid tarekat Syatariyah di sana tanpa melalui jalur Abdurrauf al-Fansuri di era yang sama. Demikian juga jaringan silsilah Syatariyah di Pidie dari tokoh utama adalah Muhammad bin Ahmad Khatib Langien di Pidie. Berada di Gampong (desa) Langien di wilayah kemukiman berada di Pidie (Kabupaten) yang jauh dari sentral Kesultanan Aceh (Banda Aceh).
Hubungan silsilah tarekat Syatariyah terjalin kuat antara ulama Nusantara, Arab dan India secara langsung ataupun tidak. Konsep ajaran yang disebarkan di Nusantara –khususnya Aceh- tidak berbeda jauh dengan konsep di tempat lahir dan berkembangnya tarekat ini. Walaupun belum didapatkan tokoh Arab atau India dalam tarekat ini yang langsung berkiprah di Aceh, seperti peran Nūr al-Dīn al-Ranirī periode Iskandar Tsani (w. 1641) dan pamannya, Hamīd al-Rānirī di masa Iskandar Muda (w. 1630), yang mengembangkan tarekat Qadiriyah di Aceh.
Tarekat Syatariyah masuk dan berkembang di Aceh hampir bersamaan dengan atau setelah tarekat Qadiriyah. Sejauh ini, ‘Abd al-Raūf al-Fansuri memiliki jaringan terluas di Nusantara, dan dapat dipastikan yang pertama. Dengan pengalamannya selama 19 tahun di Jazirah Arab dan “berguru Syatariyah” kepada Ahmad al-Qushāshī dan Ibrāhim al-Kurānī hingga dipercayakan untuk mengembangkan ajaran tarekat di Nusantara. Ia mampu mengorbitkan ulama-ulama dalam tarekat Syatariyah di seluruh wilayah Melayu-Nusantara, diantaranya Burhanuddin Ulakan, (w. 1699 M) dari Pariaman, Sumatra Barat, Abdul Muhyi (w. 1738 M) dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Yusuf al-Makassari (w. 1999 M) dari Sulawesi, dan Syaikh Abdul Malik bin Abdullah atau Tok Pulau Manis (1678-1736) dari Terengganu.

Salah satu kemudahan yang dimiliki oleh ‘Abd al-Raūf al-Fansuri dalam penyebaran tarekat Syatariyah adalah ia sebagai “orang dalam” di Kesultanan. Posisi penting yang diamanahkan tersebut telah menjadikan tarekat Syatariyah sebagai ajaran resmi di Kesultanan Aceh. Jika kita menilik kembali ke India, hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ‘Abdullah al-Syaṭṭār dan Muhammad Ghauts saat di India yang mendapat tempat di hati penguasa Sultan Moghuls, sehingga tarekat tersebut dapat bertahan sekian lama. Demikian juga kekuatan karakter tarekat Syatariyah di Aceh yang dibangun oleh para pemimpinnya dapat eksis di Kesultanan, serta mendapat tempat istimewa sebagai ajaran resmi keagamaan.
Di dalam ajaran tarekat Syatariyah sendiri, juga terdapat beberapa perbedaan –atau pergeseran- yang terjadi diakibatkan oleh berbagai faktor dan zaman yang berubah. Muhammad Khatib Langien –menurut Mi‘rāj al-Sālikīn- memiliki perbedaan di beberapa tata cara (praktik) amaliyah tarekat dengan tata cara ‘Abd al-Raūf al-Fansuri.
Proses pembaiatan dan talqīn yang disebutkan oleh Muhammad Khatib Langien dan Teungku Di Pulo satu tahap saja untuk memudahkan dan memberi kelonggaran dalam proses ritual. Namun, bagi ‘Abd al-Raūf al-Fansuri proses talqīn dan baiat dua hal yang berbeda, dan keduanya memiliki tata cara masing-masing secara terperinci dan berurutan. Perbedaan juga terjadi tata baiat perempuan, satu harus melalui media air, seperti bejana diisi air. Sedangkan lainnya cukup berjabat tangan tanpa bersentuhan.
Selain itu, perubahan juga diwariskan dari ritual talqīn dan baiat yang telah dilakukan oleh guru Muhammad Khatib Langien sebelumnya, Muhammad ‘Alī dan Muhammad As’ad, yang tercantum dalam Mi‘rāj al-Sālikīn disebutkan sebagai berikut:
Bermula kelakuan talqīn dan bai’at pada tarekat ini, itu hendak ada shaykh dan muridnya itu berair sembahyang, maka menyuruh shaykh akan muridnya itu taubat daripada sekalian dosa, kemudian maka menjabat shaykh itu akan tangan muridnya dan mengata shaykh itu “A‘ūdhu billāh min al-shayṭān al-rajīm {Inna al-ladhīna yubāyi‘ūnaka innamā yubā‘ūna Allāh…}

Muhammad Khatib Langien telah memberikan semacam reorientasi terhadap tarekat Syattariyah dan memperbaharuinya menjadi sebuah tarekat ortodoks yang dapat diterima oleh semua kalangan dan golongan, tanpa harus didukung oleh penguasa. Ortodoksi tersebut bukanlah konsep yang mutlak dan abadi, namun relatif dan dinamis, sesuai perkembangan atau pergeseran yang tidak terlepas dari situasi politik dan komunitas masyarakat. Hal tersebut menjadikan tarekat Syatariyah eksis dan berhasil memodifikasi serta mereformulasi posisinya dalam masyarakat Aceh yang terus berubah. Munculnya pemakaian simbol-simbol khas daerah (lokal) dari karya ulama Syatariyah untuk tampil di panggung internasional, merupakan salah satu cara menjadikannya sebuah perekat dengan kelompok-kelompok muda dan tua dalam menumbuhkan nasionalisme dan anti kolonialisme. Tokoh-tokoh Syatariyah periode ke-19 mampu menjembatani antara spiritualitas dengan patriotisme untuk menjawab tantangan di wilayah dan periode mereka.

Download Artikel Hermansyah di Jurnal Studia Islamika
atau
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika/article/view/515

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top