Naskah Khalut (Khalwat) koleksi Tgk Mukhlis di Caleu - Pidie |
Meugang misalnya, yang menjadi tradisi dalam menyambut bulan penuh ampunan itu telah diterapkan sejak kesultanan Aceh.
Dalam naskah Adat Aceh disebutkan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1015 H (1607) menyediakan daging meugang pada malam terakhir bulan Sya’ban kepada masyarakat sekitar istana Aceh, acara besar-besar itu juga melibatkan para uleebalang dan para orang kaya untuk sama-sama merayakannya.
Aktivitas khusus lainnya adalah bersuluk atau khalwat (khulwah) atau dalam bahasa Aceh dikenal khalut. Kegiatan biasanya diilakukan di zawiyah-zawiyah (dayah) yang terdapat mursyid atau syekh (guru) yang dinilai memiliki ilmu di bidang tersebut.
Pada dasarnya, tidak ada seleksi bagi murid-murid yang ingin mengikuti kegiatan suluk ataupun khalut, pesertanya bisa jadi dari murid-murid di zawiyah tersebut, ataupun masyarakat luar yang ingin bersuluk dan memperbanyak ibadah.
Kata khalut berasal dari bahasa Arab yaitu khalwat yang dikonotasikan menyendiri, atau dalam konteks ritual keagamaan dikategorikan bersemedi.
Ada banyak ragam praktik dan bacaan dalam khalut, sesuai dengan petunjuk dari musryidnya. Namun demikian, inti dari ibadah ini adalah menperbanyak ibadah, zikir dan istigfar yang dilakukan sepanjang hari, baik secara berjamaah maupun sendiri.
Naskah di Museum Aceh, naskah tata cara khalwat dikupas tuntas, bahkan posisi khalwat sama dengan olahraga “maka bahwasanya khalwat dan riyadhah itu ibarat daripada membanyak perangai dan menanggalkan kehinaan” (No. 07.536, hal. 4r).
Pembahasannya juga termasuk syarat dan segala adab masuk dalam ritual khalut, sejak mulai mandi yang diniatkan untuk berkhalut hingga aturan-aturan yang berlaku dalam ibadah tersebut.
Seirama dengan naskah yang dikoleksi oleh Tgk Mukhlis di Caleu-Pidie, ukuran naskah yang kecil dan dapat disebut panduan amalan khalut bagi para jamaah di dayah-dayah disekitar daerah tersebut.
“Inilah tariqah khalwat akan ulama-ulama…” (hal. 3r) dan seterusnya berisikan doa-doa yang harus dibaca oleh seorang khalut di siang dan malam hari.
Menjelang tengah malam mereka tidur dan bangun kembali pada waktu sahur “Maka kemudian sembahyang tahajud, dan hendaklah duduk berdoa-doa hingga sampai kepada waktu Subuh. Tamat. Amiin” (hal. 14v).
Syair singkat dalam bahasa Aceh teridentifikasi nama sang penyali “Yang seumurah hamba Allah, sangat miskin lagi hina # Abu Bakar nama lon seubut, bengoh seupot beuleu that doa# Tameudoa keu lon tuan, Wahee rakan dum syedara) (terjemahan: Yang menjelaskan hamba Allah, sangat miskin dan hina # kusebut namaku Abu Bakar, siang malam banyak berdoa, Doakan daku wahai tuan, wahai rakan dan saudara).
Teks ini selesai disalin pada hari Senin 12 Muharram 1355 H, sang penyalin juga mencantumkan bertepatan dengan 13 April 1936 Masehi diistilahkannya “tahun Belanda”.
Khalut atau khalwat merupakan salah satu jalan intropeksi dan proteksi diri seorang hamba dalam menjalankan puasa ke arah yang lebih baik, menjauhi perbuatan yang sia-sia dan tercela, serta menyempurnakan ibadah puasa.
Pendekatan diri ini yang dibimbing oleh guru (mursyid) merupakan jalan paling baik mencapai derajat mulia di bulan Ramadhan.
Bahkan hadihmadja (falsafah) Aceh “siblah buleun tahareukat, sibuleun ta ibadat” (sebelas bulan bekerja, dan sebulan (Ramadhan) untuk beribadah) menjadi simbol kekuatan ibadah ini.
Oleh karenanya, zawiyah, dayah dan tempat-tempat pendidikan tetap menjadi pilar utama dalam pembentukan karakter dan intelektual masyarakat, walaupun zaman telah berbeda warna.
http://aceh.tribunnews.com/2015/06/18/khalwat-di-bulan-ramadhan
0 comments:
Post a Comment