Beberapa hari lalu, teman-teman di media sosial (medsos)
mengirim sebuah teks naskah ramalan dari sebuah tulisan di situs tentang ramalan Syekh
Abdurrauf al-Fansuri atau dikenal juga Teungku Syiah Kuala yang bernama kitab
Mandiyatul Badiyah.
Tulisannya berjudul “Pergantian Presiden Tahun 2019 (1440 H)
menurut Kitab Mandiyatul Badiah karya Teungku Syiah Kuala Negeri Aceh” yang
meramal Aceh dan Indonesia masa lalu, saat ini dan masa mendatang.
Dengan dalil-dalil yang lemah, penulis artikel tanpa menggunakan
nama asli yang berinisial Abu Qurma al-Masyriqy (AQM) tersebut mangaduk dan
merunut kejadian-kejadian yang telah berlalu dengan ramalan dusta, bercampur mitos dan fakta-fakta yang pernah terjadi.
Semua prediksi dan ramalan dalam tulisannya tersebut adalah
dusta. Kebohongan yang dibangun dalam beragumentasi sangat jelas, selain manuskrip
bodong alias palsu bin hoax, juga mengaitkan kebohongan tersebut dengan membawa nama
ulama besar Aceh dan alam Melayu, Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri yang dikenal sekarang Syekh Syiah Kuala.
Beberapa kepalsuan yang nyata jelas terlihat di antaranya,
Pertama; Kitab Mandiyatul Badiyah bukanlah karya Abddurrauf Syiah Kuala, sebab judul yang umum "Mawa'idul Badi'ah" (Petuah-petuah berharga) yang membahas seputar hadist Nabi dan tasawuf . Sejauh
ini, Abddurrauf Syiah Kuala tidak pernah mengarang kitab dengan judul tersebut.
Penelusuran dan penelitian saya pribadi, peneliti local, nasional bahkan
internasional tidak pernah menyentil judul ini.
Kekeliruan kedua disebutkan “ramalan Syiah Kuala yang wafat
pada tahun 1699 H ini memberikan gambaran tentang perjalanan Negeri Aceh (Bilad
al-Asyi) dulu dan masa mendatang” adalah kekeliruan luar biasa. Pada
hakikatnya, Syiah Kuala meninggal 1693 M, sedangkan tahun 1699 adalah
meninggalnya (turun tahta) Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah (Sultan perempuan ke-4 di Kesultanan Aceh). Sehingga tahun ramalan jauh
setelah Abdurrauf Syiah Kuala meninggal.
Dusta yang ketiga adalah menghubungkan ramalan dengan sejarah
Aceh yang tidak linier, bahkan mengada-ngada. Seperti wasiat Nabi Khidir untuk Sultan
Iskandar Muda (1606-1637) dan Abdurrauf Syiah Kuala (1661-1693). Keduanya
berbeda periode dan tidak saling jumpa, sehingga tidak mungkin mewasiatkan satu
sama lainnya tentang ramalan tersebut.
Alasan selanjutnya bahwa, Syiah Kuala sendiri menentang
ramalan-ramalan yang bersifat mistis dan tidak sesuai dengan syariat. Hal
tersebut diungkap dalam kitabnya tentang sakaratul maut. Pada saat itu, ia
menentang tentang paganism dan sinkritisme di masyarakat Aceh di saat seseorang
meninggal akan bercahaya dengan warna (aura) sesuai perilaku seseorang.
0 comments:
Post a Comment