Saturday, May 25, 2019

Mandiyatul Badiyah Manuskrip Hoax


Beberapa hari lalu, teman-teman di media sosial (medsos) mengirim sebuah teks naskah ramalan dari sebuah tulisan di situs tentang ramalan Syekh Abdurrauf al-Fansuri atau dikenal juga Teungku Syiah Kuala yang bernama kitab Mandiyatul Badiyah.

Tulisannya berjudul “Pergantian Presiden Tahun 2019 (1440 H) menurut Kitab Mandiyatul Badiah karya Teungku Syiah Kuala Negeri Aceh” yang meramal Aceh dan Indonesia masa lalu, saat ini dan masa mendatang.

Dengan dalil-dalil yang lemah, penulis artikel tanpa menggunakan nama asli yang berinisial Abu Qurma al-Masyriqy (AQM) tersebut mangaduk dan merunut kejadian-kejadian yang telah berlalu dengan ramalan dusta, bercampur mitos dan fakta-fakta yang pernah terjadi.

Semua prediksi dan ramalan dalam tulisannya tersebut adalah dusta. Kebohongan yang dibangun dalam beragumentasi sangat jelas, selain manuskrip bodong alias palsu bin hoax, juga mengaitkan kebohongan tersebut dengan membawa nama ulama besar Aceh dan alam Melayu, Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri yang dikenal sekarang Syekh Syiah Kuala.

Beberapa kepalsuan yang nyata jelas terlihat di antaranya, Pertama; Kitab Mandiyatul Badiyah bukanlah karya Abddurrauf Syiah Kuala, sebab judul yang umum "Mawa'idul Badi'ah" (Petuah-petuah berharga) yang membahas seputar hadist Nabi dan tasawuf . Sejauh ini, Abddurrauf Syiah Kuala tidak pernah mengarang kitab dengan judul tersebut. Penelusuran dan penelitian saya pribadi, peneliti local, nasional bahkan internasional tidak pernah menyentil judul ini.



Kekeliruan kedua disebutkan “ramalan Syiah Kuala yang wafat pada tahun 1699 H ini memberikan gambaran tentang perjalanan Negeri Aceh (Bilad al-Asyi) dulu dan masa mendatang” adalah kekeliruan luar biasa. Pada hakikatnya, Syiah Kuala meninggal 1693 M, sedangkan tahun 1699 adalah meninggalnya (turun tahta) Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah (Sultan perempuan ke-4 di Kesultanan Aceh). Sehingga tahun ramalan jauh setelah Abdurrauf Syiah Kuala meninggal.

Dusta yang ketiga adalah menghubungkan ramalan dengan sejarah Aceh yang tidak linier, bahkan mengada-ngada. Seperti wasiat Nabi Khidir untuk Sultan Iskandar Muda (1606-1637) dan Abdurrauf Syiah Kuala (1661-1693). Keduanya berbeda periode dan tidak saling jumpa, sehingga tidak mungkin mewasiatkan satu sama lainnya tentang ramalan tersebut.

Poin paling penting adalah sisi kajian filologis dan kodikologis, selembar kertas (di Aceh dikenal arakate atau sarakata) tidak disebut kitab. Struktur kitab tidak memenuhi manuskrip secara umum yang ditulis oleh Syekh Abddurauf terdiri dari pembukaan, selawat, sebab, nasab, judul dan isi. Sedangkan sisi paleo-kodikologis menunjukkan teks tulisan periode modern, sebab itulah ditulis "dinukilkan dari pada Syekh Abdurrauf Fansuri (Syiah Kuala)" bahwa kata Syiah Kuala hadir pada tahun 1960an. Sedangkan ukuran kertas jauh dari ukuran normal kertas naskah kuno umumnya.  

Alasan selanjutnya bahwa, Syiah Kuala sendiri menentang ramalan-ramalan yang bersifat mistis dan tidak sesuai dengan syariat. Hal tersebut diungkap dalam kitabnya tentang sakaratul maut. Pada saat itu, ia menentang tentang paganism dan sinkritisme di masyarakat Aceh di saat seseorang meninggal akan bercahaya dengan warna (aura) sesuai perilaku seseorang.

Oleh karena itu, perihal tersebut menunjukkan AQM telah bersembunyi dalam selimut kepalsuan dan mengatasnamakan ulama besar Aceh untuk kepentingan politik praktis dan untuk pribadinya saja. Kejahatan ini harus ditindak oleh lembaga  pemerintah terkait keagamaan di Aceh seperti Dinas Syariat Islam (SI), Majelis Permusyawaratan Aceh (MPU), ataupun seperti Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) supaya tidak terus berkembang ramalan hoax dan telah mencatut nama ulama Aceh untuk kepentingan tertentu. []

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top