Kita selama ini terus saja “mengunyah” remah-remah sisa (dhoi-dhoi) budaya Aceh dalam upaya melestarikan adat serta tradisi Aceh lainnya. Pergantian nama Peraturan Daerah(Perda) menjadi Qanun merupakan salah satu contoh pelestarian itu. Jumlah Qanun sekarang sudah seribuan (Baca: “Untuk Disesuaikan dengan UU-PA: Sekitar 1.000 Qanun di Aceh Perlu Dievaluasi”, (Serambi Indonesia, Kamis, 23 Oktober 2008 halaman 17). Sayangnya, saya dan sebagian besar masyarakat Aceh belum mengerti darimana ‘dicopot’ istilah Qanun tersebut.
Walaupun akar kata qanun dari bahasa Arab, dan kemudian menjelma dalam hadih madja Aceh yang berbunyi :”Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Bentara/lakseumana”. Karena dianggap hadih maja itu telah memasyarakat, maka diambillah perkataan Qanun itu untuk menggantikan sebutan Peraturan Daerah (Perda).
Memang secara umum sebagian warga Aceh pernah mendengar, membaca dan sudah mampu menghafal isi pepatah itu. Tetapi saya yakin sebagian besar masyarakat Aceh, sebagian besarnya, belum mengerti secara hakiki akan makna yang sesungguhnya dari Hadih Maja tersebut.
Dalam pemahaman saya, butir pertama dan kedua dari pepatah itu amat wajar dan bisa diterima nalar. Bahwa, “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala” itu memang sesuai dengan ketatanegaraan dan kenyataan sejarah Aceh. Yakni, segala urusan yang berkaitan adat dan undang-undang kenegaraan merupakan hak penuh para sultan Aceh. Sementara yang menyangkut hukum agama Islam berada dalam wewenang para ulama. Memang, Syiah Kuala kini disimbolkan kepada tempat makam Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri di Kuala Aceh, Banda Aceh. Akan tetapi patut dicatat bahwa di daerah pada periode Kesultanan Aceh menjadi pusat keilmuan dan pembelajaran agama.
Dalam dua naskah lama berhuruf Jawoe/Jawi yang telah disalin ke huruf Latin, yaitu Adat Aceh dan Tazkirah Thabaqat, sama sekali tidak menyinggung ‘lembaga legislatif ‘ Putroe Phang dan Bentara/Lakseumana itu. Karena itu, tepatlah bila sahabat saya Zulkifli Arif dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, meminta Pemda Aceh mencari naskah Qanun Al-Asyi, yang merupakan sumber utama ketatanegaraan kerajaan Aceh masa lampau itu (opini "Mana Format Baku Adat dan Qanun”, (Serambi Indonesia, Senin, 20 Oktober 2008)).
Memang, Qanun Al-Asyi/Qanun Meukuta Alam alias Adat Meukuta Alam telah dilakukan banyak pengkajian oleh para pakar. Namun, sebelum kita dapat membaca sendiri naskah asli Qanun Al-Asyi itu; belum bebaslah jiwa kita dari beban tanda tanya!. Sebab masih banyak hal yang belum jelas. Soal judul naskah saja tidak sama penyebutannya diantara para pakar. Ada penulis yang menyamakan judul Qanun Al-Asyi dengan Qanun Meukuta Alam serta Adat Meukuta Alam. Tetapi ada pula pakar yang membedakan ketiga judul tersebut. Lain lagi dengan Prof.Dr. G.J. Drewes yang pernah mengkaji naskah Adat Aceh. Ia menyatakan bahwa naskah itulah yang bernama Adat Meukuta Alam. Pemberian judul “Adat Aceh” oleh Prof.Dr. G.J. Drewes keliru pula, sebab pada bagian awal naskah itu memang tercantum judul aslinya, yakni “Perintah Segala Raja-raja” atau "Mabaiyinas Salathin (Penjelasan Sultan-sultan)". Kalau masalah judul saja sudah berbeda, apalagi tentang isinya sudah pasti penjabarannya amat bervariasi pula.
Diantara budayawan/sastrawan/sejarawan Aceh yang paling serius menelaah Qanun Meukuta Alam adalah Prof.A.Hasjmy. Tetapi saya mendapati hampir semua isi naskah Qanun Meukuta Alam
yang dikutip A.Hasjmy adalah sama isinya dengan naskah Tazkirah Thabaqat itu. Mau disebut bahwa Tazkirah Thabaqat itulah yang disebut Qanun Meukuta Alam tidaklah tepat, sebab di berbagai halaman dalam naskah itu sering ‘mempertegas’ dirinya adalah berjudul Tazkirah Thabaqat pula. Perlu ditambahkan, bahwa naskah tersebut saya fotocopy di Pustaka Prof.Ali Hasjmy Banda Aceh dan Prof.A. Hasjmy pun adalah pengkaji Tazkirah Thabaqat, namun kurang disebarkan dalam buku-buku yang ditulisnya.
Oleh karena itu, menghadirkan naskah asli Qanun Al-Asyi (Undang-undang Aceh) adalah wajib hukumnya dan merupakan hal yang mendesak agar kita tidak semrawutan dalam memahami sejarah perundang-undangan kesultanan Aceh yang sebagian isinya yang relevan hendak dilestarikan.
Menurut A.Hasjmy, Qanun Meukuta Alam berisi berbagai ketentuan bagi Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu sebagai berikut:
1. Dasar dan rukun negara dan sistem pemerintahan.
2. Sumber hukum dan jenis-jenis hukum yang berlaku dalam kerajaan.
3. Pemerintah pusat dan pembagian wilayah-wilayah negara.
4. Lembaga-lembaga negara dalam tingkat pusat serta tugas wewenangnya.
5. Nama-nama dan gelar jabatan bagi pejabat tinggi tingkat pusat.
6. Syarat-syarat menjadi sultan, menteri, qadli dan pejabat tinggi lainnya.
7. Hak-hak warganegara dan hubungannya dengan negara.
8. Susunan pemerintah daerah dan tugas-tugas para pejabat daerah.
9. Cara-cara pengangkatan sultan.
10. Organisasi angkatan perang dan gelar-gelar para perwira tinggi/menengah.
11. Negara dalam keadaan perang.
12. Peraturan dasar tentang perdagangan dalam dan luar negeri.
13. Syarat keadilan pemerintah dan ketaatan rakyat.
14. Kecuali itu, Qanun Meukuta Alam juga menetapkan beberapa garis pokok tentang cara bagaimana seharusnya sultan dan para pejabat tinggi lainnya menjalankan pemerintahan (lihat A.Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Jakarta: Beuna, 1983, 346).
Buku sederhana yang berjudul “Adat meukuta Alam”, yang disusun Tuanku Abdul Jalil , memang pernah diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Banda Aceh tahun 1991. Buku ini merupakan penyusunan kembali dari buku yang sudah terbit sebelumnya dengan judul “Susunan Pemerintahan Semasa Kesultanan Aceh” yang merupakan terjemahan Bpk. Aboe Bakar dari buku karya K.F.H. van Langen yang berjudul “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sultanaat", terbit tahun 1888.
Pada penerbitan kali kedua itu, Tuanku Abdul Jalil berupaya menjelaskan istilah-istilah pangkat, gelar dan jabatan perangkat kerajaan Aceh yang tercantum dalam naskah Adat Meukuta Alam itu, sehingga mudah dipahami para pembacanya. Dari kata pengantarnya sudah dijelaskan, bahwa naskah Adat Meukuta Alam ini sama sekali tidak lengkap/tidak utuh. Pasalnya naskah ini berasal dari sisa-sisa pertempuran yang dahsyat. Ketika pasukan Belanda dapat menduduki mesjid Indrapuri tahun 1879, diantara naskah-naskah yang berserakan di situ adalah Adat Meukuta Alam yang tidak utuh lagi.
Perlu ditambahkan, bahwa setahun sebelumnya yaitu tahun 1878, sultan Muhammad Daud yang merupakan sultan Aceh terakhir dilantik/ditabalkan di mesjid Indrapuri itu. Jadi, walaupun sudah diterbitkan buku yang berjudul Adat Meukuta Alam, tetapi ia merupakan saduran yang berulang kali dari naskah asli yang tidak lengkap. Saduran pertama ke bahasa Belanda, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dalam hal ini kita tetap belum mendapatkan naskah asli Qanun Meukuta Alam yang utuh-lengkap.
Banyak cara yang dapat ditempuh dalam upaya mencari/menemukan naskah asli Qanun Meukuta Alam. Langkah pertama yang perlu ditempuh adalah mencetak ulang buku-buku lama yang pernah diterbitkan pada masa lampau. Buku-buku masa dulu tentang Aceh biasanya penjelasannya amat terperinci alias mendetail. Bacalah buku-buku yang ditulis – seandainya masih anda miliki- oleh Dada Meuraxa, H.M.Zainuddin, M.Joenus Djamil, misalnya; pasti akan terlihat bahwa mereka amat menguasai/mengerti masalah yang sedang ditulis.
Dengan beredarnya kembali buku-buku ini, masyarakat luas baik di Aceh atau dimana saja akan mengetahui betapa pentingnya naskah Qanun Meukuta Alam bagi menyusun sejarah perundang-undangan di Aceh. Cara lainnya adalah dengan menyebarkan iklan dalam media-massa yang terbit di negara-negara yang tercakup dalam Dunia Melayu. Bahwa Pemerintah dan Masyarakat Aceh sedang mencari naskah Qanun Meukuta Alam dan akan menebusnya dengan bayaran yang cukup lumayan. Bukan mustahil masyarakat di Dunia Melayu – seperti di Malaysia, Singapore, Brunei Darusslam, Patani(Thailand), Campa(Kamboja), Filipina Selatan dan lain-lain- masih menyimpan naskah tersebut, karena Qanun Meukuta Alam tertulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab Jawi/Jawoe. Bahkan dalam sebuah literature disebutkan, bahwa Sultan Hasan dari Brunei pada abad ke 18, secara terang-terangan menyatakan ia mengambil pedoman pemerintahannya dari naskah Adat Mahkota Alam Aceh.
Dan memang pernah terjadi, bahwa naskah-naskah lama (manuskrip) bukan dijumpai kembali di wilayah asalnya, tetapi di daerah luarnya bahkan di seberang lautan. Hikayat Raja-raja Pasai dan Adat Aceh merupakan dua contoh kongkrit. Hikayat Raja-raja Pasai yang merupakan bukti tertulis satu-satunya tentang kerajaan Samudera Pasai dalam bentuk tulisan, naskahnya dijumpai di wilayah Bogor, Jawa Barat. Pemiliknya Kiai Suradimenggala mantan Bupati Demak. Atas inisiatif Thomas Stamford Raffles Wakil Gubernur Jenderal Inggris di Jawa saat itu membayar orang untuk menyalinnya. Setelah ia meninggal, isterinya menyerahkan naskah itu ke perpustakaan Royal Asiatic Society di London tahun 1830, Tidak lama kemudian, sarjana Perancis E. Delaurier melakukan pengkajian terhadap naskah tersebut, yang selanjutnya diterbitkan di Paris tahun 1848. Buku terbitan itulah yang sampai ke Aceh, sehingga kita dapat membaca sejarah kerajaan Samudera-Pasai dalam bentuk tulisan, baik Latin maupun dalam huruf Arab Melayu/Jawoe.
Begitu pula dengan ” Adat Aceh” – yang keliru diberi judul itu – semula naskah beraksara Jawoe itu tersimpan di perpustakaan/India Office Library di London, Inggris. Kemudian atas usaha sarjana Belanda G.W.J. Drewes dan P.Voorhoeve yang melakukan pengkajian dan kemudian diterbitkan dalam jurnal “Verhandelingen” no. 24 di Denhaage, Belanda tahun 1958. Buku/jurnal terbitan negeri Belanda itulah yang kemudian beredar di Aceh Selain pembahasannya dalam huruf Latin, jurnal ini juga dilampirkan uraian asli dalam aksara Arab Melayu/Jawoe. Memang benar, meunye tatem peulaku, boh labu jeuet keu asoe kaya!.
Source: tambeh.wordpress.com/2009/07/02/34/
Walaupun akar kata qanun dari bahasa Arab, dan kemudian menjelma dalam hadih madja Aceh yang berbunyi :”Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Bentara/lakseumana”. Karena dianggap hadih maja itu telah memasyarakat, maka diambillah perkataan Qanun itu untuk menggantikan sebutan Peraturan Daerah (Perda).
Memang secara umum sebagian warga Aceh pernah mendengar, membaca dan sudah mampu menghafal isi pepatah itu. Tetapi saya yakin sebagian besar masyarakat Aceh, sebagian besarnya, belum mengerti secara hakiki akan makna yang sesungguhnya dari Hadih Maja tersebut.
Dalam pemahaman saya, butir pertama dan kedua dari pepatah itu amat wajar dan bisa diterima nalar. Bahwa, “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala” itu memang sesuai dengan ketatanegaraan dan kenyataan sejarah Aceh. Yakni, segala urusan yang berkaitan adat dan undang-undang kenegaraan merupakan hak penuh para sultan Aceh. Sementara yang menyangkut hukum agama Islam berada dalam wewenang para ulama. Memang, Syiah Kuala kini disimbolkan kepada tempat makam Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri di Kuala Aceh, Banda Aceh. Akan tetapi patut dicatat bahwa di daerah pada periode Kesultanan Aceh menjadi pusat keilmuan dan pembelajaran agama.
Dalam dua naskah lama berhuruf Jawoe/Jawi yang telah disalin ke huruf Latin, yaitu Adat Aceh dan Tazkirah Thabaqat, sama sekali tidak menyinggung ‘lembaga legislatif ‘ Putroe Phang dan Bentara/Lakseumana itu. Karena itu, tepatlah bila sahabat saya Zulkifli Arif dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, meminta Pemda Aceh mencari naskah Qanun Al-Asyi, yang merupakan sumber utama ketatanegaraan kerajaan Aceh masa lampau itu (opini "Mana Format Baku Adat dan Qanun”, (Serambi Indonesia, Senin, 20 Oktober 2008)).
Memang, Qanun Al-Asyi/Qanun Meukuta Alam alias Adat Meukuta Alam telah dilakukan banyak pengkajian oleh para pakar. Namun, sebelum kita dapat membaca sendiri naskah asli Qanun Al-Asyi itu; belum bebaslah jiwa kita dari beban tanda tanya!. Sebab masih banyak hal yang belum jelas. Soal judul naskah saja tidak sama penyebutannya diantara para pakar. Ada penulis yang menyamakan judul Qanun Al-Asyi dengan Qanun Meukuta Alam serta Adat Meukuta Alam. Tetapi ada pula pakar yang membedakan ketiga judul tersebut. Lain lagi dengan Prof.Dr. G.J. Drewes yang pernah mengkaji naskah Adat Aceh. Ia menyatakan bahwa naskah itulah yang bernama Adat Meukuta Alam. Pemberian judul “Adat Aceh” oleh Prof.Dr. G.J. Drewes keliru pula, sebab pada bagian awal naskah itu memang tercantum judul aslinya, yakni “Perintah Segala Raja-raja” atau "Mabaiyinas Salathin (Penjelasan Sultan-sultan)". Kalau masalah judul saja sudah berbeda, apalagi tentang isinya sudah pasti penjabarannya amat bervariasi pula.
Diantara budayawan/sastrawan/sejarawan Aceh yang paling serius menelaah Qanun Meukuta Alam adalah Prof.A.Hasjmy. Tetapi saya mendapati hampir semua isi naskah Qanun Meukuta Alam
yang dikutip A.Hasjmy adalah sama isinya dengan naskah Tazkirah Thabaqat itu. Mau disebut bahwa Tazkirah Thabaqat itulah yang disebut Qanun Meukuta Alam tidaklah tepat, sebab di berbagai halaman dalam naskah itu sering ‘mempertegas’ dirinya adalah berjudul Tazkirah Thabaqat pula. Perlu ditambahkan, bahwa naskah tersebut saya fotocopy di Pustaka Prof.Ali Hasjmy Banda Aceh dan Prof.A. Hasjmy pun adalah pengkaji Tazkirah Thabaqat, namun kurang disebarkan dalam buku-buku yang ditulisnya.
Oleh karena itu, menghadirkan naskah asli Qanun Al-Asyi (Undang-undang Aceh) adalah wajib hukumnya dan merupakan hal yang mendesak agar kita tidak semrawutan dalam memahami sejarah perundang-undangan kesultanan Aceh yang sebagian isinya yang relevan hendak dilestarikan.
Menurut A.Hasjmy, Qanun Meukuta Alam berisi berbagai ketentuan bagi Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu sebagai berikut:
1. Dasar dan rukun negara dan sistem pemerintahan.
2. Sumber hukum dan jenis-jenis hukum yang berlaku dalam kerajaan.
3. Pemerintah pusat dan pembagian wilayah-wilayah negara.
4. Lembaga-lembaga negara dalam tingkat pusat serta tugas wewenangnya.
5. Nama-nama dan gelar jabatan bagi pejabat tinggi tingkat pusat.
6. Syarat-syarat menjadi sultan, menteri, qadli dan pejabat tinggi lainnya.
7. Hak-hak warganegara dan hubungannya dengan negara.
8. Susunan pemerintah daerah dan tugas-tugas para pejabat daerah.
9. Cara-cara pengangkatan sultan.
10. Organisasi angkatan perang dan gelar-gelar para perwira tinggi/menengah.
11. Negara dalam keadaan perang.
12. Peraturan dasar tentang perdagangan dalam dan luar negeri.
13. Syarat keadilan pemerintah dan ketaatan rakyat.
14. Kecuali itu, Qanun Meukuta Alam juga menetapkan beberapa garis pokok tentang cara bagaimana seharusnya sultan dan para pejabat tinggi lainnya menjalankan pemerintahan (lihat A.Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Jakarta: Beuna, 1983, 346).
Buku sederhana yang berjudul “Adat meukuta Alam”, yang disusun Tuanku Abdul Jalil , memang pernah diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Banda Aceh tahun 1991. Buku ini merupakan penyusunan kembali dari buku yang sudah terbit sebelumnya dengan judul “Susunan Pemerintahan Semasa Kesultanan Aceh” yang merupakan terjemahan Bpk. Aboe Bakar dari buku karya K.F.H. van Langen yang berjudul “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sultanaat", terbit tahun 1888.
Pada penerbitan kali kedua itu, Tuanku Abdul Jalil berupaya menjelaskan istilah-istilah pangkat, gelar dan jabatan perangkat kerajaan Aceh yang tercantum dalam naskah Adat Meukuta Alam itu, sehingga mudah dipahami para pembacanya. Dari kata pengantarnya sudah dijelaskan, bahwa naskah Adat Meukuta Alam ini sama sekali tidak lengkap/tidak utuh. Pasalnya naskah ini berasal dari sisa-sisa pertempuran yang dahsyat. Ketika pasukan Belanda dapat menduduki mesjid Indrapuri tahun 1879, diantara naskah-naskah yang berserakan di situ adalah Adat Meukuta Alam yang tidak utuh lagi.
Perlu ditambahkan, bahwa setahun sebelumnya yaitu tahun 1878, sultan Muhammad Daud yang merupakan sultan Aceh terakhir dilantik/ditabalkan di mesjid Indrapuri itu. Jadi, walaupun sudah diterbitkan buku yang berjudul Adat Meukuta Alam, tetapi ia merupakan saduran yang berulang kali dari naskah asli yang tidak lengkap. Saduran pertama ke bahasa Belanda, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dalam hal ini kita tetap belum mendapatkan naskah asli Qanun Meukuta Alam yang utuh-lengkap.
Banyak cara yang dapat ditempuh dalam upaya mencari/menemukan naskah asli Qanun Meukuta Alam. Langkah pertama yang perlu ditempuh adalah mencetak ulang buku-buku lama yang pernah diterbitkan pada masa lampau. Buku-buku masa dulu tentang Aceh biasanya penjelasannya amat terperinci alias mendetail. Bacalah buku-buku yang ditulis – seandainya masih anda miliki- oleh Dada Meuraxa, H.M.Zainuddin, M.Joenus Djamil, misalnya; pasti akan terlihat bahwa mereka amat menguasai/mengerti masalah yang sedang ditulis.
Dengan beredarnya kembali buku-buku ini, masyarakat luas baik di Aceh atau dimana saja akan mengetahui betapa pentingnya naskah Qanun Meukuta Alam bagi menyusun sejarah perundang-undangan di Aceh. Cara lainnya adalah dengan menyebarkan iklan dalam media-massa yang terbit di negara-negara yang tercakup dalam Dunia Melayu. Bahwa Pemerintah dan Masyarakat Aceh sedang mencari naskah Qanun Meukuta Alam dan akan menebusnya dengan bayaran yang cukup lumayan. Bukan mustahil masyarakat di Dunia Melayu – seperti di Malaysia, Singapore, Brunei Darusslam, Patani(Thailand), Campa(Kamboja), Filipina Selatan dan lain-lain- masih menyimpan naskah tersebut, karena Qanun Meukuta Alam tertulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab Jawi/Jawoe. Bahkan dalam sebuah literature disebutkan, bahwa Sultan Hasan dari Brunei pada abad ke 18, secara terang-terangan menyatakan ia mengambil pedoman pemerintahannya dari naskah Adat Mahkota Alam Aceh.
Dan memang pernah terjadi, bahwa naskah-naskah lama (manuskrip) bukan dijumpai kembali di wilayah asalnya, tetapi di daerah luarnya bahkan di seberang lautan. Hikayat Raja-raja Pasai dan Adat Aceh merupakan dua contoh kongkrit. Hikayat Raja-raja Pasai yang merupakan bukti tertulis satu-satunya tentang kerajaan Samudera Pasai dalam bentuk tulisan, naskahnya dijumpai di wilayah Bogor, Jawa Barat. Pemiliknya Kiai Suradimenggala mantan Bupati Demak. Atas inisiatif Thomas Stamford Raffles Wakil Gubernur Jenderal Inggris di Jawa saat itu membayar orang untuk menyalinnya. Setelah ia meninggal, isterinya menyerahkan naskah itu ke perpustakaan Royal Asiatic Society di London tahun 1830, Tidak lama kemudian, sarjana Perancis E. Delaurier melakukan pengkajian terhadap naskah tersebut, yang selanjutnya diterbitkan di Paris tahun 1848. Buku terbitan itulah yang sampai ke Aceh, sehingga kita dapat membaca sejarah kerajaan Samudera-Pasai dalam bentuk tulisan, baik Latin maupun dalam huruf Arab Melayu/Jawoe.
Begitu pula dengan ” Adat Aceh” – yang keliru diberi judul itu – semula naskah beraksara Jawoe itu tersimpan di perpustakaan/India Office Library di London, Inggris. Kemudian atas usaha sarjana Belanda G.W.J. Drewes dan P.Voorhoeve yang melakukan pengkajian dan kemudian diterbitkan dalam jurnal “Verhandelingen” no. 24 di Denhaage, Belanda tahun 1958. Buku/jurnal terbitan negeri Belanda itulah yang kemudian beredar di Aceh Selain pembahasannya dalam huruf Latin, jurnal ini juga dilampirkan uraian asli dalam aksara Arab Melayu/Jawoe. Memang benar, meunye tatem peulaku, boh labu jeuet keu asoe kaya!.
Source: tambeh.wordpress.com/2009/07/02/34/
1 comments:
Salam kenal juga, semoga saja ini bermanfaat buat anda dan yg lain
Post a Comment