Friday, January 18, 2013

Menguak Pemurtadan Melalui Manuskrip


“Aceh tengku, Melayu abang, Cina toke, Kaphe tuan” mungkin tak berlaku lagi hadih madja bagi masyarakat Aceh sekarang ini, perihal ini mungkin saja dikarenakan fenomena masyarakat Aceh terhadap kasus pemurtadan yang terjadi belakangan ini telah merasuk kedalam kehidupan sebagian kecil masyarakat Aceh, karna dalam agama Islam dikenal seseorang yang keluar dari agamanya dicap sebagai murtad alias kaphe.
Dulu, julukan kaphe (kafir) juga dijuluki kepada penjajah yang menginjak kakinya di tanah rencong, dengan tujuan menjajah, merampas dan memerangi kedaulatan Aceh, maka perang yang bersifat politis berubah menjadi religious, itu memang bertepatan dengan kepercayaan yang berbeda menjadikan momentum para pejuang Aceh untuk melawan dan mengusir panjajah dari Serambi Mekkah. Maka lahirlah berbagai syair dan syiar Prang Sabi (Perang Sabilillah).
Dulu memang kaphe diusir dari Aceh karna berbagai tujuan yang tidak baik dan tidak menguntungkan bagi Aceh. Kini, saat pasca gempa dan tsunami melanda Aceh tahun 2004, negara-negara non Muslim dari berbagai belahan dunia baik diundang maupun tidak secara berduyun-duyun hadir membantu Aceh, dengan berbagai cara dan bentuk bantuan penanggulangan bencana dan kemanusiaan. Aceh menjadi fokus dan wilayah utama pemulihan pasca bencana dahsyat tersebut.
Beberapa pekan ini kita disadurkan dengan pemberitaan tentang pemurtadan di wilayah Aceh Barat, kisah tersebut mengidentifikasikan bahwa Aceh menjadi salah satu prioritas daerah ‘salib’ yang sebelumnya dikenal dengan Serambi Mekkah.
Banyak indikator penyebabnya, hal tersebut terjadi sejak pasca tsunami menimpa Aceh, yang membuat banyak negara-negara lain memberi perhatian kepada Aceh.
Aksi missionaris dan pemurtadan ini bukan yang pertama dalam lima tahun terakhir di Aceh, lagi-lagi khusus diwilayah rentan bencana. Sebelumnya pada masa awal pemulihan negeri Aceh ini yang terparah dari dampak gempa dan tsunami 24 Desember 2004, telah banyak pemberitaan di berbagai media dan fakta tentang aksi misionaris dan permutadan terjadi melalui misi kemanusiaan dan bantuan untuk para korban.
Pemberitaan tentang pemurtadan terhadap generasi Aceh merebak sekitar sebulan pasca Tsunami, baik dalam setting program bantuan obat-obatan, makanan, infrastruktur maupun program psikologi, pembinaan dan trauma healing, sampai kepada adopsi anak-anak Aceh yang selamat dari korban gempa tsunami, dibawa keluar  propinsi Aceh bahkan sampai ke luar negeri dijadikan sebagai anak asuh.
Jika asumsi diatas benar adanya, sungguh sangat ironis bahwa yang meng-kafir-kan generasi Aceh adalah anak bangsanya sendiri, dengan kata lain, ‘tameukap lam ija tingkue’ bahwa generasi akan berhadapan dan bertarung memperjuangkan akidahnya dengan saudaranya sendiri, dimana para ‘misionaris lokal’ adalah mereka yang hidup berpakaian dengan ke-Aceh-an, baik budaya, adat dan berbahasa Aceh.
Pemerintah daerah tidak bisa lepas tangan, apalagi lembaga-lembaga keagamaan yang dibentuk pemerintahan untuk mampu lebih aktif berdakwah di masyarakat, terutama di daerah rentan akidah seperti daerah-daerah perdalaman, perbatasan, wilayah paling parah dampak konflik dan bencana alam. Tidak hanya bersiteru dengan rancangan qanun dan birokrasi pemerintahan, tanpa ada implementasi dan penguatan keagamaan dan akidah terhadap masyarakat. 
Sikap tanggap dan tegas para pemangku pemerintah sangat diperlukan, selain memantau dan cross check kegiatan NGO asing baik dalam bentuk permberdayaan ataupun kemanusiaan yang ada di Aceh, sepertinya tak perlu mengharap investor asing jika harus menggadaikan akidah masyarakatnya, apalagi hanya mendapat segelintir keuntungan pembangunan Aceh. Jika tidak, maka kedepan akan terus muncul persoalan yang sama, dan tentu harus dibayar dengan harga yang lebih mahal lagi.


0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top