Monday, June 24, 2013

Eksistensi Mufti Kesultanan Aceh Dalam Manuskrip


Lembaga mufti kerajaan Aceh merupakan sistem struktural keagamaan yang diadopsi dari Haramain yang dipimpin oleh ulama kharismatik dikenal Syaikhul Islam. Walaupun memiliki tugas, peran dan fungsi di bidang keagamaan, akan tetapi posisi mereka jauh lebih besar dalam aplikasinya, sehingga merambah ke ranah politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Posisi strategis tersebut mampu merekonstruksi pemikiran masyarakat dan kesultanan setiap periodenya melalui karya-karya tulis mereka (manuskrip), yang terkadang dianggap sebagai politik keagamaan.
Lembaga tersebut semakin menunjukkan eksistensi periode Sultan Iskandar Muda, Syamsuddin al-Sumatra’i (w. 1630 M), dan semakin berkuasa saat dipimpin oleh Nuruddin ar-Raniry dengan "wewenang fatwanya" yang kontroversi, dan kembali harmonis saat dialihkan kepada Syekh Saifurrijal dan Syekh Abdurrauf al-Fansuri periode para Sultanah.
Lembaga mufti kerajaan dan Syaikhul Islam khususnya semakin memudar pasca Abdurrauf al-Fansuri (w.1693 M). Walaupun lembaga tersebut masih bertahan dari arus politik dan kekuasaan saat itu. Namun, tokoh-tokoh penting seperti Faiz al-Bahgdady dan Syekh Saifurrijal lawan debat versus Nuruddin ar-Raniry pun tak pernah muncul dalam kajian keilmuan. Padahal karya tulis ulama seperti Jalaluddin at-Tursani, Jamaluddin bin Kamaluddin, Baba Daud Rumi, Muhammad Khatib Langgien menunjukkan eksistensi mereka di lembaga mufti kerajaan sebagai keberlangsungan perkembangan keilmuan dan keagamaan di Aceh.

Artikel ini merupakan cuplikan dari tulisan di Seminar Internasional ICAIOS, 8-10 Juni 2013 di Lhokseumawe. 


0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top