Satu Syekh Tiga Panglima
Satu Tasbeh Tiga Makna
Satu Tasbeh Tiga Makna
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Sedangkan di Nusantara lebih dikenal dengan Syattariyah, awal perkembangannya di Aceh pada abad ke-17 M, kemudian merebak harum ke Melayu dan Nusantara. Setidaknya ada tiga tokoh utama yang menyebarluaskan ajaran tarekat Syattariyah, langsung berguru ke Jazirah Arab. Walaupun memiliki silsilah berbeda, mereka semuanya bertemu pada satu Syekh (guru).
Tiga tokoh utama pendiri tarekat Syattariyyah di Aceh adalah:
Silsilah Tarekat Syattariyah Jalaluddin ke Daud al-Fathani, kemudian ke Abdurrauf Al-Jawi al-Fansuri (Syekh Kuala) |
Tarekat Syatariyah masuk dan berkembang di Aceh hampir bersamaan dengan tarekat Qadiriyah. Sejauh ini, ‘Abd al-Raūf al-Fansuri (Syiah Kuala) (w. 1693 M) memiliki jaringan terluas di Nusantara, dan dapat dipastikan yang pertama. Dengan pengalamannya selama 19 tahun di Jazirah Arab dan “berguru Syatariyah” kepada Ahmad al-Qushāshī dan Ibrāhim al-Kurānī hingga dipercayakan untuk mengembangkan ajaran tarekat di Nusantara. Ia mampu mengorbitkan ulama-ulama dalam tarekat Syatariyah di seluruh wilayah Melayu-Nusantara, diantaranya Burhanuddin Ulakan, (w. 1699 M) dari Pariaman, Sumatra Barat, Abdul Muhyi (w. 1738 M) dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Yusuf al-Makassari (w. 1999 M) dari Sulawesi, dan Syaikh Abdul Malik bin Abdullah atau Tok Pulau Manis (1678-1736) dari Terengganu.
Salah satu kemudahan yang dimiliki oleh ‘Abd al-Raūf al-Fansuri dalam penyebaran tarekat Syatariyah adalah ia sebagai “orang dalam” di Kesultanan. Posisi penting yang diamanahkan tersebut telah menjadikan tarekat Syatariyah sebagai ajaran resmi di Kesultanan Aceh. Jika kita menilik kembali ke India, hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ‘Abdullah al-Syaṭṭār dan Muhammad Ghauts saat di India yang mendapat tempat di hati penguasa Sultan Moghuls, sehingga tarekat tersebut dapat bertahan sekian lama. Demikian juga kekuatan karakter tarekat Syatariyah di Aceh yang dibangun oleh para pemimpinnya dapat eksis di Kesultanan, serta mendapat tempat istimewa sebagai ajaran resmi keagamaan.
Sebagai tarekat yang memiliki posisi strategis, penempatan pemimpin tarekat Syatariyah pada posisi strategis sangat penting, seperti Syaikhul Islam dan atau Qadi al-Adil Kesultanan Aceh. Tarekat Syatariyah telah membangun pondasi dan regenerasi kepemimpinan tersebut periode Kesultanan. Pasca wafatnya ‘Abd al-Raūf al-Fansuri maka jabatan Qadi diberikan kepada pemangku tarekat Syatariyah, mulai Baba Dawud al-Jawi al-Rumi bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha ‘Ali al-Rumi, atau dikenal Teungku Chik di Leupue (karena dimakamkan di desa Leupue), sebagai murid dan partnernya. Selanjutnya, posisi Qadi Malik ‘Adil Kesultanan diembankan oleh Faqih Jalaluddin periode Sultan Alauddin Syah Johan (w. 1767 M) yang juga memiliki kesinambungan silsilah tarekat Syatariyah dengan ‘Abd al-Raūf al-Fansuri.
Kemudian, posisi strategis tersebut diteruskan oleh Muhammad Zain anak Faqih Jalaluddin tersebut, periode Sultan Alaiddin Mahmud Syah (w. 1781 M). Pengarang kitab Kasyf al-Kirām itu juga berafiliasi dalam tarekat Syatariyah dari jalur yang sama, ‘Abd al-Raūf al-Fansuri. Jenjang regenerasi tersebut menunjukkan kekuatan tarekat Syatariyah di Kesultanan yang dibangun oleh ‘Abd al-Raūf al-Fansuri hingga beberapa abad setelahnya. Namun sayang, jalur silsilah ini tidak diperoleh setelahnya hingga kini di Aceh. Sedangkan di luar Aceh, jalur ‘Abd al-Raūf al-Fansuri masih hidup hingga periode kemerdekaan, seperti di Sumatera Barat, Jawa Barat, Phatani dan Malaysia.
Syekh Abdul Wahab Tanoh Abee
Di Aceh, jalur ‘Abd al-Raūf al-Fansuri bukanlah satu-satunya penghubung tarekat Syatariyah dari dunia Islam (Mekah dan Madinah) ke dunia Melayu-Nusantara.