Thursday, March 19, 2015

Satu Syekh Tiga Panglima 
Satu Tasbeh Tiga Makna


Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang memopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Sedangkan di Nusantara lebih dikenal dengan Syattariyah, awal perkembangannya di Aceh pada abad ke-17 M, kemudian merebak harum ke Melayu dan Nusantara. Setidaknya ada tiga tokoh utama yang menyebarluaskan ajaran tarekat Syattariyah, langsung berguru ke Jazirah Arab. Walaupun memiliki silsilah berbeda, mereka semuanya bertemu pada satu Syekh (guru).
Tiga tokoh utama pendiri tarekat Syattariyyah di Aceh adalah:

Silsilah Tarekat Syattariyah Jalaluddin ke Daud al-Fathani, kemudian ke
Abdurrauf Al-Jawi al-Fansuri (Syekh Kuala)
Syekh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri 
Tarekat Syatariyah masuk dan berkembang di Aceh hampir bersamaan dengan tarekat Qadiriyah. Sejauh ini, ‘Abd al-Raūf al-Fansuri (Syiah Kuala) (w. 1693 M) memiliki jaringan terluas di Nusantara, dan dapat dipastikan yang pertama. Dengan pengalamannya selama 19 tahun di Jazirah Arab dan “berguru Syatariyah” kepada Ahmad al-Qushāshī dan Ibrāhim al-Kurānī hingga dipercayakan untuk mengembangkan ajaran tarekat di Nusantara. Ia mampu mengorbitkan ulama-ulama dalam tarekat Syatariyah di seluruh wilayah Melayu-Nusantara, diantaranya Burhanuddin Ulakan, (w. 1699 M) dari Pariaman, Sumatra Barat, Abdul Muhyi (w. 1738 M) dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Yusuf al-Makassari (w. 1999 M) dari Sulawesi, dan Syaikh Abdul Malik bin Abdullah atau Tok Pulau Manis (1678-1736) dari Terengganu.
Salah satu kemudahan yang dimiliki oleh ‘Abd al-Raūf al-Fansuri dalam penyebaran tarekat Syatariyah adalah ia sebagai “orang dalam” di Kesultanan. Posisi penting yang diamanahkan tersebut telah menjadikan tarekat Syatariyah sebagai ajaran resmi di Kesultanan Aceh. Jika kita menilik kembali ke India, hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ‘Abdullah al-Syaṭṭār dan Muhammad Ghauts saat di India yang mendapat tempat di hati penguasa Sultan Moghuls, sehingga tarekat tersebut dapat bertahan sekian lama. Demikian juga kekuatan karakter tarekat Syatariyah di Aceh yang dibangun oleh para pemimpinnya dapat eksis di Kesultanan, serta mendapat tempat istimewa sebagai ajaran resmi keagamaan.
Sebagai tarekat yang memiliki posisi strategis, penempatan pemimpin tarekat Syatariyah pada posisi strategis sangat penting, seperti Syaikhul Islam dan atau Qadi al-Adil Kesultanan Aceh. Tarekat Syatariyah telah membangun pondasi dan regenerasi kepemimpinan tersebut periode Kesultanan. Pasca wafatnya ‘Abd al-Raūf al-Fansuri maka jabatan Qadi diberikan kepada pemangku tarekat Syatariyah, mulai Baba Dawud al-Jawi al-Rumi bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha ‘Ali al-Rumi, atau dikenal Teungku Chik di Leupue (karena dimakamkan di desa Leupue), sebagai murid dan partnernya. Selanjutnya, posisi Qadi Malik ‘Adil Kesultanan diembankan oleh Faqih Jalaluddin periode Sultan Alauddin Syah Johan (w. 1767 M) yang juga memiliki kesinambungan silsilah tarekat Syatariyah dengan ‘Abd al-Raūf al-Fansuri.
Kemudian, posisi strategis tersebut diteruskan oleh Muhammad Zain anak Faqih Jalaluddin tersebut, periode Sultan Alaiddin Mahmud Syah (w. 1781 M). Pengarang kitab Kasyf al-Kirām itu juga berafiliasi dalam tarekat Syatariyah dari jalur yang sama, ‘Abd al-Raūf al-Fansuri. Jenjang regenerasi tersebut menunjukkan kekuatan tarekat Syatariyah di Kesultanan yang dibangun oleh ‘Abd al-Raūf al-Fansuri hingga beberapa abad setelahnya. Namun sayang, jalur silsilah ini tidak  diperoleh setelahnya hingga kini di Aceh. Sedangkan di luar Aceh, jalur ‘Abd al-Raūf al-Fansuri masih hidup hingga periode kemerdekaan, seperti di Sumatera Barat, Jawa Barat, Phatani dan Malaysia.

Syekh Abdul Wahab Tanoh Abee
Di Aceh, jalur ‘Abd al-Raūf al-Fansuri bukanlah satu-satunya penghubung tarekat Syatariyah dari dunia Islam (Mekah dan Madinah) ke dunia Melayu-Nusantara.

Tiga Tokoh Utama Pendiri Tarekat Syatariyah di Aceh dan Nusantara

Read More

Wednesday, March 11, 2015

Selama ini, banyak orang salah duga tentang tokoh-tokoh masa lalu yang memiliki kemiripan nama, dan atau tempat, bahka periode dianggap satu. Satu orang, satu peran dan pada satu masa. Beberapa tulisan sebelumnya di beberapa media saya pernah mengungkapkan tokoh Habib Bugak al-Asyi di Aceh belum dapat disebut sebagai tokoh Habiburrahman (Serambi Indonesia). Atau periode sebelumnya, tokoh alim yang berdebat dengan Nuruddin Ar-Raniry pada era Sultan Iskandar Tsani (m. 1640 M) adalah Syekh Syamsuddin As-Sumatrani (penasehat Sultan Iskandar Muda), bahkan sebagian buku "menuduh" adalah Hamzah Fansuri. Padahal para intelektual ini hidup pada tahun yang berbeda. Bukti kongkretnya adalah, syahidnya Syamsuddin As-Sumatrani pada tahun 1630 M disebutkan oleh Nuruddin Ar-Raniry dalm kitabnya Bustanus Salatin fi Zikril Awwalin wal Akhirin. Dan kemudian ia dimakamkan di negeri jiran.
Sedangkan Nuruddin Ar-Raniry sendiri tiba di Aceh pada tahun 1637, setahun setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda. Kemungkinan besar ia (Nuruddin ar-Raniry) setelah dekat dengan Kesultanan Pahang dijemput oleh pasukan Aceh dari Pasai ke Pahang menuju Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh). Nuruddin sendiri menyebut dalam beberapa kitab tauhid dan tasawufnya, bahwa perdebatannya tentang konsep wahdatul wujud dengan murid-murid Syamsuddin As-Sumatrani yang mengembangkan ajaran Hamzah Fansuri. Teks Tibyan fi Ma'rifat al-Adyan, Durr Faraid liabtal Aqwal Mulahid, Fathul Mubin, dan naskah lainnya yang merekam jejak ini.
Pada abad ke-18 dan 19 M, sebagaian peneliti menganggap adalah era kemunduran keilmuan dan intelektual di Aceh mungkin cukup pelik. Sebab, saya lebih cenderung menyebut adanya tranformasi ilmu dari satu tempat ke tempat lain. Sentral keilmuan di Aceh dapat disebut menyebar ke luar Bandar Aceh Darussalam, seprti ke Aceh Besar, Pidie dan Awee Geutah, bahkan keluar teritorial Aceh bermigrasi ke Pathani (Thailand Selatan) Padang, Banten, Sulawesi dan lainnya.
Periode 18-19 M merupakan episode penting bagi Aceh, pra dan pasca perang Aceh dengan Belanda. Ada tiga tokoh utama sebelum Aceh berkecamuk yang perlu dicermati dan mereka hidup di zaman yang berbeda dan memiliki peranan yang berbeda pula, ketiganya memiliki peranan penting dan luas dalam menjaga otoritas di Kesultanan dan pemimpin keagamaan di Aceh.

Tiga Rangkai Jalaluddin Aceh

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top