Thursday, June 25, 2020

Mewujudkan Aceh "Haji Independen", Mungkinkah.

Pasca Menteri Agama RI mengumumkan pemerintah Indonesia tidak memberangkatkan Jamaah Haji pada tahun ini (1441 H/2020 M) atau ditunda untuk tahun depan, maka pupuslah harapan banyak calon jamaah haji tahun ini yang telah menahun menunggu untuk menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Bukan hanya Indonesia yang membatalkan keberangkatan jamaah haji, beberapa negara yang memiliki penduduk muslim seperti Brunai Darussalam, Malaysia, Singapura, Mesir, dan Uzbekistan juga menunda keberangkatan hingga tahun depan.

Penundaan tersebut akibat dampak dari wabah Covid-19 melanda dunia, di mana Arab Saudi sampai saat ini (Syawal 1441 H/ Juni 2020 M) belum membuka pelayanan haji.

Aceh menjadi salah satu dampak terparah akibat dari penundaan ini. Sebab, merujuk ke laman Kemenag, provinsi Aceh menjadi salah satu wilayah yang mendapat masa tunggu paling lama dari beberapa provinsi lainnya, kisaran 26-30 tahun lama antrean.

Pada saat penundaan haji seperti tahun ini, tentu semakin memperpanjang masa tunggu calon jamaah haji dan umrah asal Aceh.

Namun, beberapa hari belakangan ini, senator Aceh di DPR RI, Fadhil Rahmi, mengemukakan bahwa kemungkinan jamaah haji asal Aceh dapat menunaikan ibadah haji secara independen berdasarkan amanah UUPA 2006 Pasal 16 dan ketersediaan fasilitas Aceh di Mekkah, salah satunya wakaf Baitul Asyi yang telah terjalin cukup lama.




Wakaf Baitul Asyi
Kabar wakaf Baitul Asyi (Rumoh orang Aceh) di Mekkah dan pemanfaatannya bagi jamaah haji Aceh bukan lagi berita baru. Sejak tahun 2006 hingga 2019 setiap jamaah haji asal Aceh telah menikmati kompensasi Baitul Asyi, sebagai ganti pemanfaatan dari tanah wakaf dan bangunan (hotel) di atasnya.

Menurut Adli (Serambi Indonesia (SI) 12/3/2018 dan SI 9/8/2019), wakaf indatu Aceh di Mekkah terdapat di beberapa lokasi. Beberapa telah dimanfaatkan untuk jamaah haji dan masyarakat asal Aceh, namun sebagian lagi belum jelas statusnya. Bahkan pada tahun 2018 sempat terjadi polemik wakaf Baitul Asyi yang di kenal wakaf Habib Bugak menjadi berita utama Serambi Indonesia dan ruang opini (lihat SI 19/3/2018).

Nama pewakaf Baitul ASyi "Habib bin Buja' al-Asyi al-Jawi" 

Sebenarnya, salah satu wakaf Baitul Asyi yang sering disebut-sebut dan telah diterima manfaat oleh jamaah haij adalah bernama al-Haj Habib bin Buja’ al-Asyi al-Jawi. Sederhananya, disebut Haji Habib anak Buja’ dari negeri Aceh-Jawi (yaitu negeri berbahasa Jawi/Melayu).

Pada baris bawah Nama Pewakaf Baitul Asyi "al-Mukarram al-Haj Habib bin Buja' al-Asyi" 







Dalam teks tidak tertulis “Habib min Bugak” (Habib dari Bugak). Namanya secara jelas dicatat/tulis dua kali dalam ikrar di depan Mahkamah Syariah Mekkah tertanggal 18 Rabiul Akhir 1224 H (2 Juni 1809 M), tidak ada nama samaran yang secara tekstual sudah tsiqah (kuat).

Maka, pewakaf Baitul Asyi adalah Haji Habib bin Buja’ al-Asyi bukanlah Habib Bugak sebagaimana yang berkembang selama ini, kemungkinan juga bukan habib yang berasal dari Bugak, bukan juga Habib Abdurrahman al-Habsyi  al-Asyi.

Sejauh ini belum ada dokumen manapun yang menyebut keduanya sama atau berasal dari sana, kedua adalah tokoh yang berbeda. Silahkan Pemerintah Aceh membuka dan membaca kembali dokumen akta ikrar yang telah diterima dua kali dari Nazir Wakaf pada tahun 2002 dan 2006.

Hal ini penting diungkapkan, supaya manfaat jariah wakaf Baitul Asyi yang diterima oleh jamaah haji asal Aceh dengan benar tersampaikan kepada nama yang telah tertera dalam ikrar tersebut.

Tanah dan Bangunan di atasnya dengan label tertulis "Wakaf Habib Buja' al-Asyi (2)"


Nasib Haji Aceh (Dulu dan Sekarang)
Fakta kasus masa antrean yang cukup lama berangkat haji dan pemanfaatan Baitul Asyi untuk calon jamaah haji bukan kali ini saja. Jika kita bersedia menoleh ke belakang, pada tahun 2010, Muhammad Nazar (saat itu menjadi Wakil Gubernur Aceh 2007-2012) juga mengeluh antrean panjang calhaj Aceh dan belum dapat memanfaatkan wakaf Baitul Asyi untuk Aceh.

Saat peresmian “peusijuek” pembangunan pemondokan baru jamaah haji Aceh tahun 2010, dan rampung tahun 2014 yang dapat menampung 5.000 jamaah. Harapan Wakil Gubernur saat itu dapat menampung jamaah haji asal Aceh.

Jika merujuk data jamaah haji Aceh tahun 2019 sebanyak 4.393 jemaah haji Aceh, dan tahun rencananya tahun ini (2020) sebanyak 4.187 jamaah sudah tertampung dalam satu hotel tersebut.

Tentu ini akan memudahkan pengontrolan dan pengawasan jamaah haji Aceh dalam satu area hotel. Ini sekaligus menyelesaikan persoalan pemondokan yang dikeluhkan jamaah Aceh setiap tahunnya, baik kualitas, jarak dan pelayanannya.

Sayangnya, Menteri Agama telah mengirimkan surat kepada pihak Pemerintah Arab Saudi (9//6/2020) pemberitahuan pembatalan jamaah haji seluruh WNI baik reguler/mujamalah, khusus/furada, dan seluruh WNI untuk tahun ini.

Itu artinya, jamaah haji Aceh masih memegang paspor Indonesia terkena imbasnya. Oleh karena itu, sedikit peluang untuk tahun ini dan butuh diplomasi intens serta lobi serius dari segala lini untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Jika pelayanan haji dibuka oleh Pemerintah Arab Saudi, maka pemanfaatan Baitul Asyi tahun ini dapat diwujudkan, sebab kemungkinan besar tidak digunakan untuk jamaah lain. Namun persoalan tersebut tidak gampang, izin keberangkatan dan pelayanan jamaah haji masih berada di tangan Pemerintah Indonesia (BPIH/Kemenag)

Kecuali untuk tahun ini, persiapan juga harus difokuskan untuk ke depan pemanfaatan hotel Baitul Asyi yang dapat memangkas masa tunggu jamaah Aceh (29-30 tahun). Diplomasi ini dapat dilakukan dengan pihak pengembang dan lembaga wakaf Baitul Asyi di Mekkah. Lebih baik dapat menunaikan ibadah haji secepatnya, daripada menikmati bagi hasil Baitul Asyi dengan masa tunggu yang lama.

Perjuangan dan pengorbanan orang Aceh telah tercatat cukup lama, sejak masa perompak kolonial di laut Arab masa kerajaan Aceh, era perang Belanda dan masa konflik. Semua tidak dapat meredam semangat dan tekad untuk “syahid” di tanah mulia (Mekkah-Madinah).

Keyakinan fundamental tersebut telah tertanam sejak dini untuk memenuhi rukum Islam kelima. Kini, menjadi PR untuk Pemerintah Aceh dan DPRA untuk memenuhi “mimpi” calon jamaah haji.

Ini tidak dapat dilakukan dari satu pihak saja, tapi keterlibatan BPIH Aceh-Indonesia, Pemda Aceh, DPRA dan DPR RI, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi sangat penting. Pertanyaannya, mampukah lobi itu terwujud.?

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top