Sunday, March 20, 2022

Emas Hitam Idi Aceh Timur dan Tenggelamnya Kapal van Wijk.

 


Perang Aceh melawan kolonial Belanda masih menyisakan perlawanan-perlawanan kecil di beberapa wilayah pada tahun 1927. Namun sebagian lainnya telah dikuasai penuh dengan bentuk "Korte Verklaring" atau juga "Domein Verklaring" antara Belanda dengan pemimpin lokal Aceh dikenal uleebalang atau hulubalang, dan sekaligus para pemilik tanah. 

Sebenarnya sebagian besar para hulubalang Aceh tidak pro-Belanda, apalagi anti terhadap perjuangan pejuang-pejuang Aceh. Akan tetapi, lebih mencari posisi aman dengan sikap aturan ganda. Satu sisi mereka menyelamatkan harta kekayaan dan tetap bisa eksis berbisnis, di sisi lain mereka harus membayar pajak dan selalu dalam bayangan teror, dari kedua belah pihak.  

Sejak ditemukannya minyak bumi di Idi Rayeuk, di kawasan "Julok Rayeuk" (Djoeloe Rajeu) telah membuat sebagian besar kolonial Belanda beralih ke Idi, Aceh Timur, menanggalkan wilayah-wilayah pesisir Aceh Besar dan Pidie. Apalagi, kawasan Aceh Timur lebih dekat ke Pangkalan Susu, Pulau Sembilan dan Pulau Kampai yang relatif aman untuk berlabuh kapal-kapal Belanda daripada pelabuhan-pelabuhan di Lhokseumawe, Langsa dan atau Aceh Timur.   







J.H.L van Wijk salah seoarng pengusaha dari Belanda menandatangani kontrak lima tahun dengan Batavian Petroleum Company (BPC) pada tahun 1927 dan memulai proyek pengeboran minyak bumi di "Djoeloe Rajeu" (Julok Rayeuk ?) Idi Aceh Timur. 

Melihat keuntungan besar, J.H.L van Wijk pun tak segan-segan mengucurkan dan membangun infrastuktur modern sekaligus membuat sebuah pemukiman di pedalaman Aceh Timur. 



 Mesin-mesin besar ditempatkan di pedalaman dengan pengawalan ketat dari serdadu Marsose dan serdadu Belanda. Pasukan Marsose yang beranggota penduduk pribumi yang direkrut dan dibayar oleh Belanda diletakkan pada ring paling luar, untuk menangkis serbuan musuh. Sedangkan pasukan Belanda menjada di kawasan utama. 



 

Hutan-hutan lebat nan subur oleh fauna dibabat habis untuk bisa dibangun pabrik sekaligus barak-barak tentara Belanda. Mereka memburu para pejuang di dalam hutan sambil mengeruk hasil alamnya. 



Para pekerja lokal dipaksa bekerja rodi tanpa gaji apalagi pesangon (bonus). Para pejuang Aceh yang ditangkap biasanya tangan dan atau kaki mereka dirantai, guna tidak dapat melawan ataupun melarikan diri. Para pekerja dipaksa untuk tidka mampu memberikan segala perlawanan.

Minyak-minyak bumi ini diolah dan ditempatkan di Aloer-I-Merah (Alue Ie Mirah) sebelum diolah dan digiling di Medan. 


 

Gambar-gambar ini membuktikan Kompani Belanda mengeruk minyak bumi atau dikenal "emas hitam" di pedalaman Idi, dan menyalurkan melalui pipa-pipa ke Alue Ie Mirah (Aloer-I-Merah), dan diteruskan ke Medan untuk ekspor ke Eropa. Untuk melancarkan bisnisnya direkrut pekerja luar dan pekerja lokal. 




Penjajahan bukan hanya sebatas penaklukan suatu wilayah, tetapi juga mengeruk hasil alam dan menindas penduduk di negeri tersebut.


Sumber foto: KITLV

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top