Foto Bersama Tim UiTM Malaysia dengan Fak Adab IAIN Ar-Raniri |
Dalam presentasi tersebut yang menjadi tanda tanya besar adalah, Berapakah jumlah naskah yang hancur dan musnah akibat Gempa-Tsunami 2004 di Aceh? Dan, berapakah manuskrip yang tersisa saat ini? Bagaimana pemeliharaan, restorasi, digitalisasi, dan yang terpenting pengkajian dan penelitian terhadap sumber-sumber primer tersebut.
Pemeliharaan dan pelestarian (preservasi) yang telah dan sedang dilakukan di Aceh selama ini,
apakah dapat memberi banyak peluang untuk masyarakat dan pelajar untuk belajar dari apa yang pernah terjadi di Aceh, warisan yang sangat berharga dan banyak, namun terbengkalai. Beberapa lembaga pemerintah dan swasta -termasuk kolektor pribadi dan warisan keluarga- yang telah menampung banyak naskah belum cukup mampu mengatasi problema terhadap manuskrip itu sendiri. baik dari kehancuran akibat bencana alam, maupun dari kerusakan internal sendiri akibat bakteri, jamur, serangga, ataupun keasaman tinta.
Aceh memiliki posisi dan peranan yang sangat penting dan signifikan dalam konteks dunia Pernaskahan Melayu-Nusantara, terutama kontribusinya terhadap khazanah naskah (manuscript) Aceh dan Melayu (Arab-Jawi) di bidang sejarah, sastra, pemikiran Islam dan kearifan pengetahuan masyarakat. Dalam konteks khazanah dan tradisi keilmuan, Aceh mewariskan teks-teks naskah yang cukup mapan dan sangat kaya, sejak abad ke-16 hingga ke-20 M, yang tersebar di seluruh wilayah Aceh, Nusantara dan luar negeri.
Apabila dijumlahkan seluruh naskah aksara Jawi berbahasa Aceh, Arab dan Melayu di seluruh skriptorium (koleksi) naskah, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri, maka tidak kurang dari ribuan teks naskah otoritaf (original) dan salinannya. Teks naskah otoritatif mungkin sangat sulit ditemukan pada karya kitab-kitab naskah kuno di Aceh, mayoritas yang ditemukan sekarang adalah salinannya, kecuali surat-surat berharga dan sarakata yang masih tersimpan baik dan rapi.
Akumulasi angka tersebut tentu akan mencapai jumlahnya atau lebih, jika dirunut sebelum tragedi gempa dan Tsunami Aceh-Nias pada 26 Desember 2004. Hingga sebelum tragedi bencana dunia tersebut, Aceh memiliki beberapa lembaga yang mengoleksi naskah-naskah Jawi (Bahasa Aceh dan Melayu) dan Arab, seperti di Museum Negeri Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH), semuanya berlokasi di Banda Aceh. Zawiyah Tanoh Abee di Seulimuem, Aceh Besar, dan Dayah Awee Geutah, Bireuen.
Sedangkan di koleksi pribadi terdapat di beberapa masyarakat, di antaranya Tarmizi A Hamid, Samsul Anwar, Harun Geuchik Leumik, semuanya berada di Banda Aceh. Syahrial bin Zainun Idris dan Tgk Adnan Hasyim di Aceh Besar, dan Hasballah Teupin Raya Pidie.
Pada tahun 2004, menjadi bencana besar bagi dunia pernaskahan Aceh dan Melayu, khususnya di Aceh, karena beberapa gedung lembaga yang menyimpan naskah hancur akibat terjangan gempa-Tsunami. Di antaranya adalah gedung PDIA, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, dan Balai Perpustakaan Daerah Aceh (BPDA), dan sebagian koleksi Tarmizi A Hamid, seluruh koleksi tersebut hilang dan hancur.
Menurut T.E Behrend (1998) dalam katalognya, jumlah naskah koleksi PNRI mencapai 9870 naskah berbagai bahasa pada tahun 1996, dan yang dimikrofilmkan sekitar 4621 teks naskah, atau sekitar 773.565 halaman, yang menghabiskan 859 rol microfilm. Dari jumlah tersebut, naskah berbahasa Aceh yang terdata di PNRI sekitar 73 naskah dalam subkoleksi Verschillende Talen (VT) dan puluhan dalam subkoleksi lain, dan 594 naskah Jawi dalam koleksi Melayu (ML). Jumlah tersebut tidak termasuk naskah yang diperoleh PNRI pasca gempa-Tsunami 2004 dari masyarakat Aceh. Mengenai jumlah naskah Melayu, Ismail Husein (1974) pernah mengemukakan angka 5.000, Chambert-Loir (1980) menyebut 4.000, dan Russel Jones sampai pada angka 10.000 (Mulyadi, 1994).
Menurut T.E Behrend (1998) dalam katalognya, jumlah naskah koleksi PNRI mencapai 9870 naskah berbagai bahasa pada tahun 1996, dan yang dimikrofilmkan sekitar 4621 teks naskah, atau sekitar 773.565 halaman, yang menghabiskan 859 rol microfilm. Dari jumlah tersebut, naskah berbahasa Aceh yang terdata di PNRI sekitar 73 naskah dalam subkoleksi Verschillende Talen (VT) dan puluhan dalam subkoleksi lain, dan 594 naskah Jawi dalam koleksi Melayu (ML). Jumlah tersebut tidak termasuk naskah yang diperoleh PNRI pasca gempa-Tsunami 2004 dari masyarakat Aceh. Mengenai jumlah naskah Melayu, Ismail Husein (1974) pernah mengemukakan angka 5.000, Chambert-Loir (1980) menyebut 4.000, dan Russel Jones sampai pada angka 10.000 (Mulyadi, 1994).
Sebagai catatan, bahwa manuskrip Aceh tidak hanya tersimpan di Aceh. Akan tetapi juga tersimpan di luar negeri. Naskah Aceh dan Jawi tersimpan rapi di hampir seluruh Negara. Dan, Belanda, Malaysia dan Inggris menjadi tempat paling banyak dan lengkap yang menyimpan manuskrip Aceh-Melayu. Di Malaysia, terdapat di beberapa tempat, (Perpustakaan Negara Malaysia (PNM), Dewan Bahasa dan Pustaka), Belanda (Amsterdam, Arnhem, Leiden Library University, Universiteitsbibliotheek, Rotterdam, Utrecht, Den Haag), Belgia (Antwerpen), Inggris (British University, Manchester). Kemudian, menyusul negara Brunai Darussalam, Australia, Amerikat Serikat, Perancis, India, Afrika Selatan, Austria, Belgia, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, Irlandia, Italia, Jerman, Mesir, Norwegia, Polandia, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilangka, Swiss, Turki, dan Thailand.
Akhir dari penyampaian materi tersebut, program-program restorasi dan digitalisasi harus terus dilakukan, khususnya oleh lembaga-lembaga (SDM) lokal, untuk pembelajaran dan tranfer ilmu pengetahuan. Dan, yang lebih penting adalah mewujudkan lembaga pengkajian manuskrip di Aceh, untuk dapat menampung para peneliti dan pengkaji lokal yang konsent terhadap manuskrip Aceh.
0 comments:
Post a Comment