(Serambi Indonesia, Jum'at, 24 Februari 2012)
BERITA “Cina akan Bangun Museum Alquran” yang dimuat dalam rubrik Internasional di Harian Serambi Indonesia, Sabtu (18/2), telah mendorong saya untuk mengamati dan coba menghubungkannya dalam konteks Aceh. Kita patut memberikan apresiasi atas komitmen Otorita Dongxiang, Provinsi Gansu, Cina, yang ingin membangun museum ini dikarenakan penemuan Alquran kuno yang ditulis dengan tulisan tangan (manuskrip), yang diperkirakan disalin abad ke-9 dan 11 Masehi.
BERITA “Cina akan Bangun Museum Alquran” yang dimuat dalam rubrik Internasional di Harian Serambi Indonesia, Sabtu (18/2), telah mendorong saya untuk mengamati dan coba menghubungkannya dalam konteks Aceh. Kita patut memberikan apresiasi atas komitmen Otorita Dongxiang, Provinsi Gansu, Cina, yang ingin membangun museum ini dikarenakan penemuan Alquran kuno yang ditulis dengan tulisan tangan (manuskrip), yang diperkirakan disalin abad ke-9 dan 11 Masehi.
Imam Ma Qingfang, sebagai pemilik Alquran kuno “level A” tersebut menolak tawaran luar negeri. Ia percaya dan akan lebih sangat berharga untuk menjaga tetap di wilayahnya sebagai “kitab jiwa” di negeri Tirai Bambu itu. Dengan demikian, koleksi tersebut melengkapi beberapa inventarisasi koleksi sebelumnya di wilayah Dongxiang yang mencapai 46 salinan Alquran kuno.
Usaha dan tekad tersebut mendapat apresiasi Pemerintah setempat, bak gayung bersambut, Pemerintah Cina
membangun Museum Alquran dengan teknologi canggih untuk menjaga ketahanan lembaran-lembaran kuno dan mengurangi dari kerusakan karena usia, kelembaban cuaca serta bakteri pada kertas.
Hal ini tidak mengherankan, karena Cina merupakan salah satu negara di Asia yang sangat menjunjung sejarahnya, menghargai peninggalan masa lalu, menjaga warisan budaya, dan mengapresiasi dalam bentuk pengkajian yang dapat dikembangkan untuk masa mendatang.
Sahabat tertua
Bagi Aceh, Cina merupakan sahabat tertua, keduanya memiliki hubungan historis yang sangat kuat, dan telah menjalin kerja sama di berbagai bidang, termasuk hubungan dagang dan budaya sejak awal abad ke-9. Persahabatan tersebut semakin mesra pada saat Laksamana Cheng Ho menghadiahkan lonceng besar “Cakra Donya” untuk Sultan Pasai pada 1409 M (812 H), yang kini tergantung megah di pelataran depan Museum Negeri Aceh, di Banda Aceh.
Peranan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam terbesar pada abad tersebut menjelma menjadi pusat Islam Asia Tenggara, pusat perdagangan, transit pelabuhan Internasional dan memiliki komiditi lada terbaik yang diekspor ke India dan Cina. Sebaliknya, dari negeri tembok raksasa diimpor barang-barang seperti kain sutera, keramik dan lainnya masuk ke Pasai.
Di Aceh, Mushaf Alquran kuno dan manuskrip bukanlah hal langka, ada sekitar 3.500 ribu lebih naskah kuno tersebar di Aceh yang sudah teridentifikasi. Setengahnya tersimpan di Museum Aceh, sisanya di Zawiyah Tanoh Abee dan kolektor pribadi masyarakat.
Sebagian kondisinya terbengkalai dan mengkhawatirkan, karena tersimpan di gudang, kolong atap meunasah atau mesjid, dan berserakan di rumah-rumah masyarakat perawatan tradisional. Itu pun belum termasuk kategori manuskrip Aceh di luar negeri yang terjual dan terjarah.
Mushaf Alquran kuno Aceh dapat dikenali dari motif, bentuk, corak dan warna hiasannya yang sangat khas dan terpadu. Gaya dan ciri khas iluminasi (illumination) di dalam Mushaf Alquran Aceh tercermin dari motif hiasan dan ukiran yang lebih didominasi warna merah, hitam dan kuning, yang berbeda dengan motif dan khat Rasm Ustmani yang disebar pada abad ke-7 M.
Pencetus iluminasi
Oleh karena itu, penyalinan Mushaf Alquran pertama kali dimulai di Aceh untuk wilayah Melayu-Nusantara, sekitar abad ke-11 dan secara resmi abad ke-13 periode Kesultanan Pasai, termasuk pencetus iluminasi yang berbeda dari Mushaf di Timur Tengah, Turki Ustmani dan Afrika.
Setidaknya ada tiga lembaga yang mengoleksi Alquran, seperti Museum Negeri Aceh kurang lebih 38 Alquran, walaupun angka ini belum dapat dipastikan secara mutlak. Kemudian, Museum Ali Hasjmy di Jalan Jend Sudirman, Banda Aceh, menyimpan 20 Alquran, dan Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar, mengoleksi 23 Alquran.
Selain di tiga tempat atau lembaga tersebut, di Aceh, sejumlah Alquran juga dijaga kesuciannya dengan setia secara personal, yang sama bernilai dan berharga, seperti koleksi Tarmizi A Hamid dan Harun Keuchik Leumik, keduanya di Banda Aceh, Syahrial bin Zainun Idris di Aceh Besar, dan lainnya yang belum terinvetarisir.
Sedangkan di luar negeri, Alquran motif Aceh tersebar di beberapa negara Asia, Arab dan Eropa. Malaysia telah mengoleksi tidak kurang dari 10 Alquran di empat tempat berbeda. Demikian beberapa mushaf di Museum Brunei Darussalam, dan puluhan koleksi Aceh di Belanda, terutama di Leiden, Universiteitsbibliotheek dan Amsterdam.
Pertanyaannya, apakah ada Mushaf Alquran bermotif Aceh di koleksi Cina? Kemungkinan tersebut mungkin saja ada, mengingat hubungan sejarah keduanya sangat harmonis dan kental pada masa lalu. Tentunya, akan lebih menarik untuk didalami hubungan sejarah Alquran keduanya, pengaruh budaya dan iluminasi Aceh di Cina, dan paling penting, tokoh-tokoh Aceh yang berdakwah di Cina, termasuk penyalinan Mushaf Alquran kuno.
Akses informasi
Bercermin kepada komitmen negeri Cina, kita akan melihat ketimpangan yang terjadi di negeri kita. Fungsi Museum yang diharapkan dapat memberikan akses informasi tentang masa lalu, ternyata dalam kenyataannya kini tidak lebih dari seonggok gedung yang membisu.
Dengan segudang dokumentasi dan naskah kuno yang dimiliki dan tersimpan di dalamnya, tak mampu menjadi daya tarik bagi pengunjung dari dalam dan luar negeri, serta tidak menjadi pilihan utama bagi para peneliti. Ini, tentunya, disebabkan ada mekanisme dan birokrasi yang amburadul.
Persoalan itu pun ditambah lagi dengan tidak adanya sumber daya manusia (SDM) di bidang-bidang penting seperti ahli Mushaf Alquran, Iluminasi dan Seni Islam, Filolog (pengkaji naskah) dan Kodikolog. Di sisi lain, koordinasi antara beberapa lembaga terkait di bidang dokumentasi, informasi dan kearsipan, khususnya untuk koleksi data naskah kuno masih nihil, bahkan tidak ada.
Gedung-gedung itu semakin semrawut manajemennya, apalagi tidak mendapat subsidi dan alokasi dana yang cukup dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, terutama tidak ada kebijakan yang mendukung program-program tersebut.
Demikian pula program wisata Islami Aceh yang digadang-gadangkan pemerintah ternyata kerap menjadi sorotan, karena peninggalan dan warisan Islam di Aceh sama sekali tidak terealisasi dan jauh dari perhatian pemda.
Seharusnya, ini menjadi tamparan sekaligus pelajaran untuk Pemerintah Aceh, karena Cina dengan koleksi 46 mushaf mereka memiliki komitmen untuk membangun museum modern dan canggih. Lantas, bagaimana komitmen Aceh “negeri syariat” yang memiliki lebih seratus mushaf Alquran kuno sejak puluhan tahun silam? Wallahu’alam.
* Hermansyah, MA.Hum, Magister Bidang Filologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan sekarang sebagai Staf Pengajar Kajian Naskah pada Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2012/02/24/mushaf-alquran-dari-aceh-ke-cina
0 comments:
Post a Comment