Manuskrip Tibyan fi Ma'rifat al-Adyan di Aceh |
Masih segar di ingatan kita, menjadi sorotan tajam pendangkalan akidah yang terjadi di Aceh Barat terhadap masyarakat di wilayah ini, misi pengkafiran dilakukan dengan berbagai metode dan cara, salah satunya dengan subsidi dana dari pihak tertentu (ekonomi). (baca: Serambi, bulan Sept-Okt 2010), atau kasus terbaru di wilayah Bireuen dan sekitarnya, sebagaimana pernyataan Wakil Gubernur Aceh (Serambi, 6 April 2011).
Sebenarnya, aliran sesat di Aceh bukan fenomena baru, setidaknya jika merunut melalui sejarah dari kesultanan Aceh hingga pra kemerdekaan Indonesia. Berbagai aliran sesat dan pencegahannya baik secara represif maupun demokratis dalam beberapa periode, dan didukung peran kerajaan Aceh baik langsung maupun tidak dalam penuntasan berbagai problema aliran keagamaan.
Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) adalah cerminan terhadap fatwa lembaga Mufti Islam Mesjid Raya Baiturrahman pada sultan Iskandar Tsani yang sudah dibentuk oleh para sultan sebelumnya . Pada periode Iskandar Tsani dipimpin oleh ulama asal India, Nuruddin ar-Raniri. Menurut beberapa pendapat ilmuwan, ia termasuk berhasil membentengi pengaruh-pengaruh mistik lokal dan ajaran diluar syariat masuk ke dalam Islam murni, yang ia sebut Islam Sunni.
Naskah Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan (Penjelasan terhadap agama-agama) adalah naskah karyanya dalam proses pencegahan dan penghentian kegiatan aliran kepercayaan yang sesat dan mulhid, manuskrip tersebut ia tulis pada masa sultanah Tajul Alam Safiatuddin sebagai pegangan ummat (khususnya rakyat Aceh) untuk tetap pada keyakinan, ibadah dan muamalah dijalan yang benar.
Dalam kitabnya tersebut, ia menyebutkan ada 72 sekte sesat pasca wafatnya Nabi Muhammad, sebagian aliran tersebut ada di Aceh pada masa kerajaan Aceh, salah satunya dinamakan Tanasukhiyah, yaitu suatu pemahaman serupa dengan reinkarnasi, bahwa jiwa manusia yang meninggal akan menyatu atau lahir kembali ke bentuk yang sama ataupun berbeda.
Paham Millata Abraham yang beredar di Aceh sekarang, tak jauh berbeda dengan paham yang diungkapkan dalam naskah Tibyan pada abad ke 17, seperti sekte Zammiyah yang menyatukan semua agama dibawah ajaran nabi Ibrahim, atau aliran Abadiyah dan Rajiyah mereka menyakini bahwa masih ada titisan kenabian kepada manusia setelah wafatnya Rasulullah (Nabi Muhammad). Sepertinya paham-paham tersebut kembali subur di Indonesia, khususnya di Aceh dengan label dan stempel yang berbeda.
Demikian lagi dijelaskan dalam kitabnya, mufti kerajaan Aceh melarang 13 aliran sufi (tarekat) yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di wilayah Aceh, sebagaian besar tarekat-tarekat tersebut menyatu di tengah-tengah masyarakat Aceh pada masa tersebut. Sebagaimana dikenal bahwa Aceh menjadi pintu gerbang keislaman di dunia Melayu-Nusantara, menjadi awal terbentuknya pemikiran keislaman di Nusantara.
Aliran tasawuf yang berkembang di Aceh adalah pencetus berbagai tarekat yang menyebar ke seluruh Nusantara, Aceh menjadi sentral pemikiran keagamaan dan pengamalan sufistik (tarekat), dan terus berkembang hingga sampai abad ke 20. Kemudian pada periode ini (abad 20) sebagian tarekat dikenal dengan salek buta. Yaitu ajaran tarekat terhadap hakikat tanpa syariat dan beberapa paham lainnya yang melenceng dari Islam, para ulama Ahlussunnah wal Jamaah di Aceh menganggap aliran tersebut sesat.
Fenomena keagamaan masyarakat Aceh pada masa kerajaan tak terlepas dari pengaruh Eropa, selain dari unsur kerjasama perdagangan dan bisnis (ekonomi) yang terjalin, juga unsur missionaris tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan kini, sebagai perulangan sejarahsaat terajut hubungan Aceh dengan negara-negara luar dalam hal pembangunan infrastruktur, diharapkan tidak membuka peluang pemurtadan dalam bentuk apapun sebagai ucapan terima kasih.
Euforia berlebihan masyarakat Aceh terhadap label negeri syariat selama ini telah meruntuhkan pondasi keimanan generasinya, pengalihan kewajiban dalam pembinaan masyarakat serta arus informasi yang kurang mendidik. Mengadopsi metode, kurikulum dan pemikiran non Islami dan meninggalkan warisan peunutoh, ternyata melumpuhkan keimanan para intelek-intelek muda di perguruan tinggi, sebagai penerus bangsa.
Pengawasan dan perhatian orang tua memang menjadi kunci utama, namun metedologi pemurtadan dikemas dalam nuansa Islam lokal Aceh menjadi sulit dipahami oleh setiap masyarakat awam. Sisi lain, pemanfaatan situasi dan kondisi di Aceh menjadi kesempatan emas dan ruang terbuka untuk menyusup ke dalam masyakarat Aceh.
Upaya dan tindakan pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan MPU perlu diapresiasikan, dan seterusnya melakukan berbagai langkah-langkah yang preservasif dan baik untuk pemurnian akidah untuk pengikut aliran sesat di Aceh. Upaya-upaya lainnya seperti efektifitas dayah dan dunia pendidikan Islam, sinerginitas ulama dan umara dalam pendalaman akidah bukan sekedar lembaran draft.
Hadirnya peraturan Gubernur Aceh tentang larangan aliran sesat, bukan berarti selesai sudah pekerjaan kita, namun implementasi dan pengawasan menjadi bagian penting untuk dapat membentengi iman dan akidah generasi Aceh ke depan, karna misi pendangkalan akidah bagai api dalam sekam, pada suatu saat nanti akan kembali menyala, dan dapat menghanguskan pundi-pundi keimanan dari dalam, yaitu oleh orang Aceh sendiri.
0 comments:
Post a Comment