Di era orde
baru dan awal reformasi, perhatian terhadap pelestarian naskah belum memadai
dikarenakan beberapa faktor, antaranya situasi politik Aceh dengan konflik
vertikal berkepanjangan, ternyata banyak mempengaruhi ke sektor lain, termasuk
pendidikan, budaya dan penelitian keilmuan. Faktor lainnya yang mempengaruhi
lemahnya regulasi pemerintah terhadap pelestarian warisan tulis adalah minimnya
sumber daya manusia (SDM) di Aceh. Akibatnya, pengetahuan seputar ilmu filologi
dan pernaskahan (manuskrip) tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk pelajar
dan para pewaris manuskrip itu sendiri.
Sebenarnya, program
kegiatan pemeliharaan (preservation) sudah dikenal sejak dahulu, dan
pasca gempa-Tsunami 2004 terus tumbuh berkembang dalam dunia pernaskahan Aceh, preservasi
masa mendatang dapat meliputi; Inventarisasi naskah, Katalogisasi, Restorasi
naskah, Digitalisasi naskah, Database (pangkalan data), dan Tipologi kajian
(analisis) teks, naskah serta kajian kontekstual. Sebahagiannya sudah dilakukan
secara berkelanjutan, walaupun belum ada prioritas kebijakan terhadap
program-program tersebut, sehingga belum ada sinerginitas antara satu lembaga
dengan lainnya. Secara periodik, perhatian terhadap preservasi naskah di
masyarakat dapat dipilah menjadi dua bagian sesuai
dengan situasi dan kondisi Aceh, yaitu pra dan pasca bencana alam dan bencana
kemanusiaan. Hal itu untuk memudahkan melihat regulasi pemerintah dan perhatian
masyarakat terhadap kearifan dan pengetahuan untuk merevitalisasi pengetahuan budaya
dan kultur masa lalu dengan konteks sekarang dengan jumlah ribuan naskah di
Aceh.
Akumulasi angka
tersebut tentu akan mencapai jumlahnya jika dirunut sebelum tragedi gempa dan tsunami
Aceh-Nias pada 26 Desember 2004 atau sesudahnya. Hingga sebelum tragedi bencana
dunia tersebut, Aceh memiliki beberapa lembaga yang mengoleksi naskah-naskah
Jawi (Bahasa Aceh dan Melayu) dan Arab, seperti di Museum Negeri Aceh, Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional, Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH) berlokasi di Banda
Aceh. Zawiyah Tanoh Abee di Seulimuem, Aceh Besar, dan Dayah Awee Geutah,
Bireuen.
Selain di Aceh,
naskah-naskah kuno juga tersimpan di luar Aceh, koleksi terbanyak di
Perpustakaan Nasional RI (PNRI) Jakarta. Menurut T.E Behrend (1998) dalam
katalognya, jumlah naskah koleksi PNRI mencapai 9870 naskah berbagai bahasa
pada tahun 1996, dan yang dimikrofilmkan sekitar 4621 teks naskah, atau sekitar
773.565 halaman, yang menghabiskan 859 rol microfilm. Dari jumlah tersebut,
naskah berbahasa Aceh yang terdata di PNRI sekitar 73 naskah dalam subkoleksi
Verschillende Talen (VT) dan puluhan dalam subkoleksi lain, dan 594 naskah Jawi
dalam koleksi Melayu (ML). Jumlah tersebut tidak termasuk naskah yang diperoleh
PNRI pasca gempa-Tsunami 2004 dari masyarakat Aceh. Mengenai jumlah naskah
Melayu, Ismail Husein (1974) pernah mengemukakan angka 5.000, Chambert-Loir
(1980) menyebut 4.000, dan Russel Jones sampai pada angka 10.000 (Mulyadi,
1994).
Sedangkan di
luar negeri, naskah Aceh dan Jawi tersimpan rapi di hampir seluruh Negara. Dan,
Belanda, Malaysia dan Inggris menjadi tempat paling banyak dan lengkap yang
menyimpan manuskrip Aceh-Melayu. Di Malaysia, terdapat di beberapa tempat,
(Perpustakaan Negara Malaysia (PNM), Dewan Bahasa dan Pustaka), Belanda
(Amsterdam, Arnhem, Leiden Library University, Universiteitsbibliotheek,
Rotterdam, Utrecht, Den Haag), Belgia (Antwerpen), Inggris (British University,
Manchester). Kemudian, menyusul negara Brunai Darussalam, Australia, Amerikat
Serikat, Perancis, India, Afrika Selatan,
Austria, Belgia, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, Irlandia, Italia, Jerman,
Mesir, Norwegia, Polandia, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilangka, Swiss, Turki,
dan Thailand. (Chambert-Loir, 1999)
Di Aceh, tahun
2004 menjadi bencana besar bagi dunia pernaskahan Aceh dan Melayu, karena
beberapa gedung lembaga yang menyimpan naskah hancur akibat terjangan tsunami
dan goyangan gempa. Di antaranya adalah gedung PDIA dan Balai Perpustakaan
Daerah Aceh (BPDA), seluruh koleksi dua lembaga tersebut hilang dan hancur. Di
PDIA misalnya, ada sekitar 82 naskah yang hanyut dibawa tsunami, dan tidak
diperoleh satupun fisik naskah, padahal beberapa judul naskah langka dan sangat
sulit diperoleh variannya, seperti Kasyf an-Nuqab ‘an Nuzhat at-Thullab karya
Abdurrauf al-Fansuri, Salasilah Tok Abdul Jabar bin Tok Usman ditulis
oleh Usman bin Dato’ Abdul Hamid, Kurrasat an-Nur Tgk Haji Ahmad Nurdin
Hanafi, dan Hikayat Asai Padee (Hikayat Asal Padi).
Namun
sebaliknya, kesadaran kembali ke pada warisan leluhur dan melestarikannya
muncul pasca bencana tersebut. Di antaranya preservasi, inventarisasi,
katalogisasi, dan digitalisasi. Inventarisasi
tersebut biasanya menghasilkan daftar koleksi naskah atau katalog, beberapa usaha katalogisasi sudah ditempuh di Nusantara
(Melayu-Indonesia) sejak pertengahan abad ke-20, di antara yang terpenting
dapat disebut Hooyka dkk. 1950, Chambert-Loir 1980 (Katalog Naskah Melayu), van
der Molen 1984 (Katalog Naskah Jawa), Ibrahim bin Ismail 1986 (Katalog Naskah
Asia Tenggara), Tol 1993 (Katalog Naskah Islam). Nicholas Heer juga telah
mencantumkan daftar katalog berbahasa Melayu “A List Of Malay Manuscript
Catalogues”, sedikitnya terdapat 41 katalog Naskah Jawi yang dapat
dimanfaatkan. Katalog saban hari semakin lengkap dan sistematis. Beberapa di
antaranya sangat bagus dan terperinci yang dapat memberikan informasi kepada
peneliti dan pelajar, seperti Siri Bibliografi Manuskrip (PNM, Kuala Lumpur),
dan T.E Behrend Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara (Jakarta). Lima katalog
telah terbit dalam seri yang kedua ( 1990 & 1998, 1994, 1997, dan 1999).
Upaya
melestarikan kultur budaya masyarakat Aceh yang selama ini sudah berlaku, dan
beberapa tradisi lokal yang dilakukan secara bersama-sama (bergotong royong) di
kampung dapat dihubungkan dengan tradisi leluhurnya, yang selama ini dianggap
tidak tertulis (terekam) misalnya, tradisi peusijuek (menepung tawari), peudong
rumoh (membangun rumah), peugot
peuraho (membuat perahu), pula padee (menanam padi), menanam pohon, menebang kayu/hutan, dan
sebagainya. Ternyata tradisi tersebut terekam dalam manuskrip Aceh, di mana
sikap sosialita manusia dan alam selalu terjalin (berhubungan) dengan Yang Maha
Kuasa. Sikap menghargai alam dan menghormati sesama di seluruh aspek mampu
menumbuhkan kerukunan antar sesama, dan dapat memberikan keberkahan dari Sang
Khalik.
Bidang wisata
sejarah dan wisata religi dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan investor
asing. Selama ini, wisata alam dan pemanfatan sumber alam selalu memunculkan
sikap negatif dan kontradiktif dari masyarakat setempat, ataupun dari kelompok
tradisionalis. Oleh karena itu, untuk muatan edukasi terhadap pariwisata
tersebut adalah sumber-sumber cagar budaya dapat dijadikan sebagai sentral
informasi dan edukasi kepada pengunjung, pengenalan sejarah, tokoh (biografi),
tempat, dan sosial budaya merupakan ciri khas yang tidak dimiliki di daerah
lainnya. Sebagaimana disebutkan konsep revitalisasi adalah upaya untuk
memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah
vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi
ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup
perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi
harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna,
keunikan lokasi dan citra tempat) (Danisworo, 2002). Aceh, pernah berada pada
puncaknya sebagai sentral perdagangan dan keagamaan di wilayah Melayu-Nusantara
beberapa dekade (15-18 M), dan kemudian mundur di pertengahan abad ke-19 M.
* Tulisan ini bagian dari artikel Hermansyah berjudul "MANUSKRIP ACEH: REVITALISASI KEARIFAN MASYARAKAT ACEH DI ERA GLOBAL" dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara ke-15 di Padang yang diselenggarakan oleh Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara), Padang 18-20 September 2014.
0 comments:
Post a Comment