Friday, April 24, 2015

Pasca 2004, geliat inventarisasi naskah di Aceh semakin berkembang, termasuk di dalamnya penyusunan katalog buku dan website online, sehingga jumlah naskah mencapai 4000 buah naskah. Tumbuhnya kesadaran tersebut juga dialami di kalangan masyarakat Aceh dalam melestarikan warisannya, sebagaimana disinggung di atas terhadap tipe para kolektor di masyarakat yang mulai beralih fungsi. Beberapa lembaga penyimpan manuskrip Aceh terdiri dari lembaga pemerintahan, swasta dan koleksi personal, yaitu;
1.      Museum Negeri Aceh (MNA) yang didirikan pada tahun 1915, dan diresmikan sebagai MNA pada tanggal 1 September 1980. Identifikasi pertama kali dilakukan pada tahun 1982. Kegiatan tersebut menghasilkan identifikasi teks sebanyak 51 judul.  Tahun 1983 sebanyak 150 naskah, kemudian katalog Identifkasi 1985, 1987, 1988, 1989 1992, 1992 (6 katalog Identifikasi) mendaftarkan 362 judul teks naskah. Memasuki awal abad ke-21 hingga gempa-tsunami (2004), koleksi MNA bertambah menjadi 1200 naskah. Dan, selanjutnya pasca bencana tersebut, MNA menambah koleksinya, termasuk naskah hibah dari BRR, sehingga berjumlah ­+ 1800 naskah. Naskah tersebut terus bertambah jumlahnya seiring dengan program preservasi dan pembelian di masyarakat hingga tahun 2014.

2.      Zawiyah Tanoh Abee terletak di Seulimum Aceh Besar, sebagai salah satu pusat scriptorium dan museum manuskrip sejak abad ke-17 M hingga saat ini. Perkembangan dan peranan zawiyah ini diketahui dari silsilah tarekat Syattariyah yang berbeda afiliasi dengan Abdurrauf al-Fansuri (w. 1693) di Banda Aceh. Peranannya tersebut tidak hanya menjadi pengoleksi naskah, tetapi juga terlibat dalam penulisan, penyalinan, pembukuan dan restorasi naskah secara turun-temurun, dan menggapai puncaknya sejak masa  Syekh ‘Abd Al-Rahim kakek dari Syekh Abd al-Wahab (Tgk Tanoh Abee, w. 1894) hingga Tgk Abu M. Dahlan Al-Fairusy al-Baghdady (Abu Taboh Abee, 1943-2006).
Koleksi naskah Tanoh Abee menurut Wan Ali (1993) sekitar 6.000 naskah, terdiri dari 900 naskah berbahasa Melayu, dan selebihnya berbahasa Arab.
Penyusunan katalog naskah Tanoh Abee sudah ditempuh beberapa kali, Wamad Abdullah & Tgk. Abu M. Dahlan al-Fairusy (1980) telah menyusun Katalog Naskah Tanoh Abee sebanyak 400 naskah. Dalam kata pengantarnya, pustaka ini masih menyimpan lebih dari 900 buah manuskrip, edisi pertama berjumlah 400 naskah, dan selebihnya disebut dalam katalog yang diperikan oleh Zunaimar & M. Dahlan al-Fairusy (1993).
Terbaru, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee diluncurkan pada Juli 2010, dalam rangka rekonstruksi budaya Aceh pasca gempa dan tsunami tahun 2004, tergabung dalam tim yang disponsori oleh The Centre for Documentation; Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh, dan Dayah Tanoh Abee sendiri, penelitian lapangan dan pengumpulan data telah berjalan sejak tahun 2006. Adapun jumlah naskah yang berhasil diperikan dalam katalog terbitan C-DATS Tokyo, sebanyak 280 bundel naskah yang terdiri dari 367 teks. Jumlah naskah dalam katalog ini  lebih sedikit dari susunan katalog sebelumnya, walaupun memiliki kelebihan dalam mendeskripsi naskah. Namun demikian, setiap katalog memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing.

Disini Manuskrip Aceh Bersemayam

Read More

Monday, April 20, 2015

Makam Condong "Nisan Aceh" di Pahang
Hubungan Aceh dengan Pahang sudah lama terjalin, tepatnya era Iskandar Muda saat menaklukkan Portugis yang sudah mencokol di wilayah Pahang. Pada tahun 1617 M Sultan Iskandar Muda menakhlukkan Portugis dan membuka hubungan dengan Kesultanan Pahang, hingga akhirnya pada membawa beberapa penduduk kampung (migrasi) Pahang ke Aceh, salah satunya Sultan Husain atau dikenal dengan Sultan Iskandar Tsani. Secara historis, negeri Pahang memiliki sejarah panjang dan romantis dengan beberapa kesultanan negeri di luar Malaysia, termasuk Aceh.

Negeri Pahang sekarang dikenal dengan Pahang Darul Makmur merupakan salah satu negara bagian Malaysia.  Periode Islamisasi, ada dua versi pendapat yang sama kuat, pertama Islam dari Kesultanan Pasai, dan kedua bersala dari Kesultanan Fathani. Walaupun jalur Islam Fathani juga berasal dari Pasai. Namun, masyarakat disini lebih condong ke Fathani dengan melihat beberapa kelompok masyarakat, tradisi dan budaya yang hidup saat ini menyatu dengan wilayah Thailand Selatan.

Sepertinya bagi Aceh lebih dari proses Islamisasi, sebab misi utama adalah mengusir Portugis dari wilayah-wilayah Melayu Nusantara. Jika ditinjau lebih jauh, Sultan Iskandar Tsani pun menaruh dendam besar terhadap Portugis, sebab dalam catatan Nuruddin Ar-Raniry menyebutkan bahwa Sultan Husain memenggal kepala orang Portugis saat ia menjadi Sultan di Aceh (1637-1640). Iskandar Tsani sendiri sudah berada di Aceh sejak berumur 7 tahun, pada saat Aceh mengusai Pahang. Dalam Bustanus Salatin tertulis dalam bab 2 pasal 13,
"Dan kemudian dari  itu menaklukkan negeri Pahang pada hijrah Seribu Dua Puluh Enam [1026/ 1617 M] tahun, adapun menaklukkan negeri Pahang itu adalah didalamnya hikmah Allah yang terlalu ajib". (Ms. Bustanus Salatin)

Relasi Aceh dengan Pahang dalam Naskah Bustanus Salatin dan Tinggalan Arkeologi.

Read More

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top