Pasca 2004, geliat inventarisasi naskah di Aceh semakin berkembang, termasuk di dalamnya penyusunan katalog buku dan website online, sehingga jumlah naskah mencapai 4000 buah naskah. Tumbuhnya kesadaran tersebut juga dialami di kalangan masyarakat Aceh dalam melestarikan warisannya, sebagaimana disinggung di atas terhadap tipe para kolektor di masyarakat yang mulai beralih fungsi. Beberapa lembaga penyimpan manuskrip Aceh terdiri dari lembaga pemerintahan, swasta dan koleksi personal, yaitu;
1. Museum Negeri Aceh (MNA) yang didirikan pada tahun 1915, dan diresmikan sebagai MNA pada tanggal 1 September 1980. Identifikasi pertama kali dilakukan pada tahun 1982. Kegiatan tersebut menghasilkan identifikasi teks sebanyak 51 judul. Tahun 1983 sebanyak 150 naskah, kemudian katalog Identifkasi 1985, 1987, 1988, 1989 1992, 1992 (6 katalog Identifikasi) mendaftarkan 362 judul teks naskah. Memasuki awal abad ke-21 hingga gempa-tsunami (2004), koleksi MNA bertambah menjadi 1200 naskah. Dan, selanjutnya pasca bencana tersebut, MNA menambah koleksinya, termasuk naskah hibah dari BRR, sehingga berjumlah + 1800 naskah. Naskah tersebut terus bertambah jumlahnya seiring dengan program preservasi dan pembelian di masyarakat hingga tahun 2014.
2. Zawiyah Tanoh Abee terletak di Seulimum Aceh Besar, sebagai salah satu pusat scriptorium dan museum manuskrip sejak abad ke-17 M hingga saat ini. Perkembangan dan peranan zawiyah ini diketahui dari silsilah tarekat Syattariyah yang berbeda afiliasi dengan Abdurrauf al-Fansuri (w. 1693) di Banda Aceh. Peranannya tersebut tidak hanya menjadi pengoleksi naskah, tetapi juga terlibat dalam penulisan, penyalinan, pembukuan dan restorasi naskah secara turun-temurun, dan menggapai puncaknya sejak masa Syekh ‘Abd Al-Rahim kakek dari Syekh Abd al-Wahab (Tgk Tanoh Abee, w. 1894) hingga Tgk Abu M. Dahlan Al-Fairusy al-Baghdady (Abu Taboh Abee, 1943-2006).
Koleksi naskah Tanoh Abee menurut Wan Ali (1993) sekitar 6.000 naskah, terdiri dari 900 naskah berbahasa Melayu, dan selebihnya berbahasa Arab.
Penyusunan katalog naskah Tanoh Abee sudah ditempuh beberapa kali, Wamad Abdullah & Tgk. Abu M. Dahlan al-Fairusy (1980) telah menyusun Katalog Naskah Tanoh Abee sebanyak 400 naskah. Dalam kata pengantarnya, pustaka ini masih menyimpan lebih dari 900 buah manuskrip, edisi pertama berjumlah 400 naskah, dan selebihnya disebut dalam katalog yang diperikan oleh Zunaimar & M. Dahlan al-Fairusy (1993).
Terbaru, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee diluncurkan pada Juli 2010, dalam rangka rekonstruksi budaya Aceh pasca gempa dan tsunami tahun 2004, tergabung dalam tim yang disponsori oleh The Centre for Documentation; Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh, dan Dayah Tanoh Abee sendiri, penelitian lapangan dan pengumpulan data telah berjalan sejak tahun 2006. Adapun jumlah naskah yang berhasil diperikan dalam katalog terbitan C-DATS Tokyo, sebanyak 280 bundel naskah yang terdiri dari 367 teks. Jumlah naskah dalam katalog ini lebih sedikit dari susunan katalog sebelumnya, walaupun memiliki kelebihan dalam mendeskripsi naskah. Namun demikian, setiap katalog memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing.
3. Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy (YPAH) didirikan oleh Prof. Dr. Ali Hasjmy pada tanggal 15 Januari 1991, seorang intelektual Aceh, yang juga budayawan, negarawan, dan cedekiawan terkemuka pada masanya. Mantan Gubernur Aceh (1957-1974) telah menghasilkan sekitar 57 karya tulis dalam berbagai bidang (sejarah, sastra, agama, politik dan hukum). YPAH mengoleksi dokumen-dokumen penting dan barang berharga, di antara koleksi YPAH yang sangat berharga adalah naskah kuno (manuskrip).
Pada tahun 1992-1995, pengurus YPAH pernah melakukan inventarisasi pada sebagian koleksinya, namun penerbitan katalog hanya terbatas pada lingkungan internal, dan belum dipublikasikan secara meluas. Seiring dengan perkembangan peranan YPAH dalam mengumpulkan naskah-naskah kuno dari masyarakat, sehingga sebagian naskah belum tercantum. Usaha katalog berikutnya dilakukan pada tahun 2005-2007 atas kerjasama beberapa lembaga YPAH, PPIM, Manassa, TUFS, C-DATS dan PKPM. Dari hasil kegiatan tersebut diperoleh data YPAH menyimpan 232 bundel naskah dengan 314 teks (Oman & Munawir: 2007)
4. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) berdiri pada tahun 1976 dan diresmikan dua tahun kemudian, lembaga ini hasil kerjasama Pemda Aceh dengan Universitas Syiah Kuala dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV/ The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) yang ikut memberi sumbangan copyan buku-buku koleksi Belanda periode Kolonial, selain itu terdapat beberapa koleksi buku dan manuskrip dari internal PDIA sendiri.
Koleksi PDIA tahun 1988 tercatat ada 66 naskah agama dan 23 hikayat. Dan Ali menyertakan 70 naskah berbahasa Melayu, Aceh dan Arab (Ali: 1993).
Hingga 2004, seluruh koleksi di PDIA musnah akibat gempa-Tsunami, menurut Rusdi Sufi (red. Pimpinan PDIA) lebih dari ratusan manuskrip, arsip penting Belanda dan surat-surat bersejarah hilang. Namun dari list data yang diperoleh ada 82 naskah yang hancur.
Pasca bencana, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias membangun kembali gedung PDIA di lahan yang sama. Kini, beberapa dokumen dan file-file penting diperoleh dari sumbangan Stiching Peutjut Fond, Belanda, File dokumen dari KITLV, restorasi dokumen akibat tsunami kerjasama dengan Jepang.
5. Koleksi Pribadi
Dari jumlah seluruh manuskrip tersebut, masih banyak di masyarakat yang tersimpan ala kadarnya, tanpa perawatan, tanpa penanganan khusus. Dan hampir seluruhnya belum teridentifikasi dan belum ada katalogisasi. Semoga ada banyak pihak, khususnya Pemerintah Aceh untuk melakukan preservasi manuskrip, ataupun lembaga asing, untuk keselamatan naskah. [Hermansyah dari berbagai sumber]
1. Museum Negeri Aceh (MNA) yang didirikan pada tahun 1915, dan diresmikan sebagai MNA pada tanggal 1 September 1980. Identifikasi pertama kali dilakukan pada tahun 1982. Kegiatan tersebut menghasilkan identifikasi teks sebanyak 51 judul. Tahun 1983 sebanyak 150 naskah, kemudian katalog Identifkasi 1985, 1987, 1988, 1989 1992, 1992 (6 katalog Identifikasi) mendaftarkan 362 judul teks naskah. Memasuki awal abad ke-21 hingga gempa-tsunami (2004), koleksi MNA bertambah menjadi 1200 naskah. Dan, selanjutnya pasca bencana tersebut, MNA menambah koleksinya, termasuk naskah hibah dari BRR, sehingga berjumlah + 1800 naskah. Naskah tersebut terus bertambah jumlahnya seiring dengan program preservasi dan pembelian di masyarakat hingga tahun 2014.
2. Zawiyah Tanoh Abee terletak di Seulimum Aceh Besar, sebagai salah satu pusat scriptorium dan museum manuskrip sejak abad ke-17 M hingga saat ini. Perkembangan dan peranan zawiyah ini diketahui dari silsilah tarekat Syattariyah yang berbeda afiliasi dengan Abdurrauf al-Fansuri (w. 1693) di Banda Aceh. Peranannya tersebut tidak hanya menjadi pengoleksi naskah, tetapi juga terlibat dalam penulisan, penyalinan, pembukuan dan restorasi naskah secara turun-temurun, dan menggapai puncaknya sejak masa Syekh ‘Abd Al-Rahim kakek dari Syekh Abd al-Wahab (Tgk Tanoh Abee, w. 1894) hingga Tgk Abu M. Dahlan Al-Fairusy al-Baghdady (Abu Taboh Abee, 1943-2006).
Koleksi naskah Tanoh Abee menurut Wan Ali (1993) sekitar 6.000 naskah, terdiri dari 900 naskah berbahasa Melayu, dan selebihnya berbahasa Arab.
Penyusunan katalog naskah Tanoh Abee sudah ditempuh beberapa kali, Wamad Abdullah & Tgk. Abu M. Dahlan al-Fairusy (1980) telah menyusun Katalog Naskah Tanoh Abee sebanyak 400 naskah. Dalam kata pengantarnya, pustaka ini masih menyimpan lebih dari 900 buah manuskrip, edisi pertama berjumlah 400 naskah, dan selebihnya disebut dalam katalog yang diperikan oleh Zunaimar & M. Dahlan al-Fairusy (1993).
Terbaru, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee diluncurkan pada Juli 2010, dalam rangka rekonstruksi budaya Aceh pasca gempa dan tsunami tahun 2004, tergabung dalam tim yang disponsori oleh The Centre for Documentation; Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh, dan Dayah Tanoh Abee sendiri, penelitian lapangan dan pengumpulan data telah berjalan sejak tahun 2006. Adapun jumlah naskah yang berhasil diperikan dalam katalog terbitan C-DATS Tokyo, sebanyak 280 bundel naskah yang terdiri dari 367 teks. Jumlah naskah dalam katalog ini lebih sedikit dari susunan katalog sebelumnya, walaupun memiliki kelebihan dalam mendeskripsi naskah. Namun demikian, setiap katalog memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing.
3. Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy (YPAH) didirikan oleh Prof. Dr. Ali Hasjmy pada tanggal 15 Januari 1991, seorang intelektual Aceh, yang juga budayawan, negarawan, dan cedekiawan terkemuka pada masanya. Mantan Gubernur Aceh (1957-1974) telah menghasilkan sekitar 57 karya tulis dalam berbagai bidang (sejarah, sastra, agama, politik dan hukum). YPAH mengoleksi dokumen-dokumen penting dan barang berharga, di antara koleksi YPAH yang sangat berharga adalah naskah kuno (manuskrip).
Pada tahun 1992-1995, pengurus YPAH pernah melakukan inventarisasi pada sebagian koleksinya, namun penerbitan katalog hanya terbatas pada lingkungan internal, dan belum dipublikasikan secara meluas. Seiring dengan perkembangan peranan YPAH dalam mengumpulkan naskah-naskah kuno dari masyarakat, sehingga sebagian naskah belum tercantum. Usaha katalog berikutnya dilakukan pada tahun 2005-2007 atas kerjasama beberapa lembaga YPAH, PPIM, Manassa, TUFS, C-DATS dan PKPM. Dari hasil kegiatan tersebut diperoleh data YPAH menyimpan 232 bundel naskah dengan 314 teks (Oman & Munawir: 2007)
4. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) berdiri pada tahun 1976 dan diresmikan dua tahun kemudian, lembaga ini hasil kerjasama Pemda Aceh dengan Universitas Syiah Kuala dan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV/ The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) yang ikut memberi sumbangan copyan buku-buku koleksi Belanda periode Kolonial, selain itu terdapat beberapa koleksi buku dan manuskrip dari internal PDIA sendiri.
Koleksi PDIA tahun 1988 tercatat ada 66 naskah agama dan 23 hikayat. Dan Ali menyertakan 70 naskah berbahasa Melayu, Aceh dan Arab (Ali: 1993).
Hingga 2004, seluruh koleksi di PDIA musnah akibat gempa-Tsunami, menurut Rusdi Sufi (red. Pimpinan PDIA) lebih dari ratusan manuskrip, arsip penting Belanda dan surat-surat bersejarah hilang. Namun dari list data yang diperoleh ada 82 naskah yang hancur.
Pasca bencana, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias membangun kembali gedung PDIA di lahan yang sama. Kini, beberapa dokumen dan file-file penting diperoleh dari sumbangan Stiching Peutjut Fond, Belanda, File dokumen dari KITLV, restorasi dokumen akibat tsunami kerjasama dengan Jepang.
5. Koleksi Pribadi
- Tarmizi A Hamid, Banda Aceh; mulai mengoleksi naskah sejak tahun 1996. Menurutnya, jumlah koleksinya sampai saat ini mencapai sekitar 482 teks naskah. Jumlah tersebut menunjukkan paling banyak koleksi pribadi dari beberapa kolektor lainnya. Namun, seluruh koleksinya belum dikatalogkan dan diinventarisir. Dan sejauh ini hanya pada tahap restorasi naskah sebanyak 102 naskah selama dua tahap (2010 dan 2011) yang dilakukan oleh PKPM bekerjasama dengan Pemda Aceh.
- Harun Geuchik Leumik, Banda Aceh; sebagai pengoleksi benda kuno, ia juga mengoleksi manuskrip sebanyak 26 buah dan telah direstorasi, sebagian besar mushaf Al-Qur’an. Akan tetapi, semua koleksinya belum diinventarisir dan belum disusun katalognya.
- Samsul Anwar, Banda Aceh; Ia mengoleksi naskah sebanyak 180 naskah. Di antaranya hanya 63 naskah yang direstorasi, dan 20 di antaranya digitalisasikan. Seluruh kegiatan tersebut juga dilaksanakan oleh PKPM.
- Syahrial bin Zainun Idris (Alm) Aceh Besar; Selain keluarga Tanoh Abee yang memiliki koleksi terbanyak di wilayah Aceh Besar. Keluarga Syahrial bin Zainun Idris juga mengoleksi banyak naskah, Zainun Idris (w. 2007) telah mengoleksi 51 naskah. Setelah ia wafat, ia mewariskan kepada anaknya Syahrial, selain koleksinya yang diperoleh dari masyarakat sebanyak 180 naskah. Sehingga jumlah seluruhnya sebanyak 231 naskah, ia menginventarisir secara pribadi dan belum dikatalog dan direstorasi.
- Tgk Adnan Hasyim, Lambirah, Aceh Besar; Memiliki 20 naskah yang telah direstorasi dan digitalisasi oleh PKPM.
- Hasballah Teupin Raya, Pidie; Ia banyak mengoleksi manuskrip, walaupun dalam catatan PKPM hanya 30 naskah yang telah diperbaiki kerusakannya. Menurut data daftar Lektur Litbang Jakarta yang dilakukan oleh Fakhriati melebihi dari 100 naskah jumlahnya. Sampai saat ini belum terdata dengan akurat berapa jumlah naskah koleksinya.
- Dayah Tgk Syik Awee Geutah, Bireuen; Koleksi di Dayah Awee Geutah dimulai sejak turun temurun dari keluarganya, dan dari masyarakat sekitar hingga berjumlah 52 naskah. Keseluruhannya telah direstorasi, namun belum ada katalog.
- Masykur, kolektor muda bertempat tinggal di Pidie Jaya yang telah mengumpulkan manuskrip sekitar 400 naskah (2014).
Dari jumlah seluruh manuskrip tersebut, masih banyak di masyarakat yang tersimpan ala kadarnya, tanpa perawatan, tanpa penanganan khusus. Dan hampir seluruhnya belum teridentifikasi dan belum ada katalogisasi. Semoga ada banyak pihak, khususnya Pemerintah Aceh untuk melakukan preservasi manuskrip, ataupun lembaga asing, untuk keselamatan naskah. [Hermansyah dari berbagai sumber]
0 comments:
Post a Comment