Tuesday, June 16, 2015

Ulama Aceh Dahulu Menulis Buku Pada Bulan Ramadhan.

APA  yang dikerjakan oleh masyarakat Aceh terdahulu selama bulan puasa Ramadhan? Pertanyaan ini, memaksa saya membuka dokumen-dokumen tempo dulu, baik dari sumber manuskrip Aceh ataupun catatan-catatan orang asing.
Teks tentang syarat dan cara melihat Hilal
awal bulan Ramadhan
Ternyata, informasi yang diperoleh cukup beragam dan berharga, setidaknya menjadi cerminan dan instropeksi untuk untuk generasi saat ini.
Waktu senggang di bulan Ramadhan dianggap paling efektif untuk mengisi hari para intelektual “junior” dan “senior” (syaikh) untuk menyalin dan mengarang kitab.
Itulah kemudian beberapa manuskrip yang ditemui saat ini banyak yang ditulis ulang (disalin) pada bulan Ramadhan atau setelahnya. Hal tersebut dapat ditelusuri di kolofon teks, atau bagian penutup dari sebuah kitab, terutama pada kitab-kitab yang menjadi panduan ataupun rujukan.
Pada masa ini juga dianggap paling baik untuk penyebaran manuskrip ke luar Aceh, sebab pasca bulan Ramadhan, jamaah haji dari wilayah Melayu-Nusantara naik haji ke Mekkah melalui jalur laut Selat Malaka, dan posisi strategis Aceh menjadikannya sebagai tempat transit (Pulau Sabang dan atau Banda Aceh) bagi jamaah haji al-Jawiyyin (julukan bagi orang-orang dari Asia Tenggara), karena itulah Aceh dijuluki sebagai “Serambi Mekkah”.
Di sinilah manuskrip-manuskrip tersebut menyebar luar ke seluruh Negara-negara tetangga, Thailand, Filiphina, Brunai Darussalam dan seluruh kawasan Indonesia, bahkan hingga ke Mekkah-Madinah (Haramain).
Kitab-kitab yang dianggap menarik untuk dipelajari oleh banyak jamaah, maka akan disalin ulang selama perjalanan di kapal laut. Mereka memperbanyak untuk dipelajari, terutama kitab-kitab yang banyak dibahas dan menarik, terutama karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani. Nuruddin Ar-Raniry, dan Abdurrauf al-Fansuri, Muhammad Khatib Langgien, dan Abdullah Al-Asyi, dan hikayat-hikayat perang Aceh.

Manuskrip yang menyebar biasanya kitab-kitab hukum, fikih, grammar (tata bahasa), tauhid dan tasawuf. Salah satunya kitab Mir’at Ath-Thullab karya Abdurrauf al-Fansuri (Syiah Kuala) pada era Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam (1641-1675) dalam bidang fikih muamalah dan munakahat yang dikoleksi Yayasan Pendidikan & Museum Ali Hasjmy (YPMAH)  disalin pada hari Sabtu 14 Ramadhan pada masa Sultan Ibn Alauddin Mahmud Syah (Naskah No. 105/FK/I/YPAH).
Hal yang sama juga terdapat pada kitab Syarh al-Baiquni fi Mustalah ‘Ilm al-Hadist (No. 156/HD/3/YPAH) disalin oleh Husain bin al-Marhum Abu Bakar al-Asyi dan kitab Bidayat al-Mubtadi bi-Fadhli Allah al-Muhdi (No. 31/FK/20/YPAH) yang keduanya disalin di bulan puasa.
Senada dengan manuskrip-manuskrip yang tersimpan Museum Aceh, misalnya kitab tatabahasa yang tersohor berjudul Qatr an-Nida’ (No. 07.1383) karya ulama Arab Abu Abdullah Jamaluddin Muhammad ibn Yusuf ibn Hisyam Al-Anshari, yang disalin oleh Leube Adam Amud pada hari Senin, 25 Ramadhan, masa Sultan ‘Alauddin Muhammad Syah.
Cap kertasnya bergambar Lion (singa) diproduksi tahun 1745 M, memiliki banyak catatan-catatan pinggir di dalamnya.
Masih koleksi Museum Aceh, teks tentang faraid, harta warisan dan nazam (No. 07.040) disalin secara berturut-turut, Senin 24 Muharram 1295 H (28 Januari 1878 M) dan Kamis 17 Ramadhan 1295 H (Saturday 14 September 1878 M). Atau di naskah lainnya yang selesai disalin oleh Leubee Muallim Lambirah pada waktu Dhuha, Jum'at 12 Ramadhan 1238 H (23 Mei 1823 M) yang berisikan tentang Bab Adab (etika) kepada guru, orang tua, dan sesama manusia (No. 07. 1339). Demikian teks No. 07.960 tentang fikih ibadah dan doa yang selesai disalin pada bulan Ramadhan.
Produktifitas para intelektual Aceh dapat dilihat dari banyaknya karya yang dikarang dan disalin ulang, dan bulan Ramadhan hingga bulan Zulhijjah atau sekembalinya jamaah dari Haramain menjadi peluang penyebaran karya-karya Aceh, termasuk transmisi ilmu ke seluruh Nusantara.
Periode Kesultanan Aceh abad ke-17 hingga ke awal 18 M merupakan puncak karya para intelektual berkarya, dan satu abad kemudian tradisi menyalin mencapai keselarasan, zawiyah dan dayah-dayah menjadi sentral pengembangan kecerdasan bertahan hingga era kemerdekaan.

[HERMANSYAH, MA.Hum, Adalah dosen Bidang Teks Klasik dan Kajian Naskah pada Prodi SKI Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, dan Peneliti Manuskrip]

Artikel ini telah dimuat di Serambi Indonesia.
http://aceh.tribunnews.com/2015/06/14/ulama-aceh-dahulu-menulis-buku-pada-bulan-ramadhan

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top