Tuesday, March 29, 2016

Jak Kaloen Manuskrip

PROGRAM Jak Kaloen Manuskrip (JKM) yang saya gagas bertujuan untuk menginventarisir naskah-naskah kuno yang masih “tersisa” di Aceh, baik di koleksi oleh museum Aceh, swasta ataupun koleksi pribadi masyarakat di Aceh.

Selain itu, program tersebut juga bertujuan saling berbagi ilmu dengan pihak-pihak lain dan sekaligus sosialisasi pentingnya merawat naskah dan khazanah lainnya, yang selama ini selalu dinilai ekonomis.

Setelah mengupas setengah naskah-naskah koleksi museum yang mencapai 1.800 buah lebih dari seminggu, kemudian beranjak ke kolektor pribadi masyarakat. Tanggal 20-21 Maret diadakan di rumah kediaman bapak Tarmizi A Hamid, dengan mengusung format awal terbuka untuk umum dan gratis untuk segala usia.

Kegiatan JKM tersebut seperti sarasehan dan diskusi tentang seputar manuskrip-manuskrip yang ada di Aceh, ataupun di luar Aceh. Fokus kajian tidak terbatas pada ilmu-ilmu manuskrip, tetapi juga interdisipliner ilmu sesuai dengan peminat dan kontekstual yang terdapat dalam pikiran peserta yang hadir. Dengan demikian, informasi tentang ilmu pernaskahan dan ilmu-ilmu lainnya saling terikat dan terkait.

Pada kesempatan tersebut dihadiri oleh akademisi dan beragam elemen seperti oleh Dr. Jabbar Sabil dosen UIN Ar-Raniry, Fauzan Santa dari Dokarim, dan Fadhil Rahmi, Lc serta rombongan Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT), Thayeb Loh Angen, Prof. Aliyasa’ Abubakar dan peserta lain-lainnya.

Inti diskusi kali ini sangat menarik, mulai dari jaringan keilmuan Aceh ke Timur Tengah, khususnya Arab, seperti banyak karya-karya ulama Aceh disalin dan dicetak di Haramain, Mesir, Turki, India dan wilayah Islam lainnya. Dalam hal ini, Aceh sudah go internasional.

Namun, sekarang ini tidak ada peminat dari Aceh yang mengkaji karya-karya intelektual dulu yang mewarnai keilmuannya di Arab, padahal karya mereka sebanding dengan tokoh-tokoh Arab. Kali ini, patut disebut kita jago kandang.

Diskusi semakin menghangat saat Prof Al Yasa’ Abubakar mengajukan pertanyaan tentang beberapa kajayaan Aceh yang timpang dengan potret sekarang, seperti bagaimana gambaran teknologi Aceh masa lampau yang sempat terekam dalam manuskrip, jikalau Aceh dianggap sebagai sebagai sebuah Kerajaan yang megah?

Bagaimana produksi kapal-kapal perang di Aceh yang melawan Portugis dan Belanda, bagaimana pembuatan meriam? hingga proses industri kertas manuskrip dan perdagangannya antara Aceh dengan Eropa.

Memang, persoalan tersebut bukan hanya pada kajian saja, tetapi juga SDM, bahwa kajian manuskrip tidak banyak peminat di Aceh, tidak seperti di Eropa. Jika secaraa spesifik belum ditemui manuskrip-manuskrip pembuat meriam, senjata dan mesiunya, kapal perang, alat-alat teknologi lainnya, yang konon merupakan alat-alat perang tangguh yang menjadi kebanggaan kesultanan Aceh.

Tetapi kemudian saya pun tidak heran jika dibandingkan Aceh di era modern seperti sekarang ini masih mimpi punya kapal laut sendiri, kapal terbang produk sendiri, hingga Pembangkit Listrik (PLN) di Aceh, semua harus terus gigit jari, yang hingga saat ini masih dalam angan-angan.
Jika “kehebatan dan teknologi” dulu masih terekam dalam hikayat-hikayat Aceh atau catatan-catatan perjalanan orang Eropa, malah sekarang Aceh hanya sebatar warung kopi, ganja (sabu-sabu), dan syariat.

Kegiatan JKM akan terus saya lakukan, sebagai seorang pengkaji manuskrip dan dosen di UIN Ar-Raniry. Tidak ada donatur atau funding dari pihak manapun, bahkan ini mengocek kantong sendiri. Semua semata-mata kecintaan saya terhadap khazanah Aceh yang semakin banyak hilang atau rusak, terutama di masyarakat.

Keprihatinan saya sejak masyarakat dan kolektor selalu menawarkan dan menjual naskah ke saya dengan harga yang bervariasi. Namun dana yang terbatas, saya mencari plot anggaran ke dinas-dinas Pemerintah Aceh sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyelamatan warisan budaya (heritage)

Aneh bin ajaib, misalnya tahun ini tidak ada anggaran untuk penyelamatan naskah-naskah Aceh. Sehingga, sangat wajar jika kemudian masyarakat melirik para pemburu manuskrip dari luar negeri.
Memang, pengetahuan akan pentingnya manuskrip terhadap masyarakat itu sangat perlu disosialisasi, tetapi juga sangat penting kepedulian pemerintah Aceh memberi perhatian khusus kepada khazanah intelektual ulama-ulama di Aceh melalui karya-karyanya bahwa Aceh pernah hebat dengan kecanggihannya, dan semoga kita tidak menyemai kebodohan kepada generasi selanjutnya.

source: http://aceh.tribunnews.com/2016/03/24/jak-kaloen-manuskrip

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top