Siapa sangka, secuil catatan kecil diujung tulisan teks tauhid keagamaan menunjukkan informasi penting akan keberadaan sebuah lembaga pendidikan keagamaan yang aktif dalam beragam kegiatan. Di dalam teks naskah tanpa judul disebutkan “ Tammat kitab pada malam Seunayan, waktu Isya’ pada maqam Syaikhina Abdurrauf, Zawiyah Meunara”. Hal tersebut menunjukkan tempat penulisan-penyalinan (scriptorium) yang terkenal di Banda Aceh, yaitu Zawiyah Menara (Aceh: Meunara).
Sebelumnya, banyak sumber penelitian yang menunjukkan akan eksistensi Mesjid Raya Baiturrahman sebagai sentral kegiatan keagamaan bagi raja-raja (Sultan) Aceh mulai abad ke-16 masehi hingga awal peperangan Aceh melawan Belanda (1873). Di komplek Mesjid Baiturrahman, yang berada di pusat kota Banda Aceh sebagaimana disebut oleh A. Hasjmy dan Said, merupakan sentral pendidikan –bahkan- perguruan tinggi yang fokus pada beberapa bidang konsentrasi keilmuan.
Selain itu, Zawiyah Tanoh Abee juga disebut sebagai sentral dan pusat scriptorium manuskrip era Kesultanan. Di zawiyah tersebut tersimpan ribuan teks dalam beragam bahasa; Arab, Jawi dan Aceh.
Transmisi keilmuan juga terekam di beberapa tempat di Aceh, tempat-tempat tersebut menjadi pusat belajar mengajar, khususnya penulisan dan penyalinan manuskrip. Zawiyah-zawiyah (sejenis lembaga pendidikan seperti dayah) yang memiliki fungsi lebih luas telah berkembang di Banda Aceh, yaitu ibukota Kesultanan Aceh, yang fokus terhadap pada pendidikan keagamaan dan perdagangan (perekonomian).
Tradisi keilmuan di era kesultanan Aceh, bagi siapa saja yang ingin mendapatkan ilmu dan informasi diwajibkan menyalin kembali teks (manuskrip) dari gurunya. Ada tradisi talaqqi, salinan ulang, syarah matan, dan pengajian yang tumbuh cukup banyak dan merata. Kerajaan-kerajaan sendiri memiliki koneksi dengan zawiyah-zawiyah sebagai tempat rujukan dan referensi sang raja (Sultan).
Salah satunya adalah Syeikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri atau dikenal Abdurrauf Syiah Kuala, ulama besar dan terkenal pada era empat Sultanah (Raja Perempuan) di Aceh, antara 1661-1693 M.
Syeikh Abdurrauf tiba kembali ke Aceh antara tahun 1660-1661 yang menuntut ilmu di Haramain (Mekkah-Madinah) selama 19 tahun. Ia kembali pada masa pemerintahan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam (1641-1675) putri dari Sultan Iskandar Muda. Keberadaan Syeikh Abdurrauf cepat bersinar di kalangan pemerintahan, setahun ia berada di Aceh telah diminta oleh Sultanah untuk menyusun dua kitab penting, antaranya Mir’at ath-Thullab di bidang fikih dan kitab Turjuman al-Mustafid yang merupakan bidang Tafsir dan terjemahan berbahasa Melayu (Jawi) pertama di dunia.
Syeikh Abdurrauf tinggal dan membuka zawiyah (dayah) di Banda Aceh, tepatnya di Gampong Deah Raya, wilayah Kuala Aceh, atau tempat pemakamannya sekarang.
Menurut beberapa catatan literatur Belanda menyebut wilayah Lamdingin dan sekitarnya merupakan wilayah keraton Sultanah Safiyatuddin Syah sebelum pindah ke Meuligoe (red. Pendopo) sekarang akibat gempa-tsunami.
Sebagai tokoh utama dan ulama besar di Nusantara, pusat konsultasi keagamaan bagi masyarakat dan kesultanan, dan juga merupakan tokoh utama afiliasi tarekat Syattariyah di Aceh, menjadikan Syeikh Abdurrauf sebagai orang penting dan memiliki cukup banyak pengikut. Tempat pendidikannya menjadi ramai dan sebagai sentral penulisan manuskrip di Aceh, tak pelak ia pun mengarang tak kurang dari 40 kitab dalm beragam ilmu.
Sepertinya, Zawiyah Menara merupakan “nama ” yang melekat pada lembaga pendidikan Syeikh Abdurrauf saat itu, di sini, saban seperti di zawiyah-azwiyah Aceh umumnya, merupakan pustaka ilmu, sentral kegiatan pendidikan dan juga pusat keagamaan. Teks tersebut menunjukkan kegiatan penulisan dan penyalinan manuskrip masih berlangsung pasca meninggalnya Syeikh Abdurrauf, dan entah sampai kapan kegiatan itu redup dan tidak aktif lagi. Namun, Zawiyah Menara merupakan salah satu bukti pustaka ulama di Banda Aceh.
Sumber: Pernah dipublish di media Kota Banda Aceh
Sebelumnya, banyak sumber penelitian yang menunjukkan akan eksistensi Mesjid Raya Baiturrahman sebagai sentral kegiatan keagamaan bagi raja-raja (Sultan) Aceh mulai abad ke-16 masehi hingga awal peperangan Aceh melawan Belanda (1873). Di komplek Mesjid Baiturrahman, yang berada di pusat kota Banda Aceh sebagaimana disebut oleh A. Hasjmy dan Said, merupakan sentral pendidikan –bahkan- perguruan tinggi yang fokus pada beberapa bidang konsentrasi keilmuan.
Selain itu, Zawiyah Tanoh Abee juga disebut sebagai sentral dan pusat scriptorium manuskrip era Kesultanan. Di zawiyah tersebut tersimpan ribuan teks dalam beragam bahasa; Arab, Jawi dan Aceh.
Transmisi keilmuan juga terekam di beberapa tempat di Aceh, tempat-tempat tersebut menjadi pusat belajar mengajar, khususnya penulisan dan penyalinan manuskrip. Zawiyah-zawiyah (sejenis lembaga pendidikan seperti dayah) yang memiliki fungsi lebih luas telah berkembang di Banda Aceh, yaitu ibukota Kesultanan Aceh, yang fokus terhadap pada pendidikan keagamaan dan perdagangan (perekonomian).
Tradisi keilmuan di era kesultanan Aceh, bagi siapa saja yang ingin mendapatkan ilmu dan informasi diwajibkan menyalin kembali teks (manuskrip) dari gurunya. Ada tradisi talaqqi, salinan ulang, syarah matan, dan pengajian yang tumbuh cukup banyak dan merata. Kerajaan-kerajaan sendiri memiliki koneksi dengan zawiyah-zawiyah sebagai tempat rujukan dan referensi sang raja (Sultan).
Salah satunya adalah Syeikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri atau dikenal Abdurrauf Syiah Kuala, ulama besar dan terkenal pada era empat Sultanah (Raja Perempuan) di Aceh, antara 1661-1693 M.
Syeikh Abdurrauf tiba kembali ke Aceh antara tahun 1660-1661 yang menuntut ilmu di Haramain (Mekkah-Madinah) selama 19 tahun. Ia kembali pada masa pemerintahan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam (1641-1675) putri dari Sultan Iskandar Muda. Keberadaan Syeikh Abdurrauf cepat bersinar di kalangan pemerintahan, setahun ia berada di Aceh telah diminta oleh Sultanah untuk menyusun dua kitab penting, antaranya Mir’at ath-Thullab di bidang fikih dan kitab Turjuman al-Mustafid yang merupakan bidang Tafsir dan terjemahan berbahasa Melayu (Jawi) pertama di dunia.
Syeikh Abdurrauf tinggal dan membuka zawiyah (dayah) di Banda Aceh, tepatnya di Gampong Deah Raya, wilayah Kuala Aceh, atau tempat pemakamannya sekarang.
Menurut beberapa catatan literatur Belanda menyebut wilayah Lamdingin dan sekitarnya merupakan wilayah keraton Sultanah Safiyatuddin Syah sebelum pindah ke Meuligoe (red. Pendopo) sekarang akibat gempa-tsunami.
Sebagai tokoh utama dan ulama besar di Nusantara, pusat konsultasi keagamaan bagi masyarakat dan kesultanan, dan juga merupakan tokoh utama afiliasi tarekat Syattariyah di Aceh, menjadikan Syeikh Abdurrauf sebagai orang penting dan memiliki cukup banyak pengikut. Tempat pendidikannya menjadi ramai dan sebagai sentral penulisan manuskrip di Aceh, tak pelak ia pun mengarang tak kurang dari 40 kitab dalm beragam ilmu.
Sepertinya, Zawiyah Menara merupakan “nama ” yang melekat pada lembaga pendidikan Syeikh Abdurrauf saat itu, di sini, saban seperti di zawiyah-azwiyah Aceh umumnya, merupakan pustaka ilmu, sentral kegiatan pendidikan dan juga pusat keagamaan. Teks tersebut menunjukkan kegiatan penulisan dan penyalinan manuskrip masih berlangsung pasca meninggalnya Syeikh Abdurrauf, dan entah sampai kapan kegiatan itu redup dan tidak aktif lagi. Namun, Zawiyah Menara merupakan salah satu bukti pustaka ulama di Banda Aceh.
Sumber: Pernah dipublish di media Kota Banda Aceh
0 comments:
Post a Comment