Tuesday, June 28, 2016

Menikmati Tantangan Puasa di Jerman



SUDAH dua pekan menjalani puasa di Jerman, terutama di Hamburg. Kota Hamburg merupakan kota kedua terpadat dan salah satu kota tersibuk di dunia, itu sebab posisinya dialiri sungai Elbe dan Alster yang menjadi andalan utama sebagai kota maritim dan pelabuhan ternama di Eropa.
Hamburg juga memiliki populasi muslim yang cukup banyak, terutama dari Turki, Albania, Afrika Arab dan (baru-baru ini) dari Timur Tengah, khususnya dari Syiria.

Ramadhan tahun ini merupakan puasa pertama kali saya di Eropa, sebagai negara minoritas muslim, tentu banyak perbedaan dan pastinya memiliki keunikan dan tantangan tersendiri.
Hamburg, kota dengan pelabuhan tersibuk di Eropa

Tantangan utama adalah waktu berpuasa siang hari sangat panjang, hal tersebut dikarenakan puasa kali ini berada pada puncak musim panas, dan Jerman salah satu negara yang terkena siklus tersebut. Waktu Subuh atau imsak 2.55 pagi hari, sedangkan Maghrib atau berbuka pada pukul 9.50 malam.
Itu artinya muslim di sana berpuasa dari Imsak Subuh hingga menjelang berbuka selama 19 jam. Dan sisanya 4 jam lagi harus digunakan semaksimal mungkin untuk shalat Magrib, Isya’, Terawih dan persiapan sahur.

Tidak hanya waktu berpuasa 19 jam, suhu udara panas mencapai 30-32 celcius dan diterpa angin laut juga menjadi cobaan untuk beraktifitas di luar.

Beruntungnya 2-3 hari dalam sepekan ini diguyur hujan dan mendung menyelimuti wilayah Hamburg Tantangan lainnya tidak kalah sengit, yaitu muslim berpuasa di antara mayoritas orang-orang yang tidak berpuasa. Mereka yang menikmati hidangan di restoran, market, mall, jual makanan, minuman, eskrim dan lainnya di setiap sudut kota, stasiun, dan tempat-tempat umum.
Salah satu sudut daerah Staindamm di kota Hamburg, sentral masyarakat Muslim mayoritas bekerja di sektor gastronomi

Itu merupakan godaan bagi seseorang yang sedang menunaikan ibadah puasa dan menahan hawa makan dan minum. Termasuk warung dan restoran Muslim tetap buka siang hari, walaupun pengunjung muslim berkurang, tetapi pelanggan non-muslim tetap harus dilayani dengan baik. Mayoritas pendatang muslim di Jerman bekerja di sektor gastronomi atau terkait dengan dunia kuliner dan waralaba makanan.

Uniknya lagi, warung dan restoran Islam di sini tidak tutup saat Jumat berlangsung, bila tiba waktu Jumat para pelayan diganti oleh kaum perempuan atau lelaki non-muslim, sedangkan para lelaki berangkat ke mesjid. Demikian juga menjelang shalat terawih. Hal tersebut dilakukan karena pelanggan yang ada banyak berasal dari orang-orang Eropa -terutama Jerman- yang bukan Islam.
Tantangan alam dan lingkungan menjadi ujian berpuasa bagi muslim hidup di Eropa, terlebih lagi jauh dari pangawasan aparat bersifat simbolistik.

Semua kembali pada diri masing-masing untuk kontrol dan taat beragama. Bagi seorang muslim, tantangan tersebut sebagai uji kekebalan iman dan spiritual dalam menjalani puasa, maka saya cukup salut jika kemudian melihat mesjid-mesjid di Jerman selama Ramadhan tidak pernah sepi dari pemuda dan orang tua di siang dan malam hari untuk membaca al-Qur’an.


Pembangunan dan peletakan menara di salah satu mesjid Turki di Staindamm Hamburg. Ini adalah salah satu mesjid yang mendapat izin untuk menggunakan menara.


Tentu tantangan tersebut berbeda jauh dengan di Aceh dan Indonesia, durasi waktu berpuasa lebih cepat dan ditambah lagi aturan larangan berjualan dan membuka warung siang hari hingga menjelang sore untuk ketentraman. Memang, lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya.

Tulisan ini sudah dipublikasi di Serambi Indonesia >>Klik here

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top