Wednesday, June 29, 2016

Manuskrip Lampanah: Antara Kepedulian dan Warisan (bag. 2)



Rumoh Aceh tempat menyimpan naskah ini terbagi tiga, sebagaimana umumnya arsitektur Rumoh Aceh di Aceh, yaitu terdiri dari Seuramo Keue atau Seuramoe Reungeun (Serambi Depan atau Serambi Tangga), Seuramoe Teungoh (serambi tengah) yang biasanya disebut juga Seuramoe Inoeng (Serambi Perempuan) atau ruang utama keluarga, dan ketiga; Seuramoe Likoet (serambi belakang) yang biasanya digunakan untuk dapur.

Kami berada di serambi depan, dan saat pemilik rumah mengambil beberapa naskah di serambi belakang untuk dipersembahkan di hadapan kami, saya sudah familiar dan membaca perbagian secara sepintas, terdapat beberapa judul yang termasuk langka ditemui naskah di Aceh saat ini.

Namun, saat saya dipersilahkan melihat ke serambi belakang, tempat disimpannya naskah, saya terkejut karena naskah disimpan dalam satu lemari dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan, saya jamah satu baris saja mengingat waktu yang sempit, beberapa naskah memang tidak dapat terbaca lagi. Dari sepintas lemari tersebut saya melihat beberapa mushaf di tempat himpitan paling bawah.

Lebih menyedihkan saat sang pemilik berkata "dalam umpang dan plastik mirah nyan kertah-kertah kitab sion-on yang lon peusapat" (Dalam empang dan plastik merah itu lembaran naskah yang sudah copot saya kumpulkan). Padahal awalnya saya menduga itu adalah bagian perkakas dapur.

Lemari penyimpan naskah yang sebenarnya digunakan untuk simpan gelas, piring dan bahan-bahan dapur

Dalam kondisi seperti ini, kita bersyukur naskah belum musnah akibat bencana alam. Tetapi tidak dapat dipungkiri naskah-naskah tersebut tidak akan bertahan lama dari kerusakan alami yang memang terjadi secara alamiah. 

Bagaimanapun pemerintah harus memberi perhatian lebih kepada perawat-perawat naskah yang telah menghabiskan sebagian hidupnya dan hartanya untuk penyelamatan ini. Bagi saya akan aneh bila ingin dibandingkan bahwa bagi perawat benda cagar budaya seperti benteng, mesjid tuha, candi dan artefak lainnya selalu mendapatkan kucuran dana pemerintah bahkan digaji perbulan untuk jasa perawatan tersebut. Tetapi, mengapa untuk perawat naskah atau lebih kepada khazanah intelektual dan kekayaan budaya Aceh tidak mendapat perhatian apa-apa.

Pemerintah Aceh agar dapat menginventarisir pemilik-pemilik naskah (koleksi) dan bekerjasama dengan mereka dalam bentuk perawatan dan penyelamatan. Para kolektor manuskrip menjadi "partner kerja" bukan "objek kerja" alias "proyek tarek peng", mereka dapat dibiayai negara sebagai penjaga khazanah dan benda-benda cagar budaya, yang -sebenarnya-  sama fungsinya dengan penjaga benteng, mesjid tua, candi, ataupun petugas di museum, perpustakaan dan badan arsip, yang sama-sama tugasnya menjaga khazanah warisan budaya. 

Tentunya hal ini dapat menghemat biaya dinas-dinas (Pemerintah Aceh) daripada membeli naskah-naskah tersebut dengan harga tak terjangkau, sebab selama ini selalu berkilah tidak cukup anggaran. Hal itu itu mengajarkan masyarakat itu merawat khazanahnya, keterlibatan dan kepedulian masyarakat Aceh merupakan hal penting untuk keberlangsungan khazanah di Aceh.

Kolofon Kitab Syarah Matan Fi 'Isyrin, selesai disalin pada malam 24 Ramadhan waktu Isya'.

Masih ada beberapa naskah yang bisa diselamatkan, baik fisik ataupun isinya. Naskah-naskah ini menjadi bahan kajian kepada para pelajar, peneliti dan intelektual di dalam maupun luar negeri, baik pada saat ini ataupun di kemudian hari. Kita patut belajar dari Malaysia, Leiden Belanda, Inggris dan Jerman, mereka mengumpulkan banyak literatur-literatur lama dari berbagai negara dan membuka peluang bagi peneliti untuk berkunjung ke negaranya, dengan demikian telah memberikan investasi kepada negeri melalui pendidikan dan kerjasama penelitian -sekaligus meningkatkan devisa negara-, yang mereka sebut investasi jangka panjang dan berkesinambungan akan memberi dampak positif kepada bidang-bidang lainnya.

Misal diantaranya mengkaji kembali hubungan bisnis Aceh dengan negara luar, baik dalam perdagangan rempah-rempah dan bisnis kertas. Kertas salah satunya di bawah ini merupakan produksi Sanderstead, London UK dicetak pada tahun 1788 dan beberapa tahun kemudian diperdagangkan. Aceh pada posisi tersebut sudah mulai lemah dari sisi ekonomi bisnis dan kekuasaannya, tetapi masih sanggup membeli kertas produk Inggris yang harga melangit karena kualitas bagus.

Salah satu lembaran yang menunjukkan watermark (cap kertas) (Sanderstead, London 1788 M)
Lantas, sampai kapan naskah di Aceh dapat selamat di tangan-tangan koleksi pribadi masyarakat yang mereka awam terhadap manuskrip. Jika mereka tidak disuguhi dengan pengetahuan cara baik dan bijak merawat naskah, tidak diberi pengetahuan tentang penyelematannya, tidak diinformasikan pentingnya karya ulama dan intelektual diwariskan. Maka, saat musnah semuanya Aceh dikenal bangsa tidak punya sejarah dan tidak berperadaban, maka pemerintah Aceh (dan kita) menyuguhkan "Aceh negeri dongeng" kepada generasi selanjutnya.



Baca sebelumnya bagian 1

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top