Friday, October 02, 2020

Pande Menuju Perlak (2)


KASUS
 cagar budaya di Gampong Pande dan sekitarnya, sepertinya akan terus terjadi kerusakan secara sistemik, tidak ada pada satu bagian saja. Akan tetapi telah terjadi banyak kerusakan, mulai dari pelestarian, perlindungan (konservasi), edukasi kepada publik, baik masyarakat ataupun dunia pendidikan, manajemen lintas sektoral, yang semuanya telah terjadi menahun, bukan hanya pada periode ini saja.

Oleh karena itu, Pemerintah Aceh dan khususnya Pemerintah Kota Banda Aceh harus memiliki sikap jelas terhadap UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, dan UU Pemajuan Kebudayaan nomor 5 Tahun 2017.

Tindak lanjut dari amanat negara di atas, setidaknya menjadi pelajaran penting bagi Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Aceh untuk menerbitkan Qanun Cagar Budaya, menetapkan wilayah-wilayah situs, sekaligus pengembangannya dalam pemajuan warisan benda.



Belajar dari Kerkhof

Sebanyak 2.200 orang serdadu dan non-militer Belanda (KNIL) pada perang Aceh dikuburkan di kompleks pemakaman Kerkhof yang memiliki lahan seluas 3,5 hektar. Lahan ini pada awalnya merupakan bagian halaman luar istana Kesultanan Aceh yang sekaligus dimakamkan keluarga Sultan Aceh pada abad ke-17 M.

Banyaknya pasukan dan pimpinan Belanda mati akibat perang, membuat lahan ini dicaplok untuk area kuburan Belanda. Saat Indonesia merdeka, seorang mantan serdadu Belanda menginisiasi perawatan dan perbaikan kuburan indatunya pada tahun 1970-an.

Awalnya dilakukan pengumpulan dana sosial dari generasi para veteran dan publik melalui Yayasan Dana Peutjut (Belanda: Stichting Peutjut Fonds). Akhirnya, pemerintah Belanda juga mengucurkan dana untuk perlindungan dan perawatan kuburan “pahlawan”nya.

Bahkan di tahun 2015, pihak Belanda melalui Kolonel CJ Kool, mantan Atase Militer Belanda ingin mengajukan kuburan Kerkhof menjadi warisan dunia di UNESCO. Lucunya, pihak Kota Banda Aceh tanpa rasa malu dengan semangat mengamini niat tersebut. Padahal, itu menjadi tamparan keras kepada pihak Aceh yang mengabaikan warisan cagar budaya yang telah berumur ratusan tahun dan lebih bernilai harganya.

Tentunya hanya generasi yang memiliki darah pejuang yang akan peduli terhadap indatunya, hanya darah “pejuang Aceh” yang mengalir di tubuhnya yang peduli kepada pendahulunya, dan hanya pemimpin atau orang yang memiliki jiwa kebangsaan yang memperhatikan nasib bangsanya.

Semestinya, kita belajar dari semangat dan kepedulian Belanda terhadap kuburan serdadunya walaupun jauh dari negerinya. Seharusnya kita malu karena makam-makam pahlawan, ulama dan pemimpin (sultan) di depan mata kita hancur dengan cara “sengaja”.



Pusat Arkeologi Asia Tenggara

Salah satu bagian yang dapat diwujudkan Kota Banda Aceh dengan warisan cagar budaya tersebut adalah menjadikan pusat atau museum arkeologi alam di Asia Tenggara. Nama ini tentu sudah dapat ditabal jika melihat sebaran artefak hasil karya pendahulu Aceh tidak hanya berada di Banda Aceh, akan tetapi menyebar hingga ke seberang laut, baik kepulauan di Indonesia ataupun negara-negara jiran.

Banyak negara-negara yang memiliki peradaban tinggi menjadikan cagar budaya menjadi objek wisata dan pusat keilmuan. Turki, Mesir, China, India, dan berbagai negara yang memiliki warisan peradaban cagar budaya menjadi contoh untuk ditiru. Kemajuan dan pemajuan kota serta negara tanpa mengabaikan peninggalan leluhurnya.

Oleh karena itu, daerah-daerah yang memiliki situs tertua dan langka dapat menjadi kawasan situs arkeologi untuk para peneliti, pelajar, pengunjung ataupun wisatawan umum. Dengan demikian, keberadaan situs-situs yang ada di ibukota Aceh juga dapat dipelihara dan dirawat dengan baik agar dapat mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kota Banda Aceh.

Hal tersebut akan menambah daya tarik pengunjung ke Banda Aceh sekaligus membuka investasi dunia penelitian dan pendidikan, kepemudaan setempat, dan ekonomi masyarakat kecil di kawasan tersebut. Program itu juga sejalan dengan misi Kota Banda untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan kesejahteraan masyarakat



Museum Arkeologi

Tak dapat dipungkiri, banyak artefak cagar budaya rusak dan hilang, baik diakibatkan bencana alam ataupun (lebih parah) bencana sosial manusia.

Dari tangan-tangan manusia yang tidak paham pentingnya warisan khazanah cara budaya tersebut ditambah lagi merusak makam-makam orang besar, alim ulama dan para sultan.

Kasus perusakan akibat minimnya pengetahuan masyarakat terhadap makam-makam pusaka tidak dapat disalahkan sepenuhnya, perilaku mereka seperti menghancurkan batu nisan, mencabut, mengasah pisau atau perang, tempat jemuran, lahan sampah dan lainnya, akibat tidak ada pengetahuan dan sosialisasi pentingnya artefak yang tersisa saat ini.

Dua contoh museum arkeologi di dunia, The Grand Egyptian Museum di Mesir, dan Museum Arkeologi atau Istanbul Akeoloji Muzeleri di Turki telah menyedot perhatian dunia. Kedua museum tersebut bahkan mampu mendatangkan investasi besar-besaran dari berbagai negara.

Banda Aceh dengan SDM yang dimiliki, baik dari universitas maupun LSM di Aceh dengan disertai “good will” dari pemerintah Kota Banda Aceh akan terwujud dengan mudah dan berkelanjutan.



Pelestarian Bukan IPAL dan TPA

Proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan sebelumnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) telah merusak tatanan artefak cagar budaya. Kesimpulan itu telah disepakati bersama. Namun solusi dan tindak lanjut yang berbeda melahirkan arah kebijakan yang berbeda.

Cagar Budaya yang rusak dengan cara sengaja tidak dapat ditoleransi sesuai dengan Undang-undang negara.

Maka, pelestarian bukan sebatas penyelamatan yang bersifat penebusan kesalahan. Akan tetapi pelestarian adalah perlindungan dari kerusakan atau kemusnahan, pengawetan, konservasi, hingga menjadi pemanfaatan secara bijaksana.

Jika ada “janji-janji manis” bahwa akan diselamatkan setelah proyek IPAL dan proyek lainnya selesai, maka dapat dipastikan sebagian besar dan atau seluruh wilayah cagar budaya sudah punah. Jadi, apa yang ingin diselamatkan?

Sampai saat ini, sudah banyak sisa-sisa kerajaan Aceh Darussalam yang diceritakan megah justru telah punah, dan hanya tersisa artefak dan manuskrip. Sementara selebihnya hanya dapat ditemui dalam cerita hikayat.

Keraton kesultanan, benteng, makam-makam sultan, warisan intelektual, semua hampir tak terlihat dengan kasat mata bentuknya, apalagi untuk diurus oleh generasinya sendiri.

Jadi tidak tertutup kemungkinan jika kisah Pande juga akan sama menuju kisah Kerajaan Peureulak, yang disebut oleh beberapa ilmuwan sebagai pusat Islam pertama, juga akan punah warisan dan peninggalannya dengan cara yang berbeda.

Sources: https://sumaterapost.com/budaya/opini/2020/09/pande-menuju-perlak-2/

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top