Tuesday, July 20, 2021

Pelayanan Haji Di Jawa Era Kolonial



Pelayanan haji di masa Hindia Belanda di Nusantara mendapat sorotan tajam dari beragam pihak, termasuk pemerintahan Belanda di benua Eropa. Walaupun tidak semua tempat mendapat perlakuan yang sama, akan tetapi salah satunya apa yang terjadi di Sidoarjo menjadi perhatian beberapa delegasi. 

Kasus tersebut dapat dilihat pada tulisan Laffan "Sejarah Islam Nusantara" (2015: 198-199) menuliskan bahwa tentang sebuah surat yang dikirim kepada Snouck dari Singapura menyebutkan Sidoarjo dalam kaitannya dengan ketegangan yang meningkat di Riau. Setelah mengunjungi Tanjung Pinang pada Juni 1904, Haji ‘Abd al-Jabbar dari Sambas menyatakan “sangat terkejut” oleh perilaku pemerintah di sana:

"Belanda sangat buruk memperlakukan orang dan tidak menghargai Islam .... Seorang kepala kampung bernama Haji Muhammad Tayyib dipecat dari jabatannya karena menggelar maulid di rumahnya hingga pukul 2.00 dini hari, meskipun rumahnya berada di kampung Melayu yang sangat jauh dari permukiman Belanda. Sementara itu, orang-orang Belanda bisa melakukan apa pun yang mereka suka jika berpesta, baik di rumah maupun di ruang dansa, dengan musik band atau drum dan biola, menari dan membuat kebisingan lain sembari menyulut petasan hingga larut malam, padahal mereka dekat masjid tempat orang-orang sedang shalat. Yang lebih [mengejutkan] adalah mereka memaksa menanami kuburan orang-orang Muslim sehingga makam- makamnya hilang, yang dilakukan oleh para tahanan Belanda yang memerintah negeri ini. Semua muslim di negeri ini, dan negeri-negeri tetangga, sangat tersinggung. Mereka ingin mengeluh, tapi takut menghadapi kekuasaan. Mereka pun hanya mengeluh diam-diam. Jadilah itu potensi pemberontakan melawan pemerintah. Orang-orang selalu menyalahkan para Haji, mengatakan mereka menghasut orang. Oleh karena itu, saya menulis kepada Tuan dengan harapan Paduka Yang Mulia membantu mendiskusikan perilaku dan tindakan orang-orang Belanda yang tidak patut sehingga Orang-orang Besar Batavia bisa mengeluarkan kebijakan dan memberikan bimbingan yang lebih baik, agar tidak terjadi kerusuhan dan pemberontakan seperti yang baru saja terjadi di negeri Jawa, Sidoarjo. Karena Paduka Yang Mulia paling tahu tentang orang-orang Muslim, meskipun banyak yang tidak melaksanakan semua yang diwajibkan agama mereka". 


Perlakuan Belanda melarang acara-acara keagamaan seperti maulid, ceramah, takbiran, dan lain sebagainya. Tetapi di sisi lain, Belanda membolehkan dan membebaskan kaumnya sendiri berpesta meriah, ricuh dan membuat keributan di kampung-kampung orang Muslim. 

Aturan yang ketat kepada masyarakat muslim setempat, ditambah lagi tuduhan-tuduhan tidak beralasan yang dihubungkan dengan para tokoh-tokoh yang pulang dari haji yang kadang dianggap sebagai penghasut.

Perilaku buruk tersebut telah membuat banyak orang geram dan marah, terutama kawasan-kawasan utama Islam di Nusantara, termasuk Aceh. Kerajaan Aceh yang diindependen sebelum invansi Belanda 1873 telah mengirim beberapa kali laporan ke pihak Eropa dan Turki tentang tabiat buruk tersebut, khususnya juga tentang haji. 

Para jamaah haji dari Nusantara mendapat kesulitan dan beragam aturan yang sulit dipenuhi. Untuk mengetahui sejauh mana kesulitan tersebut dapat dilihat pada catatan visa haji ke Mekkah pada era Kolonial Hindia-Belanda

Pada catatan penting (peringatan) di dalam surat itu sebagaimana tercantum beberapa poin (a s/d d) yang harus dipatuhi oleh para calon jamaah haji dar  dalam gambar di bawah ini:



 





0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top