Berita tentang raibnya naskah-naskah kuno (manuscripts) dari para pemilik naskah di Aceh bukan kabar burung. Manuskrip akan menjadi incaran para pedagang naskah kuno untuk dijadikan segepok materi, khususnya incaran dari luar negeri. Selain jadi ajang bisnis, benda cagar budaya yang satu ini juga unik dan sangat rentan dari kepunahan, mengingat usia kertasnya yang umumnya telah ratusan tahun.
Beberapa kegiatan konservasi dan restorasi telah dilakukan oleh beberapa lembaga non-pemerintah, baik bekerjasama dengan luar negeri maupun atas dana pemerintah Aceh. Sebut saja seperti PKPM (Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat) Aceh, Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara), Universitas Leipzig Jerman, dan Museum Negeri Aceh.
Kegiatan penyelamatan dan pemeliharaan naskah-naskah kuno tersebut sudah meliputi beberapa skriptorium naskah yang dianggap sangat sentral dan banyal menyimpan naskah
, di antaranya koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy Banda Aceh (2006), koleksi Museum Negeri Aceh (2008), koleksi Zawiyah Tanoh Abee Seulimum Aceh Besar (2009), koleksi naskah Tgk Syik Awe Geutah di Kabupaten Bireuen, koleksi Perpustakaan Harun Geusyik Leumik, koleksi pribadi Tarmizi A Hamid Banda Aceh, serta beberapa koleksi pribadi masyarakat di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar.
Walaupun kegiatan ini sudah berjalan, tidak seluruh naskah (manuskrip) dapat direstorasi dan deskripsi, ini tidak lain terkendala batas waktu dan anggaran dana kegiatan. Sebut saja seperti koleksi di Zawiyah Tanoh Abee, Seulimum Aceh Besar, yang dikenal sebagai salah satu Dayah penyimpan naskah terbesar di Aceh, kegiatan restorasi berlangsung selama 2 minggu dan dapat merestorasi (merawat) sekitar 150 dari 600an naskah kuno dengan sistem pelapisan menggunakan kertas Washi dari Jepang.
Demikian juga dengan koleksi Tarmizi A Hamid, hingga saat ini hanya dapat direstorasi dan diperbaiki sekitar 100 naskah kuno yang dilakukan dalam 2 tahap. Padahal, menurut kolektor, ia mengoleksi sekitar 480an naskah kuno dalam berbagai bidang dan bahasa. Demikian juga terhadap koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy, walau sudah final pada tahap restorasi, kini perlu dilakukan digitalisasi naskah, agar kertas-kertas yang rentan terhadap kerusakan tidak sering disentuh (dipegang) olek seseorang, baik atas nama kunjungan ataupun penelitian. Cukup dengan mengakses hasil digital melalui komputer server internal kepada tamu.
Tentunya, harapan terbesar adalah pada pundak Pemerintah Aceh, dan juga kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRK/DPRA) bekerjasama dengan instansi formal dan fokus terhadap naskah, sehingga dapat bersikap proaktif untuk mengingatkan masyarakat terhadap pentingnya menyimpan dan merawat naskah-naskah kuno itu dengan baik sebagai aset daerah yang paling berharga. Naskah kuno itu diyakini masih sangat banyak tersimpan pada masyarakat yang belum terdata, dan tidak masuk dalam daftar aset Pemerintah Daerah. Sebagaimana inventarisasi yang saya lakukan pribadi di beberapa wilayah di Aceh, khususnya Aceh Besar dan Aceh Utara (Pasai). Pendataan naskah kuno itu perlu segera dilakukan, sebab jika dibiarkan lama-lama, aset yang sangat berharap itu bisa saja beralih tangan dan raib dari Aceh.
Beberapa kegiatan konservasi dan restorasi telah dilakukan oleh beberapa lembaga non-pemerintah, baik bekerjasama dengan luar negeri maupun atas dana pemerintah Aceh. Sebut saja seperti PKPM (Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat) Aceh, Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara), Universitas Leipzig Jerman, dan Museum Negeri Aceh.
Kegiatan penyelamatan dan pemeliharaan naskah-naskah kuno tersebut sudah meliputi beberapa skriptorium naskah yang dianggap sangat sentral dan banyal menyimpan naskah
, di antaranya koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy Banda Aceh (2006), koleksi Museum Negeri Aceh (2008), koleksi Zawiyah Tanoh Abee Seulimum Aceh Besar (2009), koleksi naskah Tgk Syik Awe Geutah di Kabupaten Bireuen, koleksi Perpustakaan Harun Geusyik Leumik, koleksi pribadi Tarmizi A Hamid Banda Aceh, serta beberapa koleksi pribadi masyarakat di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar.
Walaupun kegiatan ini sudah berjalan, tidak seluruh naskah (manuskrip) dapat direstorasi dan deskripsi, ini tidak lain terkendala batas waktu dan anggaran dana kegiatan. Sebut saja seperti koleksi di Zawiyah Tanoh Abee, Seulimum Aceh Besar, yang dikenal sebagai salah satu Dayah penyimpan naskah terbesar di Aceh, kegiatan restorasi berlangsung selama 2 minggu dan dapat merestorasi (merawat) sekitar 150 dari 600an naskah kuno dengan sistem pelapisan menggunakan kertas Washi dari Jepang.
Demikian juga dengan koleksi Tarmizi A Hamid, hingga saat ini hanya dapat direstorasi dan diperbaiki sekitar 100 naskah kuno yang dilakukan dalam 2 tahap. Padahal, menurut kolektor, ia mengoleksi sekitar 480an naskah kuno dalam berbagai bidang dan bahasa. Demikian juga terhadap koleksi Yayasan Museum Ali Hasjmy, walau sudah final pada tahap restorasi, kini perlu dilakukan digitalisasi naskah, agar kertas-kertas yang rentan terhadap kerusakan tidak sering disentuh (dipegang) olek seseorang, baik atas nama kunjungan ataupun penelitian. Cukup dengan mengakses hasil digital melalui komputer server internal kepada tamu.
Tentunya, harapan terbesar adalah pada pundak Pemerintah Aceh, dan juga kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRK/DPRA) bekerjasama dengan instansi formal dan fokus terhadap naskah, sehingga dapat bersikap proaktif untuk mengingatkan masyarakat terhadap pentingnya menyimpan dan merawat naskah-naskah kuno itu dengan baik sebagai aset daerah yang paling berharga. Naskah kuno itu diyakini masih sangat banyak tersimpan pada masyarakat yang belum terdata, dan tidak masuk dalam daftar aset Pemerintah Daerah. Sebagaimana inventarisasi yang saya lakukan pribadi di beberapa wilayah di Aceh, khususnya Aceh Besar dan Aceh Utara (Pasai). Pendataan naskah kuno itu perlu segera dilakukan, sebab jika dibiarkan lama-lama, aset yang sangat berharap itu bisa saja beralih tangan dan raib dari Aceh.
5 comments:
Good bang herman, ini bang herman anak misbah dulu kan, kebetulan artikel di blog ini membantu ana membuat makalah tugas MK Filologi yang membahas naskah kuno pulau sumatera termasuk kota aceh .....!
thanks bang herman, artikel di blog anda ini, udah membantu ana membantu tugas Mata kuliah filologi yaitu, membuat makalah tentang naskah kuno dari pulau sumatera, termasuk salah satunya kota aceh, by the way ini bang herman alumni pmmu dulu kan.
Sama2, alhamdulillah jika blog ini telah banyak membantu siapa saja yg mencari ilmu, termasuk anda.
blog ini memang saya dedikasikan utk ilmu manuskrip (filologi), sebagaimana ilmu yg saya tekuni sekarang.
Iya, saya alumni PMMU dulu,
silahkan add FB saya supaya silaturahmi tetap terjalin via online
Salam kenal Bang Herman Syah, sy ingin tahu lebih banyak tentang sejarah Aceh khususnya kerajinan Rencong, bisa dibantu informasi, misal tokoh/pakar rencong, pengrajin dll. trims bang
FB:Iqbal Oemar
Iqbal Oemar.
ada beberapa yg membahas tentang rencong Aceh, tapi belum mendalam, karena belum ada pakar seni Islam di Aceh. Silahkan klik add Facebook badge utk komunikasi selanjutnya. Salam
Post a Comment