Monday, March 05, 2012

Manuskrip Kuno Aceh Tanpa Nama


Siang baru saja berlalu ditemani hujan. Kami meninggalkan kantor redaksi atjehpost.com. Hujan masih menyejukkan langkah kami hingga tiba di serambi rumoh Tarmizi A. Hamid, di Ie Masen, Lampineung, Banda Aceh.

Ini kunjungan hari kedua Penulis Buku "Ayahku Inspirasiku." Sang penulis, Mariska Lubis, sebelumnya kami temani berkunjung ke Kesbangpol, Badan PPA, rumah tokoh pendidikan, Badan Arsip, Dinas Pendidikan, kantor refaksi atjehpost.com.

Hari itu, Rabu (22/2) kami, bersama Mariska Lubis, ingin sekali melihat bukti bahwa tradisi menulis sudah dan pernah jaya di Aceh. Selama ini kami kerap mendengar kalau di Aceh lebih akrab dengan tradisi lisannya. Ternyata, asumsi kami terbukti.
Di rumah Tarmizi A Hamid banyak tersedia bukti berupa manuskrip kuno.

Kami langsung kagum. Di antara kami bahkan ada yang merasa tertampar. Merasa betapa mundurnya Aceh saat ini. Berbeda sekali dengan Aceh masa lalu. Sangat kaya pengetahuan. Hebatnya lagi, pengetahuan itu juga membuktikan tingginya seni orang Aceh. Buktinya, naskah pengetahuan ditulis dengan sentuhan seni yang terjaga.

Di rumah yang menyimpan ragam manuskrip kuno kami disambut oleh Tarmizi A. Madjid dan Hermansyah. Setelah menyampaikan sambutan teurimong jamee kepada kami diperlihatkan beragam manuskrip kuno. Kami pun terkagum-kagum. Di masing-masing benak kami menari berbagai ragam pikiran. Jelasnya kami punya satu kesimpulan, betapa kayanya pengetahuan Aceh di masa lalu.

Berikut gambaran Hermasyah di blognya tentang kehadiran Gen-K. Hermansyah menulis: Di antara keseriusan pembicaraan di ruang tamu beralaskan hambal dan tikar, tak lepas dari ketakjuban dan terkejut atas koleksi naskah Tarmizi A Hamid yang mulai di buka satu per satu. Dari naskah berukuran kecil hingga mushaf Al-Qur'an yang berukutan tebal dan besar.

Semua mata terbelalak, termasuk penulis buku Mariska Lubis dan pembina Gen-K Risman A Rachman, karena keduanya sudah sangat lama merindukan untuk melihat kehebatan dan keajaiban naskah-naskah kuno.

Dalam temu ramah tersebut antara tamu dan tuan rumah berbagi informasi dan menjalin kerjasama untuk dapat dimanfaatkan ke duanya. Bahwa salah satunya, bagaimana menginformasikan akan kepentingan naskah-naskah ini kepada generasi selanjutnya.

Dalam pertemuan ini, saya (Hermansyah) menyampaikan apa yang telah terjadi dengan kondisi naskah-naskah di Aceh, dan apa yang harus dilakukan, oleh masyarakat dan juga -pastinya- pemerintah. Ada beberapa hal pokok dan sangat penting untuk segera ditindak lanjuti untuk menyelamatkan naskah-naskah Aceh, seperti memberi penyuluhan dan informasi akan pentingnya manuskrip Aceh terpelihara di negerinya sendiri, dan yang tidak kalah penting adalah, melahirkan SDM yang  mampu mengkaji dan meneliti naskah.

Jika tidak, akan terjadi seperti apa yang sudah terjadi terhadap Museum Negeri Aceh, sekitar  900 naskah manuskrip milik Museum Aceh telah digitalkan oleh warga asing tanpa sepengetahun orang Aceh atau tanpa mengajari dan mewariskan ilmu bagaimana memanfaatkannya. Hasil digital naskah-naskah itu dibawa ke Jerman untuk dikaji dan diteliti. Padahal, seharusnya hal itu tidak boleh terjadi apabila orang Aceh punya kepekaan pada sejarah dan sumber-sumber kuno  yang mengambarkan intelektual dan kebesaran Aceh masa lalu.

Ada satu hal menarik, yang membuat gen-K terkesima.  Pepatah "apalah arti sebuah nama" tergambar pada semua manuskrip yang kami lihat. Tidak ada satupun tercantum nama penulis. Ini sungguh berbeda dengan era kita saat ini. Semua tulisan baik di buku, media massa dan semua bentuk penulisan wajib mencantumkan nama penulis. Kalaupun ada sangat sedikit penulis yang tidak mau namanya dicantumkan.

Meski nama penulis atau pengarang tidak tercantum di naskah atau kitab namun pembaca atau peneliti tahu siapa penulisnya. Umumnya di lihat dari gaya penulisan dan ajaran atau ilmu yang terkandung di dalam naskah. Bukankah itu sungguh luar biasa? Bisa jadi penulis atau pengarang kitab pada masa lalu mencantumkan nama mereka. Mungkin ini ada kaitannya dengan kearifan ilmu mereka yang malu dengan Sang Khalik, pemilik segala ilmu. Soal malu juga dibenarkan tuan rumah,  Tarmizi A. Hamid dan Hermansyah.

Hari itu, kami bangga akhirnya mengetahui jejak kebesaran masa lalu Aceh. Berbagai naskah sudah kami lihat. Ada al-quran yang khusus digunakan untuk melantik para pembesar, ada naskah yang membahas soal gempa, ada naskah soal obat-obatan, ada naskah lainnya.

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top