Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Indonesia atau PNRI yang berada di Salemba Jakarta menyimpan sepuluh ribuan naskah tulisan tangan (manuskrip) dari berbagai daerah, sebagiannya berasal dari Aceh, baik yang berbahasa Melayu (Jawi) dan berbahasa Aceh. Harta karun Aceh ini masih bersemanyam di lantai 5 Perpusnas Jakarta, bersama dengan naskah-naskah lainnya. Koleksi PNRI ini terdiri dari dua bagian besar, ialah koleksi berupa buku terjilid yang disimpan dalam bebarisan rak besi, diurut sesuai nama subkoleski, dan koleksi "non-buku" yang tersimpan dalam peti yang dulu disebut trommel, tapi sekarang dalam kota karton atau laci kabinet.
Mayoritas naskah Melayu pada koleksi Bataviaasch Genootschap terdapat dalam tiga koleksi tertutup (Br, Cs, W) dan satu koleksi terbuka. Naskah Melayu diberi kode ML dalam katalo T.E Behrend, dan awalnya berjumlah 594 buah, yang dinomori 1 s/d 542. Apabila ada naskah berbahasa Melayu dan aksara Arab-Jawi yang diperoleh PNRI, akan didolongkan dalam kategori NB (Naskah Baru). Lagi-lagi Bataviaasch Genootschap menggolongkan naskah tersebut menjadi dua kelompok, yakni open collecties (koleksi terbuka) dan gesloten collecties (koleksi tertutup). Koleksi terbuka masih ditambahkan naskah perolehan baru, sedangkan yang tertutup sudah dianggap genap, biasanya karena kekhasan identitas koleksi tersebut.
Sedangkan naskah Aceh tergabung dalam koleksi Aneka Bahasa Nusantara, yaitu subkoleksi Verschillende Talen (VT). Ada sekitar 448 buah naskah dalam 47 bahasa. Sedangkan bahasa Aceh sekitar 73 naskah, dan bahasa Belanda yang membahas Aceh sekitar 15 naskah. Puluhan naskah yang berbahasa Aceh tersebut meliputi berbagai bidang ilmu, dan mengandung berbagai pengetahuan dan informasi, misalnya naskah Hikayat balukia, Hikayat Cahya Manikam, Hikayat Malem Diwa, Hikayat Bakawali, Malem Dagang, Moesang Meujanggot, Hikayat Mekah-Madinah, Hikayat Prang Sabi, Hikayat Prang Coempani, dan sebagainya.
Sedangkan dalam bahasa Jawi yang menceritakan tentang Aceh sangat banyak sekali dan bahkan sangat penting, sebut saja Bustan as-Salatin fi al-Awwalin wal Akhirin, Hill al-Zill, Sirat al-Mustaqim, Syifa' al-Qulub karya Nuruddin ar-Raniry, Hikayat Hang Tuah, Khutbah fi al-Jihad, Undang-undang Aceh dan Nasehat, Surat-surat dari Aceh, tarekat dan tasawuf, dan maih banyak pembahasan lainnya.
Semua naskah di atas belum dijumlahkan dengan sumbangan naskah Aceh pasca gempa dan tsunami dari program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, khususnya penyelamatan naskah-naskah kuno.
Kini, harta karun manuskrip Aceh di Perpusnas (PNRI) Jakarta sudah lama terpendam, tidak ada generasinya yang mengkajinya, bahkan tidak ada kepedulian pemerintah daerah Aceh untuk menjenguknya. Padahal, manuskrip-manuskrip (manuscripts) tersebut sudah dapat dipetik hasilnya. Sudah bukan saatnya menunggu uluran tangan orang asing untuk mengemis mengharap perhatian dan bantuan mereka, toh kita sudah baligh dan mandiri. Wallahu a'lam []
Mayoritas naskah Melayu pada koleksi Bataviaasch Genootschap terdapat dalam tiga koleksi tertutup (Br, Cs, W) dan satu koleksi terbuka. Naskah Melayu diberi kode ML dalam katalo T.E Behrend, dan awalnya berjumlah 594 buah, yang dinomori 1 s/d 542. Apabila ada naskah berbahasa Melayu dan aksara Arab-Jawi yang diperoleh PNRI, akan didolongkan dalam kategori NB (Naskah Baru). Lagi-lagi Bataviaasch Genootschap menggolongkan naskah tersebut menjadi dua kelompok, yakni open collecties (koleksi terbuka) dan gesloten collecties (koleksi tertutup). Koleksi terbuka masih ditambahkan naskah perolehan baru, sedangkan yang tertutup sudah dianggap genap, biasanya karena kekhasan identitas koleksi tersebut.
Sedangkan naskah Aceh tergabung dalam koleksi Aneka Bahasa Nusantara, yaitu subkoleksi Verschillende Talen (VT). Ada sekitar 448 buah naskah dalam 47 bahasa. Sedangkan bahasa Aceh sekitar 73 naskah, dan bahasa Belanda yang membahas Aceh sekitar 15 naskah. Puluhan naskah yang berbahasa Aceh tersebut meliputi berbagai bidang ilmu, dan mengandung berbagai pengetahuan dan informasi, misalnya naskah Hikayat balukia, Hikayat Cahya Manikam, Hikayat Malem Diwa, Hikayat Bakawali, Malem Dagang, Moesang Meujanggot, Hikayat Mekah-Madinah, Hikayat Prang Sabi, Hikayat Prang Coempani, dan sebagainya.
Sedangkan dalam bahasa Jawi yang menceritakan tentang Aceh sangat banyak sekali dan bahkan sangat penting, sebut saja Bustan as-Salatin fi al-Awwalin wal Akhirin, Hill al-Zill, Sirat al-Mustaqim, Syifa' al-Qulub karya Nuruddin ar-Raniry, Hikayat Hang Tuah, Khutbah fi al-Jihad, Undang-undang Aceh dan Nasehat, Surat-surat dari Aceh, tarekat dan tasawuf, dan maih banyak pembahasan lainnya.
Semua naskah di atas belum dijumlahkan dengan sumbangan naskah Aceh pasca gempa dan tsunami dari program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, khususnya penyelamatan naskah-naskah kuno.
Kini, harta karun manuskrip Aceh di Perpusnas (PNRI) Jakarta sudah lama terpendam, tidak ada generasinya yang mengkajinya, bahkan tidak ada kepedulian pemerintah daerah Aceh untuk menjenguknya. Padahal, manuskrip-manuskrip (manuscripts) tersebut sudah dapat dipetik hasilnya. Sudah bukan saatnya menunggu uluran tangan orang asing untuk mengemis mengharap perhatian dan bantuan mereka, toh kita sudah baligh dan mandiri. Wallahu a'lam []
2 comments:
perlu kepedulian setiap masyarakat aceh untuk mendalami sejarah aceh. . Supaya ia tau siapa sebenarnya dirinya. . Baik sejarah2 yang tesimpan di musium mapun melalui buku2 yang sudah di edarkan.
lg nyimak nih gan :)
Post a Comment