Beberapa pekan belakangan ini kasus Lamuri pesisir Krueng Raya masih hangat dibicarakan, khususnya di level para sejarawan, budayawan dan intelektual, pejabat, dan investor. Ada dua versi, satu kelompok yang mejadi pejuang ingin menyelamatkan warisan situs sejarah yang terpendam di dalamnya. Sedangkan pihak yang berbeda menjanjikan pengembangan bisnis lahan sebagai modal investasi, tepatnya menjadi lapangan golf.
Lamuri, Lamreh, atau Lambri, dan apapun namanya yang berada di wilayah pesisir pantai timur Aceh Besar tersebut memang menyimpan ragam misteri dan sejarah. Oleh sebagian ilmuwan menyebut bahwa wilayah Lamuri lenyap akibat gempa dan tsunami yang menghantam pada abad ke-14 M. Ciri-ciri itu diperoleh dari endapan pasir di sepanjang pantai tersebut dan karang dasar laut di atas bukit Lamreh. Bencana tersebut membuat masyarakat setempat migrasi secara besar-besaran ke wilayah Koetaradja (Banda Aceh) dan sekitarnya.
Sebelum sejarawan dan arkeolog tuntas menunaikan kewajibannya untuk meneliti yang tersimpan di Lamuri, akhirnya wilayah tersebut tergadaikan untuk pembebasan kawasan lapangan golf, yaitu tepat di wilayah peninggalan Kerajaan Lamuri. Sebuah kesultanan Islam yang diduga eksis sebelum lahirnya Kesultanan Aceh Darussalam. Saat kekuasaan dibawah kendali Kesultanan Aceh, Lamuri pun dijadikan sebagai basis pertahanan karena telah memiliki peradaban dan kekuatan militer yang maksimal, khususnya di bidang perairan dan kelautan.
Apabila mengulas kembali investasi di Aceh, ini merupakan kasus pembangunan kesekian kalinya yang kontroversi di Aceh yang mengabaikan nilai-nilai sejarah dan peradaban. Sebelumnya, kasus perencanaan pembangunan hotel Internasional berbintang di kawasan Mesjid Raya Baiturrahman pada penghujung tahun 2011. Pembangunan di sekitar lingkungan mesjid bersejarah tersebut dianggap mengotori catatan sejarah dan budaya. Hingga akhirnya, atas desakan banyak pihak dari lembaga swadaya dan masyarakat, proyek tersebut ditunda.
Lamuri dan Inong Balee
Benteng Inong Balee dan bukit Lamuri merupakan bukti situs sejarah kekuatan Islamisasi dan Kesultanan di Aceh, khususnya kaum hawa yang memegang peranan kaum laki-laki. Jika merujuk pada kamus Aceh, balee dimaknai seseorang yang meninggal suami atau istrinya, baik pihak laki-laki (agam balee) ataupun wanita (inong balee). Walaupun dalam realitanya di Aceh, inong balee tidak hanya dominasi para janda yang suaminya syahid, tetapi juga banyak diminati oleh dara-dara (gadis) Aceh. Para gadis tersebut menyakini akan mendapat pendamping hidupnya di surga nanti jika gugur di medan perang Sabil, sebagaimana syahid yang diyakini para pemuda Aceh dalam prang Sabil melawan Belanda.
Jika merujuk makna inong balee di atas, maka setiap perempuan yang meninggal suaminya dikategorikan ke dalam kelompok tersebut. Secara filosofis, saat menghadapi posisi tersebut, bukan alasan untuk putus semangat hidup dan menyesalinya. Maka, banyak inong balee Aceh yang mampu menjadi teladan untuk sepanjang masa, bahkan peranan mereka tak perlu diragukan lagi, walaupun belum terekam dalam buku kurikulum pendidikan sejarah kita.
Lamuri telah melahirkan banyak sosok pejuang yang mengispirasi, salah satunya adalah Laksanama Malahayati. Posisi politiknya sebagai Panglima Jawatan Rahasia (Geheimraad) dan panglima protokol periode Sultan Sayyid Mukammil Riayat Syah (1604) hingga awal masa Sultan Iskandar Muda. Laksamana Malahayati menjadi panglima ribuan pasukan perempuan, dan kapal perang khusus yang mengawasi daerah Lamreh dan Krueng Raya Aceh Besar, sebagai pintu gerbang via laut memasuki Koetaradja. Mereka (inong balee) menjadi benteng utama bersama dengan pasukan kaum Adam di perairan Selat Malaka, khususnya membentengi serangan Portugis dan Belanda. Menurut beberapa literature, kepahlawanan Malahayati hingga kini masih terekam dalam sejarah Eropa saat mengalahkan pasukan Cornelis dan Frederik de Hautman yang tewas di tangan Malahayati (September, 1599).
Tokoh dan peran Laksamana Malahayati yang kemudian banyak menginspirasi para wanita di periodenya atau setelahnya, seperti Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam (1641-1675 M). Seorang sultanah yang memimpin Kesultanan Aceh pasca meninggal suaminya, Iskandar Tsani (w. 1641). Ia menjadi Sultanah bukan ditunjuk oleh ayahnya Sultan Iskandar Muda (w. 1637), tapi ia dipilih oleh Maharajalela dan anggota Rong Sari (setingkat MPR dan DPR sekarang). Ini menunjukkan eksistensi wanita di Aceh periode tersebut memiliki peran dan posisi yang sama dengan kaum laki-laki, bahkan termasuk di ranah pemerintahan.
Tokoh inong Aceh lainnya yang lahir dan berjuang di periode berikutnya hingga pada masa kemerdekaan, seperti Cut Nyak Dhien binti T. Nanta Muda Seutia, Tgk Fakinah, Cut Nyak Mutia, Pocut Baren, dan lainnya yang bergerak dalam bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pejuang, dan seorang teungku atau guru, terinspirasi dari tokoh Laksamana Malahayati.
Menyelamatkan Lamuri
Langkah pelestarian kawasan situs Lamuri tetap menjadi perawan memang perlu diwujudkan, memberikan ruang kepada “pejuang intelektual” untuk menjamah khazanah yang tersimpan di dalamnya, hingga dapat diwariskan pengetahuan tersebut kepada generasi selanjutnya. Pemerintah Aceh dan Kabupaten serta SKPA terkait memiliki kewajiban untuk menjembatani penyelamatan Lamuri tersebut. Jika tidak dilakukan, maka tentu kita menjadi generasi yang menggadaikan leluhurnya. Sebab, pembangunan lapangan golf yang digadang, sepertinya tidak berdampak banyak terhadap pengembangan ekonomi masyarakat sekitar, bahkan dapat menciptakan kesenjangan sosial di wilayah tersebut. Karena, kosumsi golf diidentikkan hanya untuk pejabat kelas atas, bukan untuk inong balee ataupun masyarakat biasa.
Tanpa mengabaikan hasrat investor, pemerintah memberi alternatif lahan di luar kawasan situs Lamuri. Dengan demikian, pengembangan lapangan golf sebagai ajang pengembangan bakat dan olah raga, tidak merusak khazanah dan kekayaan alam sejarah Lamuri. Sebaliknya kawasan situs tersebut menjadi salah satu aset visitasi sejarah dan budaya di Aceh yang dapat dijadikan income untuk pemerintah dan masyarakat setempat. Kini, hanya political will dari pemerintah untuk menyelamatkan kawasan Lamuri.[]
Tulisan ini sudah dipublish di Atjeh post: http://atjehpost.com/read/2012/08/16/18089/77/3/Jasmerah-Lamuri
Lamuri, Lamreh, atau Lambri, dan apapun namanya yang berada di wilayah pesisir pantai timur Aceh Besar tersebut memang menyimpan ragam misteri dan sejarah. Oleh sebagian ilmuwan menyebut bahwa wilayah Lamuri lenyap akibat gempa dan tsunami yang menghantam pada abad ke-14 M. Ciri-ciri itu diperoleh dari endapan pasir di sepanjang pantai tersebut dan karang dasar laut di atas bukit Lamreh. Bencana tersebut membuat masyarakat setempat migrasi secara besar-besaran ke wilayah Koetaradja (Banda Aceh) dan sekitarnya.
Sebelum sejarawan dan arkeolog tuntas menunaikan kewajibannya untuk meneliti yang tersimpan di Lamuri, akhirnya wilayah tersebut tergadaikan untuk pembebasan kawasan lapangan golf, yaitu tepat di wilayah peninggalan Kerajaan Lamuri. Sebuah kesultanan Islam yang diduga eksis sebelum lahirnya Kesultanan Aceh Darussalam. Saat kekuasaan dibawah kendali Kesultanan Aceh, Lamuri pun dijadikan sebagai basis pertahanan karena telah memiliki peradaban dan kekuatan militer yang maksimal, khususnya di bidang perairan dan kelautan.
Apabila mengulas kembali investasi di Aceh, ini merupakan kasus pembangunan kesekian kalinya yang kontroversi di Aceh yang mengabaikan nilai-nilai sejarah dan peradaban. Sebelumnya, kasus perencanaan pembangunan hotel Internasional berbintang di kawasan Mesjid Raya Baiturrahman pada penghujung tahun 2011. Pembangunan di sekitar lingkungan mesjid bersejarah tersebut dianggap mengotori catatan sejarah dan budaya. Hingga akhirnya, atas desakan banyak pihak dari lembaga swadaya dan masyarakat, proyek tersebut ditunda.
Lamuri dan Inong Balee
Benteng Inong Balee dan bukit Lamuri merupakan bukti situs sejarah kekuatan Islamisasi dan Kesultanan di Aceh, khususnya kaum hawa yang memegang peranan kaum laki-laki. Jika merujuk pada kamus Aceh, balee dimaknai seseorang yang meninggal suami atau istrinya, baik pihak laki-laki (agam balee) ataupun wanita (inong balee). Walaupun dalam realitanya di Aceh, inong balee tidak hanya dominasi para janda yang suaminya syahid, tetapi juga banyak diminati oleh dara-dara (gadis) Aceh. Para gadis tersebut menyakini akan mendapat pendamping hidupnya di surga nanti jika gugur di medan perang Sabil, sebagaimana syahid yang diyakini para pemuda Aceh dalam prang Sabil melawan Belanda.
Jika merujuk makna inong balee di atas, maka setiap perempuan yang meninggal suaminya dikategorikan ke dalam kelompok tersebut. Secara filosofis, saat menghadapi posisi tersebut, bukan alasan untuk putus semangat hidup dan menyesalinya. Maka, banyak inong balee Aceh yang mampu menjadi teladan untuk sepanjang masa, bahkan peranan mereka tak perlu diragukan lagi, walaupun belum terekam dalam buku kurikulum pendidikan sejarah kita.
Lamuri telah melahirkan banyak sosok pejuang yang mengispirasi, salah satunya adalah Laksanama Malahayati. Posisi politiknya sebagai Panglima Jawatan Rahasia (Geheimraad) dan panglima protokol periode Sultan Sayyid Mukammil Riayat Syah (1604) hingga awal masa Sultan Iskandar Muda. Laksamana Malahayati menjadi panglima ribuan pasukan perempuan, dan kapal perang khusus yang mengawasi daerah Lamreh dan Krueng Raya Aceh Besar, sebagai pintu gerbang via laut memasuki Koetaradja. Mereka (inong balee) menjadi benteng utama bersama dengan pasukan kaum Adam di perairan Selat Malaka, khususnya membentengi serangan Portugis dan Belanda. Menurut beberapa literature, kepahlawanan Malahayati hingga kini masih terekam dalam sejarah Eropa saat mengalahkan pasukan Cornelis dan Frederik de Hautman yang tewas di tangan Malahayati (September, 1599).
Tokoh dan peran Laksamana Malahayati yang kemudian banyak menginspirasi para wanita di periodenya atau setelahnya, seperti Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam (1641-1675 M). Seorang sultanah yang memimpin Kesultanan Aceh pasca meninggal suaminya, Iskandar Tsani (w. 1641). Ia menjadi Sultanah bukan ditunjuk oleh ayahnya Sultan Iskandar Muda (w. 1637), tapi ia dipilih oleh Maharajalela dan anggota Rong Sari (setingkat MPR dan DPR sekarang). Ini menunjukkan eksistensi wanita di Aceh periode tersebut memiliki peran dan posisi yang sama dengan kaum laki-laki, bahkan termasuk di ranah pemerintahan.
Tokoh inong Aceh lainnya yang lahir dan berjuang di periode berikutnya hingga pada masa kemerdekaan, seperti Cut Nyak Dhien binti T. Nanta Muda Seutia, Tgk Fakinah, Cut Nyak Mutia, Pocut Baren, dan lainnya yang bergerak dalam bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pejuang, dan seorang teungku atau guru, terinspirasi dari tokoh Laksamana Malahayati.
Bersama dengan Dr Husaini Ibrahim, MA, di kawasan Lamuri |
Langkah pelestarian kawasan situs Lamuri tetap menjadi perawan memang perlu diwujudkan, memberikan ruang kepada “pejuang intelektual” untuk menjamah khazanah yang tersimpan di dalamnya, hingga dapat diwariskan pengetahuan tersebut kepada generasi selanjutnya. Pemerintah Aceh dan Kabupaten serta SKPA terkait memiliki kewajiban untuk menjembatani penyelamatan Lamuri tersebut. Jika tidak dilakukan, maka tentu kita menjadi generasi yang menggadaikan leluhurnya. Sebab, pembangunan lapangan golf yang digadang, sepertinya tidak berdampak banyak terhadap pengembangan ekonomi masyarakat sekitar, bahkan dapat menciptakan kesenjangan sosial di wilayah tersebut. Karena, kosumsi golf diidentikkan hanya untuk pejabat kelas atas, bukan untuk inong balee ataupun masyarakat biasa.
Tanpa mengabaikan hasrat investor, pemerintah memberi alternatif lahan di luar kawasan situs Lamuri. Dengan demikian, pengembangan lapangan golf sebagai ajang pengembangan bakat dan olah raga, tidak merusak khazanah dan kekayaan alam sejarah Lamuri. Sebaliknya kawasan situs tersebut menjadi salah satu aset visitasi sejarah dan budaya di Aceh yang dapat dijadikan income untuk pemerintah dan masyarakat setempat. Kini, hanya political will dari pemerintah untuk menyelamatkan kawasan Lamuri.[]
Tulisan ini sudah dipublish di Atjeh post: http://atjehpost.com/read/2012/08/16/18089/77/3/Jasmerah-Lamuri
0 comments:
Post a Comment