Ada dua hal penting terkait Hamzah Fansuri dan karya yang menjadi kajian, atau penelitian, hingga saat ini belum terjawab, pertama biografi Hamzah Fansuri, dan kedua, orisinil dan konstribusi karyanya. Kedua problematika tersebut –belum- mewakili dari teka-teki lainnya yang hingga saat ini menjadi ranah kajian multidisiplin ilmu, sebut saja teolog, arkeolog, sastrawan, sejarawan, dan lainnya.
Riwayat Hamzah Fansuri semakin buram saat dua naskah sejarah, Hikayat Aceh dan Bustan as-Salatin, yang diyakini akurat, ternyata sama sekali tidak mencatat nama Hamzah Fansuri, ini yang menjadi tanda tanya bagi peneliti seperti Van der Tuuk (1877) dan Kraemer (1921). Karenanya, timbullah kubu-kubu yang mengasumsi masa hidup dan kiprah Hamzah Fansuri. Kelompok pertama; Doorenbos (1933), Winstedt (1969), Harun Hadiwijono (1967), dan Ali Hasjmy (1984) menyatakan Hamzah Fansuri hidup hingga tahun 1636 M.
Klaim tersebut dibantah oleh Nieuwenhuyze (1945) dan Voorhoeve (1952) yang menyebut ia hidup hingga akhir abad ke-16 M, atau seirama dengan Drewes (1986) bahwa Hamzah meninggal 1590 M. Alasannya, karena ia hanya mengajar ‘Martabat 5’ dantidak mengajari ‘Martabat 7’ dari inti kitab Tuhfah by M Fadhlullah al-Burhanpuri, yang eksis abad ke-17.
Akan tetapi, argument tersebut disanggah oleh kelompok ketiga, Naquib al-Attas (1970), Brakel (1979), dan Braginsky (1992), menurut mereka,
Hamzah Fansuri hidup hingga pertengahan abad ke-17, atau di awal-awal Sultan Iskandar Muda. Hal ini diperkuat oleh laporan Peter Sourij sebagai delegasi VOC Belanda ke Sumatra.
Dua kelompok terakhir di atas dengan sendirinya menjawab persoalan perselisihan Nuruddin ar-Raniry dengan Hamzah Fansuri. Bahwa perdebatan, persekusi tersebut bukanlah Hamzah Fansuri, tapi pengikutnya dikemudian hari. Karenanya, kedua mereka tidak ada pertemuan langsung, sebab dipastikan hidup di zaman dan wilayah yang berbeda.
Persoalan kedua merupakan karyanya yang masih diburu, walaupun kemasyhurannya tidak diragukan, akan tetapi naskah-naskahnya sulit ditemukan, termasuk di Aceh. alasan utama pembakaran kitab-kitab wahdatul wujud semasa Iskandar Tsani atas saran fatwa Nuruddin ar-Raniry tahun 1638 M. Akan tetapi, beberapa naskahnya kini masih dijumpai:
1. Syarab al-Asyiqin, prosa tasawuf yang membahas tentang ilmu suluk yang terdiri dari syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Kitab ini diduga memiliki nama lain sebagaimana koleksi YPAH berjudul Zinat al-Muwahhidin dan Asrar al-‘Asyiqin. Kandungannya tentang ringkasan wahdatul wujud Ibn ‘Arabi, Sadruddin al-Qunawi, dan Abdul karim al-Jili, dan dimanifestasikan –kemungkinan- dalam tarekat Qadiriyah.
2. Asrar al-‘Arifin merupakan karya prosa yang cukup panjang dan unik. Unik karya karya ini interpretasi puisinya sendiri yang belum ditemui bandingannya di dunia Melayu-Nusantara. Karya ini diilhami oleh Sawānih Ahmad al-Ghazali, Tarjuman al-Asywāq Ibnu ‘Arabi, Lama’at ‘Iraqi, dan Lawā’ih al-Jami’.
3. Al-Muntahi, kitab ini ringkas tapi padat, ditemukan juga dalam versi Jawa koleksi Sultan Abu al-Nasr Abdul Qahhar alias Sultan Haji (w. 1687).
Selain dalam bentuk prosa, Hamzah Fansuri dikenal sebagai penyair. Syair-syairnya yang menggugah banyak thalib (pelajar) luar menuju Aceh. Walaupun ada perdebatan yang terjadi tentang orisinil karya Hamzah Fansuri, sebagaimana perdebatan masa hidupnya, akan tetapi ia telah menjadi simbol penting dalam dunia sastra.
Hingga kini, tidak kurang dari 32 kumpulan syair karangannya. Karyanya dalam bentuk syair adalah Burung Pinggai/unggas, syair Ikan tongkol, Syair Sidang Fakir, Syair Bahrain, syair Anak Dagang. Dan syair-syair yang diperdebatkan, syair perahu, bahr nisa’. Selain dua perdebatan tersebut, syair karya muridnya Hasan Fansuri dan Abdul Jamal juga dianggap tidak seirama dengan syair gurunya.
A.Teeuw menyebutkan paling tidak ada tiga corak puisi Hamzah Fansuri sehingga dapat disebut modern dalam permulaan puisi Indonesia bukan Melayu saja. Pertama, individulitasnya; puisinya tidak anonim seperti biasa terjadi dengan sastra Melayu lama. Hamzah Fansuri dengan tegas mengemukakan dirinya sebagai pengarang syairnya, tidak hanya dalam sebuah kolofon atau pascakata, tetapi didalam teks puisinya sendiri, dia menerapadukan namanya dengan kepribadiannya dalam puisinya. Dengan demikian Hamzah Fansuri melambangkan era baru dalam sastra, sebagai ungkapan seorang individu yang memanisfestasikan kepribadian secara sadar dalam puisi.
Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya. Hal itu kita lihat kemudian dalam perkembangan puisi Indonesia pada abad ini, misalnya dengan penciptaan soneta oleh penyair tahun abad ke-19 dan 20. Dan Ketiga, menyangkut pemakaian bahasa yang sangat kreatif. Misalnya pemakaian kata-kata Arab yang sangat menonjol dalam puisinya.
Syair-syair Hamzah Fansuri juga menunjukkan persamaan struktur yang menarik. Setiap syair bertema salah satu aspek ilmu tasawuf Hamzah Fansuri, yang diuraikan dalam bentuk puitis. Uraian itu ada kalanya bersifat ajaran digabung dengan peringatan/nasehat ataupun luapan ekstasis pengalaman penghayatan spiritual. Syair-syairnya yang tidak menampakkan atavisme (penjelmaan binatang anonim) merupakan inovasi yang betul-betul orisinil yang sebelumnya tidak dijumpai dalam kesusastraan Melayu.
Kita patut berterima kasih, saat A Teeuw (Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, 1994), membantah atas klaim sastrawan lain, menurut Sutan Takdir Alisjahbana bahwa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai “Perintis Sastra Melayu Baru”, melalui gaya sastra penceritaan akuan (aku sebagai pencerita), -merupakan yang pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia- (Mahayana, 1995: 152) yang diciptakan Abdullah ternyata telah terdapat dalam syair-syair Hamzah Fansuri dua abad sebelumnya.
Demikian juga, saat gelar “Bapak Kesusastraan Melayu” diberikan kepada Raja Ali Haji (Mahayana: 162) atas karya monumentalnya, Gurindam Dua Belas, yang terbit pada tahun 1263 H (1847 M)—jauh lebih muda ketimbang karya Abdul Kadir Munsyi, apalagi dengan zaman Hamzah Fansuri. Melihat analisis A Teeuw terhadap karya Hamzah Fansuri, sudah pasti karya Raja Ali Haji dipengaruhi oleh syair-syair Hamzah Fansuri. Oleh karenanya, wajib hukumnya bagian kesusastraan Indonesia menulis ulang sejarahnya lagi dengan mencantumkan Hamzah Fansuri sebagai penyair klasik dan modern pertama dan atau Bapak Kesusasteraan Melayu. Hal tersebut senada dengan R.J. Wilkinson dan R.O Winstedt dalam bukunya Kumpulan Pantun Melayu (1961), dan Abdul Hadi WM (2001). []
Naskah ini disampaikan dalam Dialog Sastra 2013 diskusi tentang pengaruh Hamzah Fansuri yang diadakan oleh Institut Sastra Hamzah Fansuri, Banda Aceh, 23 Februari 2013
http://www.peradabandunia.com/2013/02/melacak-naskah-hamzah-fansuri.html
Riwayat Hamzah Fansuri semakin buram saat dua naskah sejarah, Hikayat Aceh dan Bustan as-Salatin, yang diyakini akurat, ternyata sama sekali tidak mencatat nama Hamzah Fansuri, ini yang menjadi tanda tanya bagi peneliti seperti Van der Tuuk (1877) dan Kraemer (1921). Karenanya, timbullah kubu-kubu yang mengasumsi masa hidup dan kiprah Hamzah Fansuri. Kelompok pertama; Doorenbos (1933), Winstedt (1969), Harun Hadiwijono (1967), dan Ali Hasjmy (1984) menyatakan Hamzah Fansuri hidup hingga tahun 1636 M.
Klaim tersebut dibantah oleh Nieuwenhuyze (1945) dan Voorhoeve (1952) yang menyebut ia hidup hingga akhir abad ke-16 M, atau seirama dengan Drewes (1986) bahwa Hamzah meninggal 1590 M. Alasannya, karena ia hanya mengajar ‘Martabat 5’ dantidak mengajari ‘Martabat 7’ dari inti kitab Tuhfah by M Fadhlullah al-Burhanpuri, yang eksis abad ke-17.
Akan tetapi, argument tersebut disanggah oleh kelompok ketiga, Naquib al-Attas (1970), Brakel (1979), dan Braginsky (1992), menurut mereka,
Hamzah Fansuri hidup hingga pertengahan abad ke-17, atau di awal-awal Sultan Iskandar Muda. Hal ini diperkuat oleh laporan Peter Sourij sebagai delegasi VOC Belanda ke Sumatra.
Dua kelompok terakhir di atas dengan sendirinya menjawab persoalan perselisihan Nuruddin ar-Raniry dengan Hamzah Fansuri. Bahwa perdebatan, persekusi tersebut bukanlah Hamzah Fansuri, tapi pengikutnya dikemudian hari. Karenanya, kedua mereka tidak ada pertemuan langsung, sebab dipastikan hidup di zaman dan wilayah yang berbeda.
Persoalan kedua merupakan karyanya yang masih diburu, walaupun kemasyhurannya tidak diragukan, akan tetapi naskah-naskahnya sulit ditemukan, termasuk di Aceh. alasan utama pembakaran kitab-kitab wahdatul wujud semasa Iskandar Tsani atas saran fatwa Nuruddin ar-Raniry tahun 1638 M. Akan tetapi, beberapa naskahnya kini masih dijumpai:
1. Syarab al-Asyiqin, prosa tasawuf yang membahas tentang ilmu suluk yang terdiri dari syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Kitab ini diduga memiliki nama lain sebagaimana koleksi YPAH berjudul Zinat al-Muwahhidin dan Asrar al-‘Asyiqin. Kandungannya tentang ringkasan wahdatul wujud Ibn ‘Arabi, Sadruddin al-Qunawi, dan Abdul karim al-Jili, dan dimanifestasikan –kemungkinan- dalam tarekat Qadiriyah.
2. Asrar al-‘Arifin merupakan karya prosa yang cukup panjang dan unik. Unik karya karya ini interpretasi puisinya sendiri yang belum ditemui bandingannya di dunia Melayu-Nusantara. Karya ini diilhami oleh Sawānih Ahmad al-Ghazali, Tarjuman al-Asywāq Ibnu ‘Arabi, Lama’at ‘Iraqi, dan Lawā’ih al-Jami’.
3. Al-Muntahi, kitab ini ringkas tapi padat, ditemukan juga dalam versi Jawa koleksi Sultan Abu al-Nasr Abdul Qahhar alias Sultan Haji (w. 1687).
Selain dalam bentuk prosa, Hamzah Fansuri dikenal sebagai penyair. Syair-syairnya yang menggugah banyak thalib (pelajar) luar menuju Aceh. Walaupun ada perdebatan yang terjadi tentang orisinil karya Hamzah Fansuri, sebagaimana perdebatan masa hidupnya, akan tetapi ia telah menjadi simbol penting dalam dunia sastra.
Hingga kini, tidak kurang dari 32 kumpulan syair karangannya. Karyanya dalam bentuk syair adalah Burung Pinggai/unggas, syair Ikan tongkol, Syair Sidang Fakir, Syair Bahrain, syair Anak Dagang. Dan syair-syair yang diperdebatkan, syair perahu, bahr nisa’. Selain dua perdebatan tersebut, syair karya muridnya Hasan Fansuri dan Abdul Jamal juga dianggap tidak seirama dengan syair gurunya.
A.Teeuw menyebutkan paling tidak ada tiga corak puisi Hamzah Fansuri sehingga dapat disebut modern dalam permulaan puisi Indonesia bukan Melayu saja. Pertama, individulitasnya; puisinya tidak anonim seperti biasa terjadi dengan sastra Melayu lama. Hamzah Fansuri dengan tegas mengemukakan dirinya sebagai pengarang syairnya, tidak hanya dalam sebuah kolofon atau pascakata, tetapi didalam teks puisinya sendiri, dia menerapadukan namanya dengan kepribadiannya dalam puisinya. Dengan demikian Hamzah Fansuri melambangkan era baru dalam sastra, sebagai ungkapan seorang individu yang memanisfestasikan kepribadian secara sadar dalam puisi.
Kedua, Hamzah Fansuri menciptakan bentuk puisi baru untuk mengungkapkan gerak sukmanya. Hal itu kita lihat kemudian dalam perkembangan puisi Indonesia pada abad ini, misalnya dengan penciptaan soneta oleh penyair tahun abad ke-19 dan 20. Dan Ketiga, menyangkut pemakaian bahasa yang sangat kreatif. Misalnya pemakaian kata-kata Arab yang sangat menonjol dalam puisinya.
Syair-syair Hamzah Fansuri juga menunjukkan persamaan struktur yang menarik. Setiap syair bertema salah satu aspek ilmu tasawuf Hamzah Fansuri, yang diuraikan dalam bentuk puitis. Uraian itu ada kalanya bersifat ajaran digabung dengan peringatan/nasehat ataupun luapan ekstasis pengalaman penghayatan spiritual. Syair-syairnya yang tidak menampakkan atavisme (penjelmaan binatang anonim) merupakan inovasi yang betul-betul orisinil yang sebelumnya tidak dijumpai dalam kesusastraan Melayu.
Kita patut berterima kasih, saat A Teeuw (Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, 1994), membantah atas klaim sastrawan lain, menurut Sutan Takdir Alisjahbana bahwa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai “Perintis Sastra Melayu Baru”, melalui gaya sastra penceritaan akuan (aku sebagai pencerita), -merupakan yang pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia- (Mahayana, 1995: 152) yang diciptakan Abdullah ternyata telah terdapat dalam syair-syair Hamzah Fansuri dua abad sebelumnya.
Demikian juga, saat gelar “Bapak Kesusastraan Melayu” diberikan kepada Raja Ali Haji (Mahayana: 162) atas karya monumentalnya, Gurindam Dua Belas, yang terbit pada tahun 1263 H (1847 M)—jauh lebih muda ketimbang karya Abdul Kadir Munsyi, apalagi dengan zaman Hamzah Fansuri. Melihat analisis A Teeuw terhadap karya Hamzah Fansuri, sudah pasti karya Raja Ali Haji dipengaruhi oleh syair-syair Hamzah Fansuri. Oleh karenanya, wajib hukumnya bagian kesusastraan Indonesia menulis ulang sejarahnya lagi dengan mencantumkan Hamzah Fansuri sebagai penyair klasik dan modern pertama dan atau Bapak Kesusasteraan Melayu. Hal tersebut senada dengan R.J. Wilkinson dan R.O Winstedt dalam bukunya Kumpulan Pantun Melayu (1961), dan Abdul Hadi WM (2001). []
Naskah ini disampaikan dalam Dialog Sastra 2013 diskusi tentang pengaruh Hamzah Fansuri yang diadakan oleh Institut Sastra Hamzah Fansuri, Banda Aceh, 23 Februari 2013
http://www.peradabandunia.com/2013/02/melacak-naskah-hamzah-fansuri.html
0 comments:
Post a Comment