Tuesday, November 19, 2013

Punahnya Sastra Aceh

Naskah Hikayat Prang Sabi
"Bangsa disayang, bahasa dibuang" mungkin tepat untuk menggambarkan Aceh saat ini. Di atas pusaran politik dan status Aceh yang berusaha membangkitkan nasionalisme keacehan dengan menjadi bangsa yang mendapat "keistimewaan" dan "otonomi" dari RI. Namun sayang, identitasnya musnah dari sisi sastra dan bahasa.

Realitanya tidak semua orang yang status KTP Aceh mampu berbahasa Ibu, ataupun lokal. Dalam konteks ini seluruh bahasa khas kedaerahan yang ada di wilayah Aceh. Dalam beberapa diskusi juga terungkap bahwa, sebagian generasi muda dan tingkat pemula sudah enggan menggunakan bahasa Aceh sebagai komunikasi dua arah, apalagi dalam diskusi publik.

Tentunya, tidak terlalu ekstrim jika disebut "punahnya sastra Aceh", sebab begitulah realita saat ini. Selama kemerdekaan, belum hadir satupun karya dalam bahasa dan kesusasteraan Aceh untuk dapat dibaca dan dikagumi. Walaupun semangat "pan-acehnisme" (meminjam istilah pan-Islamisme) pernah muncul di bidang karya sastra pasca rehab-rekon gempa-tsunami, tapi redup kembali oleh isu-isu politik, pemerintahan dan kepentingan "sekterian" alias kelompok.

Beranjak dari kasus-kasus tersebut pasca perdamaian dan kebencanaan di Aceh, sepatutnya pemerintah dan pemangku kebijakan di bidang ini untuk merumuskan kembali membangun pondasi sastra Aceh sebagaimana dahulunya. Dahulu yang dimaksud adalah periode kesusasteraan pernah mencapai puncak keselarasan.

Karya sastra berbahasa Aceh, meskipun telah muncul sejak abad XVII M, namun perkembangannya baru menemukan momentumnya pada abad XVIII. Perkembangan tersebut semakin pesat pada abad XIX seiring dengan semakin surutnya peranan Aceh sebagai pusat kebudayaan Melayu.  Hal tersebut ditandai dengan banyaknya karya sastra, umumnya berbentuk puisi dan ditulis dalam bahasa Aceh Jawoe (Aceh bertulisan Arab),  yang muncul dalam periode ini, baik lisan maupun tulisan. Sementara penulisan prosa dalam bahasa Aceh tidak berkembang sebagaimana perkembangan bahasa Melayu, bahkan hingga sekarang.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa karya sastra Aceh tertua yang dapat ditelusuri adalah: Hikayat Seuma’un,  tanpa diketahui identitas pengarang (anonim), sekitar tahun 1069 H/1658 M. Hikayat ini bercerita tentang kepahlawanan Seuma’un, anak Khalid ibn Walid (pejuang Islam), yang lahir dan besar di Mekah. Kemudian muncul Hikayat Tujoh Kisah (Hikayat Tujuh Kisah) tahun 1074 H/1663 M. Karya tersebut merujuk kepada sebuah karya Nuruddin al-Raniri, Akhbar al-Akhirah,  yang ditulis tahun 1052 H/1642 M.

Karya berbahasa Aceh lainnya, yang muncul dalam abad XVIII dan XIX, di antaranya:


  1. Hikayat Gumbak Meuih (Hikayat Si Rambut Emas), pengarangnya anonim. Karya ini ditulis atas permintaan Tengku Bandasah, sahabat penulis, dari Gampong Barat, Pidie, tahun 1220 H/1805 M.
  2. Khabar Insan Kamil,  pengarangnya anonim, ditulis dalam bahasa Aceh Jawoe (bahasa Aceh dengan tulisan Arab). Karya ini, yang ditulis tahun 1221 H/1806 M, berisi tentang insan kamil dan cara memperolehnya. Setiap baitnya dimulai dengan kata La ilaha illa Allah. 
  3. Hikayat Tanbih al-’Ashi, pengarangnya Anonim, ditulis tanggal 27 Jumadil Akhir 1234 H/1818 M dalam bahasa Aceh Jawoe (Aceh-Jawi).  Hikayat ini berbicara tentang tauhid dan akhlak yang harus dimiliki seseorang untuk kebersihan jiwanya. 
  4. Kitab Tanbihoy Rapilin  (Tanbih al-Ghafilin: Peringatan bagi Orang Lalai), karangan Faqih Jalaluddin (Teungku di Lam Gut). 
  5. Hikayat Balukia ngon Affan (Hikayat Balukia dan Affan). Hikayat ini selesai dikarang 24 Safar 1262 H (+ 1845 M),  sedangkan penulisnya tidak dikenal (anonim). 
  6. Menhajoy Abidin merupakan terjemahan versi bahasa Aceh dari kitab Minhaj al-’Abidin karya Imam al-Ghazali (w. 1111 M). Terjemahan versi bahasa Aceh, yang jauh lebih singkat, dilakukan oleh Syeh Marhaban.  
  7. Hikayat Pocut Muhammad, karya Teungku Lam Rukam (nama aslinya tidak diketahui). 
  8. Hikayat Maleem Dagang, karangan Ismail ibn Ya’kub (terkenal Teungku Chik Pantee Geulima).
  9. Sipheuet Dua Ploh, salah satunya dikarang (mungkin juga disalin) oleh Teungku Lam Bhu’, seorang wanita yang berasal dari Lam Bhu’ Banda Aceh. Banyak varian dan versi kitab Sifat 20.
  10. Nazham Jawoe, karangan Syeh Marhaban. Karya ini khusus membahas tentang komponen-komponen sembahyang. Meskipun judulnya Nalam Jawoe, yang artinya ”pantun didaktik Melayu”, tetapi sebagian besar karya ini ditulis dalam bahasa Aceh, di samping bahasa Arab dan Melayu. 
  11. Hikayat Meunajat, karangan Syeh Marhaban. 
  12. Hikayat Akeubaro Karim (Akhbar al-Karim),  karangan Teungku Chik Seumatang (nama asli tidak diketahui). Karyanya juga dikenal Aqidat al-Jawahir al-Mubarakah, Teks ini menjelaskan tentang shalat, khauf, khitbah, faraidh, wakaf dan hari kiamat. 
  13. Hikayat Akeubaro Naim (Akhbar al-Na’im),  karangan (mungkin juga salinan)  Teungku Muhammad Yusuf Reubee. 
  14. Tanbeh Tujoh Blah  (Peringatan Tujuh Belas), karangan Teungku Muda Teureubue. Teks ini ditulis pertama kali oleh pengarang pada awal abad 13 Hijriah (awal abad 19 Masehi). 
  15. Abda’u atau dikenal juga Nazham Syeh Marduki. Karya tersebut merupakan versi bahasa Aceh dalam bentuk syair dari ’Aqidah al-‘Awwam (Akidah untuk Orang Awam)

Bidang sastra epos (perang), naskah-naskah primer dan sumber utama pejuang adalah:

  1. Kitab Tadzkirat al-Rakidin dikarang oleh Syeikh Abbas ibn Muhammad (Teungku Kuta Karang) tahun 1307 H/1889 M. Penulisan kitab Tadzkirat al-Rakidin merujuk kepada kisah Malem Dagang sebagai peristiwa perang melawan kafir di masa lalu. 
  2. Nazham Prang Sabi, karangan Teungku Abdul Wahab ibn Muhammad Saleh (Teungku Chik Tanoh Abee, w. 1314 H/1893). 
  3. Nasihat Ureueng Muprang (Nasehat bagi Orang Yang Terlibat Perang), karya Nya’ Ahmad, nama lengkapnya Uri ibn Mahmud ibn Jalaluddin ibn Abdussalam, berasal dari Cot Paleue, Pidie (1894)
  4. Hikayat Perang Sabi, karya Muhammad Pantekulu (terkenal Teungku Chik Pantekulu). 


Sebagian naskah tersebut jelas kepengarangannya dan kepemilikan (hak cipta), akan tetapi harus diakui, kita sangat minim mengetahui sosok mereka, biorgrafi dan peran mereka di masyarakat. Apalagi naskah-naskah yang tidak diketahui nama pengarangnya atau penulis (anonim), seperti Hikayat Diu Plinggam. Hikayat Nubuet Nabi  (Hikayat Nubuah Nabi), Hikayat Meudeuhak,  Hikayat Soydina Husen,  Hikayat Nun Farisi,  Hikayat Keumala Alam,  Hikayat Malem Diwa,  Hikayat Bustaman,  Bahaya Sireubee (Bahaya Seribu), Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Cut Fadhlun, Hikayat Siti Khizanah, dan lainnya.

Kini, yang tersisa hanya "kalkulasi karya" berapa yang dapat dijadikan sumber bacaan dan kajian dari naskah-naskah berbahasa Aceh dalam satu tahun, atau kita akan setuju menyebut ini zaman kepunahan kesusasteraan Aceh. []

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top