Thursday, December 10, 2015

Hubungan Awal Aceh-Fathani

Teks kitab Syarah al-Mubarak tertulis di kolofonnya
Hubungan-hubungan antara Timur Tengah dengan Melayu-Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase pertama sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-hubungan yang ada umumnya berkenanan dengan perdagangan. Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebnayakan diprakarsai Muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnya, sampai akhir abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek –aspek lebih luas, sebagai pedagang atau pengembara sufi mulai mengintensifikasikan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat. Tahap ketiga adalah sejak abad ke-16 sampai paruh kedua abad ke-17. Dalam masa ini hubungan-hubungan yang terjalin lebih bersifat politis di samping keagamaan sebagaimana disebut di atas. Dalam periode ini, Muslim Nusantara semakin banyak ke tanah suci (Mekkah), yang pada gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan Nusantara melalui ulama Timur Tengah dan murid-murid Jawi. 
Aceh dan Fathani (Phatani) secara historis memiliki hubungan yang panjang dan erat. Sehingga, keduanya memiliki persamaan dan kemiripan dalam aplikasi keagamaan dan kebudayaan. Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa hubungan bilateral antara Aceh dengan Phatani lebih awal daripada dengan Semenanjung Malaya (Malaysia).  Mohd, Shaghir Abdullah menyebutkan apabila ditinjau sejarah Melayu akan diperoleh bahwa banyak ulama-ulama Fathani yang berlayar ke Malaysia untuk penyebaran Islam di kawasan tersebut. Ulama-ulama Fathani menjadi salah satu tokoh penting dalam penyebaran awal Islam di Semenanjung Malaysia. 
Walaupun demikian, beberapa sumber primer ditemui bahwa Malaka (Malaysia) telah menjalin hubungan erat dengan Pasai (Aceh) sejak abad ke-13 masehi dengan mengirim delegasi dan kitab-kitab Arab tersebut untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Jawi (Melayu)-Pasai.  Bahasa Melayu (dan Indonesia) yang sebagaimana yang dipraktekkan saat ini telah dirumuskan oleh Kesultanan Pasai. Pasai menjadi basecamp dan sentral perkembangan bahasa Melayu dengan aksara Jawi, hingga mengaplikasikan -khususnya- aksara Jawi di seluruh wilayah Melayu dan Nusantara sebagai simbol kesatuan negeri Jawi (nasionalisme) dan keagamaan (Islam), terutama di luar kawasan kekuasaan Kerajaan Majapahit- untuk mengurangi kekuasaan dan pengaruhnya.

Teks kitab Syarah al-Mubarak tertulis di kolofonnya
Tamat Sharh al-Mubarak bi’auni al-’adhim fi sanah 1228 H
fi Shahr Muharram [Januari 1813 M]  fi Zaman  Paduka 
Sri Sultan ‘Alauddin Jauhar Alam Syah.
Wa-shahibuhu wa katibuhu al-faqir al-haqir ar-raji ila-Allah
Al-qhani Ja’far “muallim” Haitam ibn Abdurrauf gampong
...  Fi maqam shaykhina wa-qudwatina al-’arif billah al-syaik
Abdusshamad Lambhuk ibn Yusuf ibn Abdullah al-Fathani...



Dapat dipastikan, pada abad ke-16 dan ke-17 M, Aceh mencapai puncak keselarasan di era Kesultanan Aceh. Pada saat itu Aceh menjadi pusat ilmu pengetahuan, perdagangan Internasional, dan puncak kemajuan sastra. Bukti ini dapat terlihat pada naskah-naskah klasik atau manuskrip yang ditulis oleh para ulama Aceh dan Melayu dengan berbagai disiplin ilmu. Namun demikian, hubungan antar wilayah Melayu Nusantara, antara Aceh dengan Fathani dan Semenanjung Melayu telah terjalin jauh sebelumnya, periode Kesultanan Pasai dan hingga periode Kolonialisme, akan tetapi, bukti-bukti konkret dan relevan sangat sedikit.
Antara Aceh dan Fathani memiliki kesamaan visi untuk memajukan intelektual masyarakat Melayu, tanpa menghiraukan identitas dirinya. Dan juga memperjuangkan agama dalam bidang keilmuan dan intelektual. Kesamaan visi ini terhubung oleh jaringan ulama antar keduanya saat berada di perantauan, khususnya di Haramain. Kesamaan visi dan misi itulah yang jelas terwujud pada abad ke-18 dan 19 masehi, sehingga antara ulama Fathani dan Aceh memiliki minimal tiga kesamaan pada era tersebut, membentuk keilmuan yang kredibel dengan tashih dan tahqiq kitab, menjalin hubungan tarekat antar Melayu-Nusantara, dan memajukan bahasa sastra Melayu. Ketiga hal tersebut sama-sama dimiliki oleh kedua daerah yang bergelar "Darussalam", walaupun secara geografis jarak keduanya berada di kepulauan yang jauh berbeda.

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top