Friday, July 29, 2016

Manuskrip Aceh di Sala Anak Ayam Thailand

Sekolah itu bernama Madrasah Ahmadiyah Islamiah. Tak perlu khawatir dengan kata “Ahmadiyah” yang tersemat pada nama sekolah ini. Sekolah tingkat rendah ini digagas oleh seorang ulama Melayu masa lalu, Ahmad bin Haji Usman. Itu sebab, sekolah ini diberi nama Ahmadiyah, yang diambil dari nama penggagasnya.

Oleh karena itu, kata “Ahmadiyah” pada sekolah ini sama sekali tak ada sangkut paut dengan kelompok Mirza Ghulam Ahmad. Letak sekolah ini di sebuah kampung bernama Yingo—ada juga yang menyebutnya Jeringo–Provinsi Narathiwat, selatan Thailand. Orang-orang selatan Thailand mengenal sekolah ini dengan nama Sala Anak Ayam.

Tidak ada ciri khusus yang membedakan sekolah ini dengan sekolah-sekolah umumnya di Indonesia. Ruang belajar hanya berupa bilik-bilik sederhana dari papan. Hanya saja, di sini ada asrama bagi murid-murid sekolah. Kesannya, seperti pondok pesantren. Mungkin karena itu, mereka menyebutnya dengan madrasah.

“Sekolah ini dulunya memang pondok (bahasa Aceh: dayah). Baru resmi menjadi sekolah dan mendapat pengakuan kerajaan Thailand sekitar 60 tahun lalu,” ujar Ustaz Lutfee H. Samae, pimpinan Madrasah Ahmadiyah Islamiah Salam Anak Ayam.

Hal yang sangat menarik, di sekolah ini tersimpan ratusan manuskrip kuno peninggalan masa lalu. Manuskrip-manuskrip itu sebagian besar masih berupa tulisan tangan. Naskah tempoe doeloe ini berasal dari berbagai negara. Ada dari Yaman, Arab Saudi, Turky, Mesir, Mindanao (Filipina), dan sebagian besar dari Indonesia.

Usia naskah-naskah itu berkisar 250-470 tahun. Pengakuan Lutfee, dari semua manuskrip yang ada, tiga puluh persen berasal dari Aceh. Selebihnya dari berbagai daerah lain.

Sontak saja saya terkejut sekaligus takjub. Pena di tangan kanan yang saya gunakan untuk mencatat hasil interview bersama Ustaz Lutfee sempat jatuh, begitu mendengar 30 persen naskah kuno di sekolah ini berasal dari Aceh. Selama ini, saya hanya mengetahui bahwa manuskrip tentang Aceh hanyak banyak terdapat di perpustakaan Belanda.

Nyatanya, “sejarah Aceh” juga banyak tersimpan di selatan Thailand ini. Tentu saja pikiran saya langsung melayang pada sejarah masa silam, tentang sesosok ulama dari Pasai. Syeh Said, begitu orang-orang Patani menyebut namanya. Syeh asal Pasai, Aceh, itu dianggap sebagai pembawa Islam ke selatan Thailand. Hal ini termaktub dalam buku sejarah Patani.

Kembali pada manuskrip kuno di Sala Anak Ayam. Bukan hanya naskah dari Aceh, beberapa manuskrip Jawa juga masih tersimpan di sekolah ini. Naskah-naskah itu masih ditulis dalam bahasa Melayu Jawi langgam lama. Beberapa di antaranya ada yang dilengkapi corak wayang golek. Ada juga kesan motif pinto Aceh.

Lutfee sendiri mengaku tidak semua isi naskah ia pahami. Apalagi, kata dia, ada yang masih aksara palawi, ada yang kentara dialek Jawa, dialek Aceh, dan mungkin dialek bahasa lain di Nusantara. Sebagai orang yang dipercaya memimpin sekolah tersebut, Lutfee hanya berusaha menjaga semua manuskrip itu dengan rapi dan aman.

“Sudah lama naskah ini tersimpan di gudang tanpa disentuh. Alhamdulilah Januari 2014 sekolah kami dapat membuat Pameran Kesenian Islam (PKI). Untuk pertama kalinya, naskah-naskah ini kami keluarkan dalam pameran,” tuturnya.

Sejak pameran sederhana Januari 2014 itu, rencananya, sekolah ini akan melakukan kegiatan yang sama setiap tahun. Tujuannya, agar naskah tempoe doeloe ini dikenal oleh setiap generasi. Lutfee merasa tidak berkepentingan apa pun terhadap naskah itu, kecuali menjaganya sebagai bentuk warisan terdahulu.


“Ini Pameran Kesenian Islam I (pertama) kami adakan. Mudah-mudahan kegiatan seperti ini akan berlanjut tiap tahun sehingga generasi penerus tahu bahwa naskah-naskah ini punya nilai sejarah yang tinggi,” ujar Lutfee


Melusuri naskah-naskah yang diletakkan di lemari kaca itu. Beberapa kitab tertulis dalam aksara Jawi dengan ejaan Melayu. Namun, ada juga kitab-kitab yang saya tak kuasa membacanya, karena aksara “Arab-Jawi” yang belum dibubuhi baris dan mungkin saja bukan ejaan Melayu.

Di antara naskah-naskah yang dipamerankan oleh Madrasah Ahmadiyah itu, terdapat kitab al-shirat al-mustaqim (shirathalmustaqim). Menurut sebagian ulama, ini adalah kitab fiqh berbahasa Melayu yang pertama sekali dikarang di Nusantara. Kitab ini merupakan hasil goresan tangan Nuruddin ar-Raniry, ulama asal India yang lama menetap di Aceh.

Selain shirathalmustaqim, terdapat pula manuskrip tentang sejarah penulisan Alquran, yang juga karangan Nuruddin. Selain itu, di sekolah ini juga tersimpan sejumlah karangan Hamzah Fansuri, sastrawan Aceh yang menjadi ikon sastra tulis Melayu.

Seperti saya jelaskan sebelumnya, kitab-kitab yang terdapat di sekolah ini sebagian besar memang dari Aceh. “30 persen manuskrip di sini berasal dari Aceh, selebihnya dari berbagai daerah lain di dunia,” kata pimpinan Madrasah Ahmadiyah Islamiah, Ustaz Lutfee H. Samae.

Selain dalam bahasa Jawi (Jawoe), naskah-naskah kuno di sana juga ditulis dalam bahasa Arab. Ejaan yang digunakan masih ejaan lama. Terkait kertas dan alat tulis, kebanyakan kertas dari Eropa. Alat tulis yang digunakan untuk menulis Alquran dan manuskrip kuno itu masih memanfaatkan alam sekitar. Tintanya diambil dari campuran teras kayu leban, haram kayu, getah damar (tusam) dan getah terea, lalu dicampur sedikit dengan dawat India atau Cina. Adapun penanya diambil dari pohon kabung, buluh (bambu), bulu burung merak, dan lidi landak. Warna hiasan tintanya dari buah-buahan dan bunga-bunga, itu sebab beberapa isi dalam naskah kuno ini ada yang berwarna cerah.

Lutfee kemudian mengajak saya keliling arena pameran sederhana itu. Didamingi beberapa mahasiswa Fatoni University, saya mengamati kitab-kitab lama itu. Saya sempat tertegun dan terkesima pada mushaf Surat al-Kahfi yang mempunyai lima cahaya lukisan air emas. Sampul Alquran ini dari kulit hewan. Berdasarkan keterangan tertulis di bawahnya, usianya mushaf ini sekitar 300 tahun lebih.

Saya pindah ke sebuah kitab yang terdapat dalam lemari kaca. Manuskrip itu diletakkan di atas kulit kayu, dibalut dengan kain putih. Di sana tertera keterangan, “Alquran tulis tangan asal Aceh,” yang usianya hampir 300 tahun silam.

“Zaman dulu, banyak orang Aceh yang sampai ke Patani. Ada yang datang belajar, ada juga yang datang mengajar. Boleh jadi, kitab-kitab ini hasil peninggalan mereka yang dulu datang kemari,” tutur Lutfee.

Lebih lanjut, Lutfee mengatakan ada orang Aceh yang bukan sekadar mengajar dan mendirikan pondok pesantren di sini, tapi juga mendirikan masjid yang kemudian dianggap sebagai masjid bersejarah.

“Saya pernah dengar ada Wan Husen Sadawi yang pernah ke Aceh lalu sampai ke sini. Ia mendirikan sebuah masjid yang seluruh bahannya dari kayu. Masjid itu dinamakan Masjid Teluk Manok. Itu salah satu masjid bersejarah di selatan Thailand ini, selain Masjid Kersik,” paparnya.

Upaya Penyelamatan

Menindaklanjuti penyelematan manuskrip kuno itu yang perlahan tampak usang, pihak Madrasah Ahmadiyah Islamiah sudah berencana akan menyalin seluruh naskah tersebut dalam bentuk digital. Kata pimpinan sekolah itu, niat seperti ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu, tapi terkendala dana.

“Sekarang sudah ada pihak yang membantu sekolah kami. InsyaAllah kami akan bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan Thailand dan Negara Turky untuk menyalin naskah-naskah ini ke dalam bentuk digital,” ucapnya.

Jika sudah ada dalam bentuk digital, Lutfee mengatakan, semua orang di penjuru dunia tidak perlu repot-repot sampai ke Thailand untuk mencari naskah-naskah lama ini. Menurutnya, hal ini mereka lakukan demi menjaga keberlangsungan keselamatan manuskrip-manuskrip tersebut.

Lutfee kemudian memperlihatkan deluwang, salah satu kertas yang digunakan oleh ulama Melayu masa lalu untuk menulis manuskrip dan mushaf Alquran. Menurut sejarah, deluwang muncul sekitar tahun 1400 Masehi. Di Indonesia, deluwang diolah dari kulit pohon waru yang memiliki serat kuat pada kulitnya. Ulama tempoe doeloe menulis di atas deluwang karena kerta tersebut dianggap awet.

Sesaat langkah kaki saya terhenti pada sebuah almari kecil. Dalam almari itu terdapat sebuah mushaf mungil ukuran 17 x 12 sentimeter. Tebalnya 2 sentimeter. Diberi keterangan bahwa mushaf ini ditulis pada tahun 987 Hijriyah oleh Al-Marfu Maula Muhamamd al-Bassari. Artinya, usia mushaf ini nyaris empat setengah abad. Namun, mushaf tersebut masih tampak awet.

Jika ditilik dari usia naskah-naskah di sini, agaknya benar yang diutarakan Lutfee, madrasah ini sudah ada sejak zaman dahulu kala, sejak sekolah ini masih berupa pondok pesantren tradisional. Pondok ini berubah menjadi sebuah sekolah yang diakui oleh Kerjaan Thailand sekitar 60-an tahun lalu.

Di sekolah inilah banyak disimpan berbagai manuskrip kuno yang sebagian besar dari Aceh. Kiranya, Pemerintah Indonesia penting mengambil peranan di sekolah ini, menyelamatkan sebagian naskah dari Indonesia. Demikian halnya pihak Pemerintah Aceh, harus ada itikad penelusuran dan penyelamatan naskah-naskah asal Aceh.

Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh yang memiliki bidang pengarsipan mestinya sampai ke sekolah ini, di Jeringa, Provinsi Narathiwat, selatan Thailand. Bukankah Badan Arsip punya bidang yang khusus ganti rugi naskah? Ini kesempatan, sebelum didigitalkan oleh Pemerintah Turki.


Tulisan ini dari Herman. RN (pernah mengajar di Fatoni University)
dipublis di
- http://pikiranmerdeka.co/2015/10/09/menelusuri-manuskrip-kuno-aceh-di-thailand-bag-1-2/
- http://pikiranmerdeka.co/2015/10/10/menelusuri-manuskrip-kuno-aceh-di-thailand-bag-2tamat/



0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top