Wednesday, January 11, 2017

Bendera "Zulfaqar" Aceh

Bagi Aceh, bendera tidak hanya sebuah logo dan simbol, tetapi memiliki makna historis dan nasionalisme. Di Aceh, bendera mampu menjadi persoalan krusial, timbul "ganjai" bin aneh dengan beragam polemik bendera. Begitupun, bendera memiliki "marwah" lebih tinggi dari lainnya dalam politik Aceh. Salah satu faktanya terjadi saat ini, tepat saat para pembaca hidup dan sedang membaca coretan ini.

Akan tetapi, kali ini terkait bendera Aceh tempo dulu, bukan bicara "politik bendera" yang tidak kunjung selesai. Berbicara bendera Aceh, maka pertanyaan paling pertama yang muncul adalah bagaimanakah bendera asli kerajaan Aceh? Mendapat pertanyaan seperti ini, dapat dipastikan jawabannya  tidak ada satupu yang secara utuh dan akurat.

Pada era Kesultanan Aceh, hampir setiap kerajaan-kerajaan di dalam wilayah Aceh memiliki bendera yang beragam. Baca: Bagaimana Bendera Aceh Tempo dulu, dimana sistem monarki setiap wilayah memiliki adat dan bendera khas masing-masing, seperti bendera Trumon, Tapak Tuan, Nalaboh (Meulaboh), Samalanga dan lainnya. Bendera tersebut menjadi tanda kedaulatan secara geografis dan kekuasaan.

Bendera Aceh dengan latar belakang merah lebih dominan di wilayah Aceh pantai utara dan timur, sepanjang Selat Malaka. Sedangkan wilayah Barat Selatan Aceh atau di laut lepas India didominasi warna biru.

Bendera Aceh dengan latar belakang warna merah dan gambar pedang disertai bulan bintang seperti ini secara umum dikenal sebagai tanda bendera perang. Dan lebih lama digunakan selama perang dengan Belanda, sebab perang tersebut merupakan era terpanjang bagi Belanda dalam menjajah wilayah-wilayah yang ada di Nusantara.

Bendera yang menggambarkan pedang bermata dua, dua bulan sabit (crescent) dengan di bawah dua bintang sembilan yang berbeda dengan bintang Turki dan bintang yang digunakan sekarang, bintang lima sudut. Namun, tetap saya ada hubungan Aceh dengan Turki, sebab Aceh merupakan salah satu daerah pertama Islam di kepulauan Melayu Nusantara (Indonesia) dan memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Ottoman, Turki.



Bendera di atas adalah koleksi Tropen Museum Belanda dengan nomor koleksi TM-674-730. Bendera dengan ukuran 80 x 159 cm (35 1/16 x 62 5/8 inc) yang ditemukan sekitar tahun 1916 di daerah Calang, Aceh Jaya.

Aceh Jaya merupakan salah satu wilayah basis pertahanan Aceh yang langsung berhadapan dengan pintu masuk Selat Malaka. Banyak sejarah dan peran Aceh Jaya ini pada masa dulu tidak tergali, padahal ini menjadi salah satu basecamp pejuang Aceh dan jalur singgah antara Banda Aceh (Kutaradja) dengan Melaboh, Trumon, Singkel dan sebagainya.

Bendera, termasuk warna merah dan ilustrasi di dalamnya hampir mirip dengan bendera Ottoman yang juga memiliki gambar bulan sabit dan bintang lima. Merah dalam filosofi Islam dan umumnya dimaknai sebagai keberanian, dan disini menjadi penting bagi kekuatan militer.

Sedangkan dua pedang saling berkait yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai pedang Dhul Faqqar (Zulfaqar) -sebagian di Indonesia menyebut Zulfikar- yang dimiliki oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dalam konteks ini Sayyidina Ali adalah salah seorang pemberani, khalifah dan sekaligus penerus perjuangan Nabi Muhammad.



Namun dalam konteks Aceh, gambar pedang di atas dapat disimbolkan dengan rencong (rincöng) Aceh, dapat dikategorikan dengan Rencong Hulu Puntong, Rencong Meucugék ataupun Rencong Meupucôk. Artinya, rencong menjadi salah satu senjata tradisional yang digunakan sebagai bentuk kewibaan, kekhassan dan kepahlawanan. Namun pada zaman kini, rencong hanya jadi barang souvenir.

Lebih jauh, dalam literatur Islam, bendera memiliki sebagai nilai ganda, yaitu sejarah dan agama. Kini pertanyaannya, apakah bendera di Aceh sebenarnya memiliki nilai-nilai tersebut.

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top