Saturday, March 02, 2019

Detik-detik Perang Belanda-Aceh: Pasukan dan Peralatan Perang Belanda (2)

Jumat pagi, 7 Maret 1873, cuaca cerah menyinari kota Batavia. Upacara pelepasan pasukan Belanda dengan senjata penuh menuju perairan Aceh telah disiapkan. Kapal-kapal perang dan kapal laut sipil siap dikerahkan ke perairan Aceh. Belanda cukup mengetahui kekuatan Aceh, walau tidak sehebat dan setangguh periode sebelumnya. Informasi tentang itu sepertinya diperoleh dari internal orang Aceh, atau orang dari serumpun (yang kemudian diistilahkan dengan bumiputera). Memang, kemunduran Aceh diawali konflik (perang) internal di Kesultanan Aceh disebabkan perebutan (pembagian) kekuasaan, sebagaimana disebut dalam Hikayat Po Tjut Muhammad.

Kekuatan Belanda yang dikerahkan pada agresi pertama sebenarnya tergolong besar. Tidak kurang dari 7 tujuh kapal perang berlayar menuju Aceh, kapal perang milik Belanda "Citadel van Antwerpen", "Marnix", "Coehoorn", "Bronbeek". Kapal pemerintahan sipil (kemungkinan kapal milik kesultanan lainnya di kepulauan Melayu dan Nusantara) bernama "Siak", "Djambi", "Soerabaja", dan "Sumatra" yang dioperasionalkan untuk mengangkut para pekerja dan pasukan bayaran dari daerah lain.


Secara detail terdapat 5 barkas (kapal laut kecil), 8 buah kapal peronda, 1 buah kapal komando, 6 buah kapal pengangkut, serta 5 buah kapal layar, masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut, yaitu 3 buah untuk pasukan artileri, kavaleri dan para pekerja, 1 buah untuk amunisi dan perlengkapan, serta satu buah kapal untuk kedokteran dan palang merah.

Komandan armada ialah kapten laut J.F. Koopman. Angkatan darat dan laut itu yang seluruhnya terdiri dari 168 orang perwira (140 orang Eropah, 28 orang bumiputera), 3198 orang bawahan (1098 orang Eropah dan 2100 orang bumiputera), 31 ekor kuda untuk perwira, 149 ekor kuda pasukan, 1000 orang pekerja paksa dengan 50 orang mandor, 220 orang wanita bumiputera (8 orang setiap kompi) serta 300 orang laki-laki bumiputera sebagai pelayan perwira-perwira, dipimpin oleh mayor jenderal J.H.R. Köhler, dibantu oleh wakilnya merangkap komandan infanteri kolonel E.C. van Daalen, disertai pula oleh kepala dan wakil kepala staf, ajudan-ajudannya, komandan-komandan batalion, Zeni, kesehatan dan topografi.

Keberangkatan kapal-kapal perang tersebut diharapkan pertengahan bulan Maret 1873, sehingga sebelum ultimatum itu dikumandangkan, kapal-kapal telang memblokade perairan Aceh. Tujuannya untuk menutupi akses laut Aceh dari bala bantuan dan hubungan Kesultanan Aceh dengan negara-negara tetangga atau yang masih mengakui kedaulatan Aceh. Tujuan lainnya untuk menunjukkan bahwa pihak Belanda memiliki kekuatan penuh yang dapat menaklukkan Aceh seketika.

Kapal Perang Ustmani Ertugrul sekitar tahun 1863. Kemungkinan besar kapal perang sejenis ini digunakan di Aceh pada periode abad ke 18-19 M.  (Project Ertugrul/Syamina)

Namun sejauh ini, perlu dikaji kembali apakah pasukan Aceh pernah menyerang kapal-kapal Belanda yang akan berlabuh dan mengepung Aceh pada detik-detik hubungan Aceh dengan Belanda semakin panas. Sebagaimana dalam riwayat, bahwa Kesultanan Aceh memiliki kapal perang, kapal laut sipil dan beberapa kapal yang ditakuti di jalur selat Malaka dan perairan Aceh [Bersambung]




1 comments:

dlan said...

Menarik! Adakah trick penyebaran kuman kolera kelak digunakan dalam agresj Pertama?

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top