Sunday, November 18, 2012

Teuku Iskandar: Filolog Korban Plagiat dan Fitnah


(Reza Idria). Cuaca sedang buruk-buruknya ketika saya menunggu kedatangan orang tua ini di KITLV Leiden. “Itu Iskandar sudah tiba,” bisik Josephine Schrama, perempuan yang telah 20 tahun lebih setia melayani peneliti mana pun yang datang untuk lingkup kajian Karibia dan Asia Tenggara di pusat studi milik Kerajaan Belanda itu.

Saya memang kerap menanyakan pada Josephine dan rekannya Rini Hogewing tentang keberadaan Profesor Teuku Iskandar dan meminta diberitahu kalau-kalau ahli Bahasa Melayu dan peneliti naskah kuno kelahiran Aceh tersebut terlihat di perpustakaan. Pada hari itu di penghujung musim dingin 2009 yang saya tidak ingat benar tanggalnya, Josephine memberitahukan bahwa Teuku Iskandar telah memesan beberapa buku secara online dari koleksi KITLV. Dia akan datang mengambil, dan untuk itu saya menunggu.

Setelah ia menggantung mantel dan menyeka hablur putih salju di rambut kepalanya yang berwarna sama, saya mendekat dan menjabat tangannya. Saya memperkenalkan diri sebagai pelajar rantau dan berasal dari Aceh. Iskandar tidak tampak antusias seperti harapan saya. Ia tersenyum hambar saja.

Mungkin bagi dia sudah biasa ada pejabat, mahasiswa, atau pelancong dari Aceh yang menjumpainya di Leiden. Tapi ada kebiasaan orang tua di Aceh yang tetap ditunjukkannya saat bertemu atau bertamu dengan seseorang, yakni tawaran menjamu. Iskandar meminta saya menunggu.


Setelah mengambil buku-buku pesanannya, dia mengajak saya minum kopi ke kafe kecil yang menyempil di antara KITLV dan gedung belajar milik Universitas Leiden. Kafe yang sedang kita riung ini sangat legendaris, kata Iskandar memulai pembicaraan. Usia kafe ini tidak kurang satu setengah abad. Banyak sarjana masyhur dari Universitas Leiden pernah menikmati kopi atau coklat panas di kafe tersebut-termasuk Snouck Hurgronje-sosok yang kerap menjadi hantu dalam pikiran orang Aceh.

Kami lalu menyesap minuman panas sambil berbincang tentang berbagai hal, dari keadaan di kampung hingga konsentrasi pendidikan yang sedang saya tekuni. Perlahan ia menjelma sehangat kopi. Ia memberi alamat dan nomor telepon rumah, mengundang saya datang kapan ada waktu luang.

Kemudian, sejumlah pertemuan berlangsung di rumahnya yang nyaman di Kawasan Oegstgeest. Percakapan menjadi sering kami lakukan di perpustakaan pribadinya yang berisi koleksi buku dan manuskrip yang tidak ternilai harganya.

Teuku Iskandar lahir di Trienggadeng, Pidie. Pada 1955, di hadapan penguji dari Universitas Leiden dia mempertahankan disertasi doktoralnya, “De Hikajat Atjeh”. Pada 1960-an, beberapa perwakilan pemerintah dan tokoh pendidikan Aceh meminta dia pulang ke Aceh untuk membangun satu perguruan tinggi negeri. Dia terlibat dari awal dalam mengawal berdirinya Universitas Syiah Kuala dan menjabat sebagai dekan pertama Fakultas Ekonomi Unsyiah, tapi ia tidak betah. Ribuan naskah di Leiden telah memanggilnya, begitu ketika itu ia berkilah.

Teuku Iskandar sebelumnya memang telah dipromosikan oleh Profesor Voorhoeve sebagai asistennya untuk mengajar Sastra Melayu di beberapa perguruan tinggi di Malaysia dan Brunei Darussalam. Di kedua negara tersebut Iskandar kemudian mendapat kursi kehormatan sebagai profesor. Pada masa inilah Iskandar mulai menyusun Kamus Bahasa Melayu yang tenar dengan nama “Kamus Dewan” (terbit pertama kali 1970).

Kamus itu merupakan satu magnum opus yang hingga kini tetap menjadi rujukan tentang makna dan pilihan kata dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Selain itu, “Kamus Dewan” itu juga digunakan sebagai kamus primer oleh majalah Tempo seperti yang pernah diceritakan oleh Amarzan Loebis, supervisor bahasa senior majalah itu, kepada saya.

Universitas Leiden menariknya kembali pulang ke universitas itu. Di sana Teuku Iskandar menjadi guru besar di bidang Sastra Aceh dan Melayu, dan membuka kelas Bahasa Aceh. Ia menampik ketika saya mencoba menyelisik apakah perantauannya-yang jauh hingga ke Belanda pertama kali-ada hubungan dengan terusirnya sejumlah klan bangsawan Aceh pascarevolusi sosial, yang masyhur disebut Perang Cumbok. Perang Cumbok merupakan konflik berdarah antara kaum ulama dan uleebalang Aceh pada medio 1940-an.

Tentang rasa sakit, dia malah lebih terbuka bercerita tentang kekecewaan pribadi menyangkut karya akademik yang dibajak oleh rekan kerja, hingga fitnah tentang dirinya yang ditulis dalam satu memoar seorang mantan Gubernur Aceh.

“Iskandar is neither Acehnese nor Muslim. He is just a scholar,” kata bekas koleganya suatu ketika kepada saya. Awalnya saya tidak terlalu paham apa maksud kata-kata tersebut, hingga saya mendalaminya perlahan-lahan dari pertemuan ke pertemuan. Nada-nada bicaranya memang tidak tersirat alamat, katakanlah nasionalisme, yang merujuk ke mana pun, tidak Belanda, bukan Indonesia.

Negerinya mungkin bernama koleksi naskah atau perpustakaan semata. Saya lantas menyebut dia sebagai seorang warga dunia. Ia pun menampik politik. Sebuah surat dari Tgk. Hasan Muhammad di Tiro pernah sampai kepada Iskandar, meminta sumbangan pikirannya tentang kemerdekaan Aceh. Ia hanya menyimpan surat itu tanpa niat membalas.

Perawakannya yang kecil dan pendek adalah antipoda dari ketinggian timbunan naskah yang telah ditekuninya. “Berdiri” di atas susunan menara naskah mungkin telah menopangnya menjadi lebih tinggi dalam melihat dunia daripada sebagian orang lain. Ketekunan Iskandar dalam meneliti sastra dan tulisan Melayu kuno terlihat dari karya-karya, seperti Catalogue of Acehnese Manuscripts yang disusun bersama Voorhoeve, Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad, lalu dua jilid besar Catalogue of Malay, Minangkabau and South Sumatran Manuscripts in the Netherlands yang ia hadiahkan kepada saya pada pertemuan ketiga. Urutan manuskrip yang telah disusun dan tiap-tiapnya diberikan pengantar ringkas ada ribuan dari segi jumlah – pekerjaan yang benar-benar hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki daya konsentrasi prima dan siap kehilangan sosialita.

Menjelang pulang ke tanah air pada pertengahan 2010, saya menemani seorang sastrawan dari Aceh yang ingin berkunjung ke rumahnya. Beberapa bulan kemudian terjadi hal yang tidak menyenangkan. Ketika sudah tiba di Aceh, saya menerima telepon dari Teuku Iskandar. Ia kehilangan satu buku penting dan beranggapan bahwa si sastrawan telah mencuri bukunya. Mungkin dia belum kehilangan memori tentang reputasi sastrawan Indonesia yang konon suka mencuri buku, semacam Chairil Anwar.

Saya sempat menggeledah kamar si sastrawan yang berakibat hubungan pertemanan kami sempat memburuk sampai saya kembali menerima telepon Iskandar yang mengabarkan bahwa ia telah menemukan kembali bukunya, terselip pada rak yang tidak sesuai sebagaimana biasa dia tata.

Iskandar meminta maaf dan menceritakan betapa pentingnya buku yang sempat hilang itu bagi kerja yang telah ditekuni nyaris sepanjang sisa hayatnya, menyelesaikan transkripsi dan terjemahan delapan bab Bustan As-Salatin karya klasik Nuruddin Ar-Raniry yang dipecah ke dalam beberapa kitab. Setiap bab memiliki pasal yang bervariasi dari sepuluh hingga tiga belas pasal, untuk membantu membayangkan ketebalan manuskrip tentang petunjuk agama dan pemerintahan bagi raja-raja Aceh tersebut.

Saya memaklumi kesilapannya karena dia memang sudah sepuh dan sudah saatnya istirahat, tapi ia tampaknya tidak bisa berhenti karena belum menemukan pengganti. Hingga tanggal 5 September 2012, kita menerima kabar bahwa dalam usia 88 tahun Teuku Iskandar sudah benar-benar pergi. Menara naskah itu rubuh sudah. Di titik ini juga saya ingin meralat pandangan awal saya tentang alamat nasionalisme-nya, jasad Teuku Iskandar memang telah dikebumikan di lahad tanah Oegstgeest. Namun, dari usaha maratonnya menopang agar Sastra Aceh dan Sastra Melayu menjadi tidak canggung di panggung dunia, kita semestinya tahu ke mana sebenarnya hatinya berpulang dan mengapa kepadanya kita harus merasa berutang.

---------------------

Penulis Reza Idria. Artikel ini telah diterbitkan di tabloid The Atjeh Times edisi 29 Oktober - 4 November 2012.
lihat http://atjehpost.com/read/2012/11/02/26313/0/30/Teuku-Iskandar-dan-Rubuhnya-Menara-Naskah-1924-2012 

1 comments:

Subhan said...

Pak Iskandar, penulis yang sangat tekun memeriksa dan memerikan naskah-naskah nusantara dalam koleksi perpustakaan di Belanda. Setelah tiada, bagaimanakah nasib koleksi perpustakaan beliau?

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top