Thursday, November 03, 2016

Surat "Nafkah" untuk Adinda

Bagaimana masyarakat tempo dulu mengirim uang sebelum ada kantor pos? belum ada wesel, ATM, Money changer, atau transaksi canggih lainnya yang dinikmati di era modern seperti sekarang ini.

Secarik kertas kecil datang dari seberang, tanpa alamat. Surat rindu dan tanggung jawab seorang suami di pengasingan kepada istrinya di kampung halaman, Aceh. Dalam keadaan perang, ia berada di seberang pulau Sumatra. Tidak ada keterangan sebab musabab, akan tetapi kumpulan surat-surat di Bandung dalam peti rampasan Belanda dibawa sebrang Eropa untuk disimpan di Belanda. Kini, berada di perpustakaan Leiden. 

Surat ini menunjukkan seorang suami yang sedang berpisah dengan istri dan keluarganya akibat perang. Ia masih bertanggung jawab nafkah untuk keluarganya. Maka sepucuk surat yang dititip melalui Teuku Wahhab untuk disampaikan kepada "adinda" sang istri yang dicintai dengan beberapa amanah.

Selembar kertas tersebut dititip kepada melalui Teuku Wahhab disertai uang 10 riyal. Penggunaan riyal di Aceh sepatutnya dikaji ulang, sebab selain dinar, dirham, oeang Belanda, dan Rupiah Indonesia, Aceh juga pernah menggunakan riyal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan pada masa sultan-sultan dari Arab berkuasa ingin menggunakan uang riyal. Akan tetapi ini masih asumsi kasar yang perlu dilakukan kajian secara komprehensif. 





Ini riyal ditangan Teuku Wahhab
sepuluh boh. Maka yang [de]lapan
riyal adinda unjuk pada Teuku Wahhab
suruh unjuk akan Teungku Syekh 
akan harga padi dua gunca. Dan
yang dua riyal akan belanja adinda.
Itulah hal adanya berbanyak-2 doa
akan kaya tip-2 ketika, jangan putus 
sekali-2.

Uang 10 riyal tidak seluruhnya diberikan kepada istrinya, tetapi 8 riyal untuk dibelanjakan padi, sisanya untuk keperluan sang adinda. Uang 8 riyal untuk membeli 2 gunca padi pada Teungku Syekh. Tentu sang suami sudah mengenal siapa saja yang menjual beras padi dengan harga yang baik dan terjangkau. Dengan demikian harga padi 1 gunca sama dengan 4 riyal. 

Gunca merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Aceh dulu (sekarang kemungkinan hanya di perkampungan) sebagai ukuran untuk benda-benda kering, tidak ada bentuk fisiknya, tetapi disetarakan dengan 10 naléh atau 1/10 kunyan.  1 naléh sama dengan 16 arè atau 8 gantang.

Sebagai penutup, sang suami memohon untuk tidak pernah putus asa memohon doa semoga tercapai cita-cita menjadi kaya pada suatu hari nanti. 

Namun sayangnya, kemungkinan surat ini tidak sampai di tangan adinda (istri) karena surat-surat di Aceh dan sejenis ini sudah "diborgol" oleh tentara kolonial Belanda, dikumpulkan bersama surat-surat lainnya dan dikirim ke Belanda sejak tahun 1908.

0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top