Monday, May 07, 2018

Ziwayah Lam Kruet dalam Rekaman Sa'id Tiro

"Wa kāna al-farāgh min taswīd hādhā al-qirtas fī syahr Jumādi al-Akhir fī Lailati al-Khamis fi Ziwāyah Lamkruet [Lam Kruet], wa hiya maqām syaikhunā Ahmad Lampu'uk, radhiya 'anhu. Wa shāhibuhu wa kātibuhu Muhammad Sa'id at-Tiro'i baladuhu wa baituhu"

Begitulah kira-kira isi catatan terakhir dalam sebuah kitab agama yang ditulis oleh Muhammad Sa'id Tiro saat berada di zawiyah (pondok/pesantren) Lam Kruet.

Tidak ada informasi lebih jauh biografi pemilik sekaligus penulis kitab tersebut, Muhammad Sa'id asal Tiro. Tiro di Pidie merupakan sentral perkembangan tarekat pada abad ke-18 M dan pusat pertahanan Kesultanan Aceh satu periode berikutnya.

Demikian juga tidak banyak informasi tentang sosok Syaikh Ahmad Lampu'uk, kecuali disimpulkan bahwa beliau berasal dari Lampu'uk, Aceh Besar. Lampu'uk yang hari ini terkenal sebagai tempat wisata pantai laut yang indah, dan sekaligus wilayah terparah saat gempa-tsunami Aceh 2004 menimpa.



Fokus utama lainnya adalah, Ziwayah atau zawiyah Lam Kruet. Salah satu tempat utama (sentral) pendidikan berasrama di wilayah Lhok Nga (red. Lhoknga). Dalam amatan saya, Zawiyah Lam Kruet menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan, saban seperti Zawiyah Tanoh Abee dan Zawiyah Awee Geutah. Alasan utamanya adalah, Muhammad Sa'id asal Tiro Pidie menuntut ilmu dan menyelesaikan kitabnya di Lhoknga Aceh Besar.

Zawiyah memiliki kekhususan dan karakter tersendiri, berbeda dengan Dayah, Meunasah dan Balee Beut (Balai Pengajian). Peran ziwayah pun dikemudian hari tergulung oleh kolonialisme Belanda, yang menghapus peranan zawiyah dan menghentikan aktifitas keagamaan di Aceh periode tersebut.

Kolonial Belanda bukan satu-satunya pemain periode tersebut. Para aristokrat Aceh ketika itu juga ikut menghancurkan lembaga pendidikan tersebut. Atas dalil tak mampu bersaing dengan modernitas dan globalisasi. Salah satunya, memasukkan anak-anak untuk bisa baca tulis aksara Latin dan menanggalkan tulisan Jawi, mewajibkan bacaan buku Belanda dan meninggalkan bacaan buku agama dalam bahasa Arab dan Jawi.

Alhasil, buktinya saat ini, tidak banyak kita ketahui nama-nama zawiyah serta tempatnya di Aceh, sebagai tempat pusat pendidikan agama dan mentalitas orang Aceh, pembinaan akhlak dan karakter orang Aceh, sekaligus sentral pengetahuan dan pembentukan pemikiran orang Aceh terhadap agama, bangsa dan negaranya.

Ziwayah Lam Kruet terkenal sebagai area domisili Syaikh Ahmad Lam Pu'uk, tokoh agama setempat yang dihormati. Penyebutan tenpat pendidikan menunjukkan wilayah tertentu, yang kadang kala tetap dipertahankan pada periode tertentu, misalnya Zawiyah Menara (red. Meunara) yang merupakan lembaga pendidikan Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri atau disebut juga Syiah Kuala, tokoh utama pengembang tarekat Syattariyah di Nusantara, penasehat Kesultanan Aceh, dan ulama terkemuka.

Baca juga: Zawiyah Menara: Pustaka Ulama di Banda Aceh

Namun, itu bukan standar baku penggunaannya di dalam masyarakat, sebagian lainnya  menggunakan nama daerah atau gampong sebagai bagian dari lembaga pendidikan, misalkan Zawiyah Tanoh Abee, Zawiyah Lampeune'eun, ataupun Zawiyah Awee Geutah, dan sebagainya.

Catatan sampul kitab "Asrar as-Suluk" oleh Teungku Muhammad Dahlan al-Fairusy al-Baghdadi
Nazir Zawiyah Tanoh Abee.


Namun demikian, peranan zawiyah -dalam persepsi saya- lebih besar dari sebuah lembaga dayah, institusi yang sama-sama bergelut dalam dunia pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan. Akan tetapi jenjang-jenjang pendidikan memiliki perbedaan satu dengan lainnya, baikt tingkat pelajaran, kurikulum maupun sistem. Perbedaan-perbedaan tersebut telahpun disinggung oleh Prof. Ali Hasjmy (alm) dan Prof. Hasbi Amiruddin.

Dalam catatan historis,  zawiyah terus berkurang dan lenyap di Aceh. Sebaliknya dayah terus bertahan dan berkembang di beberapa wilayah, walaupun perannya terus menurun. Faktor lenyapnya ziwayah inilah yang perlu terus dikaji, bahkan pada era kemerdekaan Indonesia, tidak ada catatan satupun berapa jumlah zawiyah di Aceh, sistem pendidikan, kurikulum, metode hingga kitab apasaja digunakan.

Setali tiga uang, dayah-dayah di Aceh yang disebut masih ada, pun terus mengalami penurunan dari  peran dan ruang yang sesungguhnya. Lembaga yang mengembangkan baca tulis Arab-Jawi mulai lenyap, beralih ke dunia lain sebab mereka tidak mendapat peran dan ruang di berbagai tempat, mereka dikungkung, diasingkan oleh media dan pemerintahnya sendiri. Padahal daerah-daerah lain di Indonesia terus menghidupkan tulisan lokal (etnis) nya seperti Jawa, Batak, Bugis dan lainnya.

Ruang-ruang untuk berkarya seperti dilakukan oleh Tgk Sa'id Tiro dan Tgk Dahlan Tanoh Abee tidak ada lagi (halusnya semakin berkurang). Kongkretnya, sebut saja mana zawiyah dan dayah di Aceh yang masih eksis mengembangkan penulisan Arab-Jawi?. Dan lucunya, Pemerintah Aceh yang berperan dalam hal itu ikut andil menguburkannya. []



0 comments:

Copyright © 2015 Herman Khan | Portal Manuskrip Aceh dan Malay | Distributed By Blogger Template | Designed By Blogger Templates
Scroll To Top